texs ketik

Selamat D_

m.taufiq

salam

Assalaamu'alaikum Warohmatullaahi Wabarokaatuh Selamat Datang Di Blog kami Semoga Allah SWT memberikan berkahnya untuk kita semua Aamiin

Senin, 13 Oktober 2014



Tidak Semua Kata “Kullu” Sungguh-Sungguh Bermakna Semua (Umum)
Apakah kata “kullu” yang tidak sungguh-sungguh bermakna “semua” itu hanya ada pada hadits “kullu bid’atin dlaolalah?” Tentu tidak. Banyak sekali kalimat “kullu” baik pada ayat Al-Qur’an  maupun hadits yang tidak bermakna umum.
Misalnya pada firman Allah SWT berikut ini :
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلا يُؤْمِنُونَ“Wa ja’alna minal maa’i KULLA syai’in hayyin” (Dan dari air kami ciptakan segala sesuatu yang hidup) (Q.S. Al-Anbiya [21]:30)
Dari ayat ini kata kulla memiliki makna umum yaitu semua bahkan ditambah lagi kata syai’in yang artinya segala sesuatu, sehingga maknanya benar-benar umum dan tanpa kecuali. Namun kenyatannya keumuman ayat di atas di-takhshish (dikecualikan / dibatasi) oleh ayat-ayat lainnya :
15
وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ
dan Dia menciptakan jin dari nyala api.(QS. 55:15)



“Dan Kami ciptakan Al-Jan sebelum (adam) dari api yang sangat panas (Q.S. Al-Hijr :27)
Dari Urwah dari Aisyah Rasulullah SAW bersabda : malaikat diciptakan dari cahaya (nur) sedang kan jin diciptakan dari nyala api (mariij) dan Adam diciptakan dari sesuatu yang telah disebutkan pada kalian (H.R. Muslim)
Maka dari ayat dan hadits di atas jelas kita pahami bahwa jin dan malaikat walau bukan makhluk kasat mata namun tergolong makluk yang hidup, namun mereka tidak terbuat dari air melainkan jin terbuat dari api dan malaikat terbuat dari cahaya. Maka ayat dan hadits ini men-takhshish (mengecualikan) keumuman dari ayat Q.S. Al-Anbiya [21]:30
Contoh lainnya adalah firman Allah tentang jawaban Nabi Khidir a.s. ketika ditanya oleh Nabi Musa a.s. mengapa ia melubangi perahu yang mereka tumpangi
“Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: “Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?” (Q.S. Al-Kahfi [18]:71)
Maka Nabi Khidir a.s. menjawab :
“Karena di hadapan Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas semua bahtera (kulla safiinah)” (Q.S. Al-Kahfi [18]:79)
Tapi kenyataannya raja itu tidak merampas semua bahtera melainkan hanya bahtera yang masih bagus saja. Jika tidak, maka untuk apa Nabi Khidir a.s. melubangi perahu itu. Jika benar-benar kata “kulla” bermakna umum, maka semua perahu termasuk yang bocor pun akan dirampas oleh raja itu. Maka perkataan “kulla safiinah” (semua bahtera) pada ayat tersebut tidak sungguh-sungguh bermakna “semua”
Contoh lainnya lagi pada ayat :
“(Angin) yang menghancurkan segala sesuatu karena perintah Rabbnya, maka jadilah mereka tidak ada yang tersisa lagi kecuali tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa” (Q.S. Al Ahqaf [46] : 25).
Ayat ini berbicara tentang kaum Nabi Hud a.s. yaitu kerabat kaum ‘Ad dan Tsamud. Namun kenyataannya tidak demikian, sisa-sisa peradaban kaum ‘Ad dan Tsamud yang dibinasakan Allah masih bisa dilihat sisa bangunannya dan menjadi pelajaran bagi umat yang kemudian
Dan apakah tidak menjadi petunjuk bagi mereka, berapa banyak umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan sedangkan mereka sendiri berjalan di tempat-tempat kediaman mereka itu.” (Q.S. As-Sajadah [32] : 26)
Sebagian ulama ada yang mengajukan dalil bahwa kata “kulla” bermakna umum pada kalimat
Kullu nafsin dzaiqotul maut (Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati) )” (Q.S. Ali-Imran [3] : 185)
Namun kenyataannya tetap saja ada yang dikecualikan yaitu pada ayat :
Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing). (Q.S. Az-Zumar [39] : 68)
Dan (ingatlah) hari (ketika) ditiup sangkakala, maka terkejutlah segala yang di langit dan segala yang di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Dan semua mereka datang menghadap-Nya dengan merendahkan diri. (Q.S. An-Naml [27] : 87 )
Maka pada ayat itu ternyata ada beberapa makhluk hidup (yang pasti adalah malaikat yang meniup sangsakala dimana ia tidak ikut mati) padahal malaikat adalah makhluk yang berjiwa juga karena ia adalah makhluk yang hidup.
Kadang kala kalimat umum itu tidak mesti menggunakan kata kullu, misalnya pada ayat :
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai…” (Q.S. Al-Maidah [5] : 5)
Ayat di atas bermakna umum artinya bangkai apapun itu haram tanpa kecuali. Namun kenyataannya bangkai binatang dari laut tidak haram
Rasulullah s.a.w. bersabda : “Laut itu suci dan bangkainyapun halal” (H.R. Tirmidzi)
Contoh lain kalimat umum yang tidak menggunakan kata “kullu”  misalnya pada ayat :
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”.(Q.S. Al-Baqarah [2] :228).
Pada ayat di atas lafadz al-mutholaqotu adalah isim jamak yang diikuti alif lam sehingga maknanya adalah umum (lafadz ‘am) sehingga artinya wanita manapun dalam kondisi bagaimanapun.
Namun lafadz ‘am ini di-takhshish (dibatasi / dikecualikan) dengan ayat lainnya yaitu :
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (Q.S. At-Thalaq [ 65]:4)
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.(Q.S.Al-Ahzab [33]:49).
Maka keumuman ayat Al-Baqarah [2]:228 bahwa wanita yang dicerai harus beriddah tiga kali suci, itu  dikecualikan untuk wanita yang sedang hamil dan yang dicerai dalam keadaan belum pernah digauli.
Maka dari sini para ulama mengatakan bahwa hampir tak ada lafadz umum yang bebas dari pengecualian, kecuali ayat-ayat yang berkaitan dengan kekuasaan Allah  yang memang bersifat mutlak dan tanpa kecuali.
Wahbah Zuhaili mengatakan : “Jumhur ulama berhujjah bawah setiap yang umum memiliki kecenderungan takhshish (pengecualian / pembatasan) sehingga telah tersebar di kalangan ulama (anggapan) bahwa tak ada yang umum kecuali telah dikhususkan (dari keumumannya) maka takhshish memang banyak tersebar pada hal-hal yang umum. Artinya bahwa tak ada yang bebas (suatu dalil umum) dari adanya takhshish melainkan sedikit saja” (Ushul Al-Fiqih Al-Islami Juz 1 Hal 245)
Demikian pula Muhammad bin Ali Asy Syaukani mengatakan : “Telah sepakat ahli ilmu baik salaf maupun kholaf bahwa takhshish bagi keumuman-keumuman itu adalah sesuatu yang ja’iz (boleh) dan tidak ada seorangpun dari orang-orang yang dipandang keilmuannya yang menentangnya, dan hal ini sudah diketahui termasuk bagian dari syari’at yang suci ini, tidak tersembunyi bahkan dari orang yang memiliki komitmen yang rendah terhadap syari’at sekalipun, sehingga dikatakan tidak ada dalil yang umum melainkan sudah dikhususkan kecuali firman Allah Ta’ala “dan Dia Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu” (Irsyadul Fuhuul Hal 246)
Demikian pula lah dalam pembahasan masalah hadits bid’ah :
kullu muhdatsatin bid’ah, wa kullu bid’atin dlolalah (setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat (H.R. Ibnu Majah)
Bahwa perkataan kullu pada hadits di atas tidak sungguh sungguh bermakna “semua” atau “setiap” melainkan hal itu telah dikecualikan (ada takhshish nya)

 contoh lagi
Jelek dan sesat paralel tidak bertentangan, hal ini terjadi pula dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya :
وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبَا (الكهف: 79)
Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa”. (Al-Kahfi : 79).

Dalam ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal jelek; karena yang jelek tidak akan diambil oleh raja. Maka lafadh كل سفينة sama dengan كل بد عة tidak disebutkan sifatnya, walaupun pasti punya sifat, ialah kapal yang baik كل سفينة حسنة .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar