1. Makna “KULLU BID’AH DHOLALAH”
1. Makna “KULLU BID’AH DHOLALAH”
Pada
firman Allah yang berbunyi : Waja`alna minal maa-i KULLA syai-in
hayyin. Lafadz KULLA disini, haruslah diterjemahkan dengan arti :
SEBAGIAN. Sehingga ayat itu berarti: Kami ciptakan dari air sperma,
SEBAGIAN makhluq hidup.Karena Allah juga berfirman menceritakan tentang
penciptaan jin Iblis yang berbunyi: Khalaqtani min naarin. Artinya :
Engkau (Allah) telah menciptakan aku (iblis) dari api.
Dengan
demikian, ternyata lafadl KULLU, tidak dapat diterjemahkan secara
mutlaq dengan arti : SETIAP/SEMUA, sebagaimana umumnya jika merujuk ke
dalam kamus bahasa Arab umum, karena hal itu tidak sesuai dengan
kenyataan.
Demikian
juga dengan arti hadits Nabi SAW : Fa inna KULLA BID`ATIN dhalalah,.
Maka harus diartikan: Sesungguhnya SEBAGIAN dari BID`AH itu adalah
sesat.
Kulla
di dalam Hadits ini, tidak dapat diartikan SETIAP/SEMUA BID`AH itu
sesat, karena Hadits ini juga muqayyad atau terikat dengan sabda Nabi
SAW yang lain: Man sanna fil islami sunnatan hasanatan falahu ajruha wa
ajru man \`amila biha. Artinya : Barangsiapa memulai/menciptakan
perbuatan baik di dalam Islam, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala
orang yang mengikutinya.
Jadi
jelas, ada perbuatan baru yang diciptakan oleh orang-orang di jaman
sekarang, tetapi dianggap baik oleh Nabi SAW, dan dijanjikan pahala bagi
pencetusnya, serta tidak dikatagorikan BID`AH DHALALAH.
Sebagai
contoh dari man sanna sunnatan hasanah (menciptakan perbuatan baik)
adalah saat Hajjaj bin Yusuf memprakarsai pengharakatan pada mushaf
Alquran, serta pembagiannya pada juz, ruku\`, maqra, dll yang hingga
kini lestari, dan sangat bermanfaat bagi seluruh umat Islam.
Untuk
lebih jelasnya, maka bid’ah itu dapat diklasifikasi sebagai berikut :
Ada pemahaman bahwa Hadits KULLU BID`ATIN DHALALAH diartikan dengan:
SEBAGIAN BID`AH adalah SESAT, yang contohnya : 1. Adanya sebagian
masyarakat yang secara kontinyu bermain remi atau domino setelah pulang
dari mushalla. 2. Adanya kalangan umat Islam yang menghadiri undangan
Natalan. 3. Adanya beberapa sekelompok muslim yang memusuhi sesama
muslim, hanya karena berbeda pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah
furu\`iyyah (masalah fiqih ibadah dan ma’amalah), padahal sama-sama
mempunyai pegangan dalil Alquran-Hadits, yang motifnya hanya karena
merasa paling benar sendiri. Perilaku semacam ini dapat diidentifikasi
sebagai BID`AH DHaLALAH).
Ada
pula pemahaman yang mengatakan, bahwa amalan baik yang terrmasuk
ciptaan baru di dalam Islam dan tidak bertentangan dengan syariat Islam
yang sharih, maka disebut SANNA (menciptakan perbuatan baik). Contohnya:
Adanya sekelompok orang yang mengadakan shalat malam (tahajjud) secara
berjamaah setelah shalat tarawih, yang khusus dilakukan pada bulan
Ramadhan di Masjidil Haram dan di Masjid Nabawi, seperti yang dilakukan
oleh tokoh-tokoh beraliran Wahhabi Arab Saudi semisal Syeikh Abdul Aziz
Bin Baz dan Syeikh Sudaisi Imam masjidil Haram, dll. Perilaku ini juga
tergolong amalan BID`AH karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW,
tetapi dikatagorikan sebagai BID’AH HASANAH atau bid’ah yang baik.
Melaksanakan
shalat sunnah malam hari dengan berjamaah yang khusus dilakukan pada
bulan Ramadhan, adalah masalah ijtihadiyah yang tidak didapati
tuntunannya secara langsung dari Nabi SAW maupun dari ulama salaf,
tetapi kini menjadi tradisi yang baik di Arab Saudi. Dikatakan Bid’ah
Hasanah karena masih adanya dalil-dalil dari Alquran-Hadits yang
dijadikan dasar pegangan, sekalipun tidak didapat secara
langsung/sharih, melainkan secara ma`nawiyah. Antara lain adanya ayat
Alquran-Hadits yang memeerintahkan shalat sunnah malam (tahajjud), dan
adanya perintah menghidupkan malam di bulan Ramadhan.
Tetapi
mengkhususkan shalat sunnah malam (tahajjud) di bulan Ramadhan setelah
shalat tarawih dengan berjamaah di masjid, adalah jelas-jelas perbuatan
BID`AH yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW dan ulama salaf.
Sekalipun demikian masih dapat dikatagorikan sebagai perilaku BID`AH
HASANAH.
Demikian
juga umat Islam yg melakukan pembacaan tahlil atau kirim doa untuk
mayyit, melaksanakan perayaan maulid Nabi SAW, mengadakan isighatsah,
dll, termasuk BID’AH HASANAH. Sekalipun amalan-amalan ini tidak pernah
dilakukan oleh Nabi SAW, namun masih terdapat dalil-dalil
Alquran-Haditsnya sekalipun secara ma’nawiyah.
Contoh
mudah, tentang pembacaan tahlil (tahlilan masyarakat), bahwa isi
kegiatan tahlilan adalah membaca surat Al-ikhlas, Al-falaq, Annaas.
Amalan ini jelas-jelas adalah perintah Alquran-Hadits. Dalam kegiatan
tahlilan juga membaca kalimat Lailaha illallah, Subhanallah,
astaghfirullah, membaca shalawat kepada Nabi SAW, yang jelas- jelas
perintah Alquran-Hadits. Ada juga pembacaan doa yang disabdakan oleh
Nabi SAW : Adduaa-u mukhkhul ‘ibadah. Atrinya : Doa itu adalah intisari
ibadah. Yang jelas, bahwa menhadiri majelis ta\`lim atau majlis dzikir
serta memberi jamuan kepada para tamu, adalah perintah syariat yang
terdapat di dalam Alquran-Hadits.
Hanya
saja mengemas amalan-amalan tersebut dalam satu rangkaian kegiatan
acara tahlilan di rumah-rumah penduduk adalah BID\`AH, tetapi termasuk
bid’ah yang dikatagorikan sebagai BID`AH HASANAH. Hal itu, karena senada
dengan shalat sunnah malam berjamaah yang dikhususkan di bulan
Ramadhan, yang kini menjadi kebiasaan tokoh-tokoh Wahhabi Arab Saudi.
Nabi
SAW dan para ulama salaf, juga tidak pernah berdakwah lewat pemancar
radio atau menerbitkan majalah dan bulletin. Bahkan pada saat awal Islam
berkembang, Nabi SAW pernah melarang penulisan apapun yang bersumber
dari diri beliau SAW selain penulisan Alquran. Sebagaiman di dalam sabda
beliau SAW : La taktub `anni ghairal quran, wa man yaktub `anni ghairal
quran famhuhu. Artinya: Jangan kalian menulis dariku selain alquran,
barangsiapa menulis dariku selain Alquran maka hapuslah. Sekalipun pada
akhir perkembangan Islam, Nabi SAW menghapus larangan tersebut dengan
Hadits : Uktub li abi syah. Artinya: Tuliskanlah hadits untuk Abu Syah.
Meskipun
sudah ada perintah Nabi SAW untuk menuliskan Hadits, tetapi para ulama
salaf tetap memberi batasan-batasan yang sangat ketat dan syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh para muhadditsin. Fenomena di atas sangat
berbeda dengan penerbitan majalah atau bulletin.
Dalam
penulisan artikel untuk majalah atau bulletin, penulis hanyalah
mencetuskan pemahaman dan pemikirannya, tanpa ada syarat-syarat yang
mengikat, selain masalah susunan bahasa. Jika memenuhi standar
jurnalistik maka artikel akan dimuat, sekalipun isi kandungannya jauh
dari standar kebenaran syariat.
Contohnya,
dalam penulisan artikel, tidak ada syarat tsiqah (terpercaya) pada diri
penulis, sebagaimana yang disyaratkan dalam periwayatan dan penulisan
Hadits NabiSAW. Jadi sangat berbeda dengan penulisan Hadits yang masalah
ketsiqahan menjadi syarat utama untuk diterima-tidaknya Hadits yang
diriwayatkannya.
Namun,
artikel majalah atau bulletin dan yang semacamnya, jika berisi
nilai-nilai kebaikan yang sejalan dengan syariat, dapat dikatagorikan
sebagai BID’AH HASANAH, karena berdakwah lewat majalah atau bulletin
ini, tidka pernah dilakukan oleh Nabi SAW maupun oleh ulama salaf
manapun. Namun karena banyak manfaat bagi umat, maka dapat dibenarkan
dalam ajaran Islam, selagi tidak keluar dari rel-rel syariat yang
benar. (H. Luthfi Bashori)
2.Mengenal Makna Bidah
Ada
sekelompok golongan yg suka membid’ah-bid’ahkan (sesat) berbagai
kegiatan yang baik di masyarakat, seperti peringatan maulid, isra’
mi’raj, yasinan mingguan, tahlilan dll. Kadang mereka berdalil dengan
dalih,Agama ini telah sempurna.
Jika
perbuatan itu baik, niscaya Rasulullah saw telah mencontohkan lebih
dulu.Atau mengatakan,Itu bid’ah,karena tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah saw. Atau,
jikalau hal tersebut dibenarkan, maka pasti Rasulullah saw memerintahkannya. Apa kamu merasa.lebih.pandai dari Rasulullah?
jikalau hal tersebut dibenarkan, maka pasti Rasulullah saw memerintahkannya. Apa kamu merasa.lebih.pandai dari Rasulullah?
Mem-vonis
bid’ah sesat suatu amal perbuatan (baru) dengan argumen di atas adalah
lemah sekali. Ada berbagai amal baik yang Baginda Rasul saw tidak
mencontohkan ataupun memerintahkannya. Teriwayatkan dalam berbagai
hadits dan dalam fakta sejarah.
1. Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. berkata kepada Bilal ketika shalat fajar (shubuh),
1. Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. berkata kepada Bilal ketika shalat fajar (shubuh),
“Hai
Bilal, ceritakan kepadaku amalan apa yang paling engkau harap pahalanya
yang pernah engkau amalkan dalam masa Islam, sebab aku mendengar suara
terompamu di surga. Bilal berkata, “Aku tidak mengamalkan amalan yang
paling aku harapkan lebih dari setiap kali aku berssuci, baik di malam
maupun siang hari kecuali aku shalat untuk bersuciku itu”.Dalam riwayat
at Turmudzi yang ia shahihkan, Nabi saw. berkata kepada Bilal,
‘Dengan apa engkau mendahuluiku masuk surga? ” Bilal berkata, “Aku tidak mengumandangkan adzan melainkan aku shalat dua rakaat, dan aku tidak berhadats melaikan aku bersuci dan aku mewajibkan atas diriku untuk shalat (sunnah).” Maka Nabi saw. bersabda “dengan keduanya ini (engkau mendahuluiku masuk surga).
Hadis di atas juga diriwayatkan oleh Al Hakim dan ia berkata, “Hadis shahih berdasarkan syarat keduanya (Bukhari & Muslim).” Dan adz Dzahabi mengakuinya.
Hadis di atas menerangkan secara mutlak bahwa sahabat ini (Bilal) melakukan sesuatu dengan maksud ibadah yang sebelumnya tidak pernah dilakukan atau ada perintah dari Nabi saw.
2. Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan para muhaddis lain pada kitab Shalat, bab Rabbanâ laka al Hamdu,
dari riwayat Rifa’ah ibn Râfi’, ia berkata, “Kami shalat di belakang Nabi saw., maka ketika beliau mengangkat kepala beliau dari ruku’ beliau membaca, sami’allahu liman hamidah (Allah maha mendengar orang yang memnuji-Nya), lalu ada seorang di belakang beliau membaca, “Rabbanâ laka al hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fîhi (Tuhan kami, hanya untuk-Mu segala pujian dengan pujian yang banyak yang indah serta diberkahi).
‘Dengan apa engkau mendahuluiku masuk surga? ” Bilal berkata, “Aku tidak mengumandangkan adzan melainkan aku shalat dua rakaat, dan aku tidak berhadats melaikan aku bersuci dan aku mewajibkan atas diriku untuk shalat (sunnah).” Maka Nabi saw. bersabda “dengan keduanya ini (engkau mendahuluiku masuk surga).
Hadis di atas juga diriwayatkan oleh Al Hakim dan ia berkata, “Hadis shahih berdasarkan syarat keduanya (Bukhari & Muslim).” Dan adz Dzahabi mengakuinya.
Hadis di atas menerangkan secara mutlak bahwa sahabat ini (Bilal) melakukan sesuatu dengan maksud ibadah yang sebelumnya tidak pernah dilakukan atau ada perintah dari Nabi saw.
2. Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan para muhaddis lain pada kitab Shalat, bab Rabbanâ laka al Hamdu,
dari riwayat Rifa’ah ibn Râfi’, ia berkata, “Kami shalat di belakang Nabi saw., maka ketika beliau mengangkat kepala beliau dari ruku’ beliau membaca, sami’allahu liman hamidah (Allah maha mendengar orang yang memnuji-Nya), lalu ada seorang di belakang beliau membaca, “Rabbanâ laka al hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fîhi (Tuhan kami, hanya untuk-Mu segala pujian dengan pujian yang banyak yang indah serta diberkahi).
Setelah selesai shalat, Nabi saw. bersabda, “Siapakah orang yang membaca kalimat-kalimat tadi?” Ia berkata, “Aku.” Nabi bersabda, “Aku menyaksikan tiga puluh lebih malaikat berebut mencatat pahala bacaaan itu.”
Ibnu Hajar berkomentar, “Hadis itu dijadikan hujjah/dalil dibolehannya berkreasi dalam dzikir dalam shalat selain apa yang diajarkan (khusus oleh Nabi saw.) jika ia tidak bertentang dengan yang diajarkan. Kedua dibolehkannya mengeraskan suara dalam berdzikir selama tidak menggangu.”
3. Imam Muslim dan Abdur Razzaq ash Shan’ani meriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata,
Ada seorang lali-laki datang sementara orang-orang sedang menunaikan shalat, lalu ketika sampai shaf, ia berkata:
اللهُ أكبرُ كبيرًا، و الحمدُ للهِ كثيرًا و سبحانَ اللهِ بكْرَةً و أصِيْلاً.
Setelah selesai shalat, Nabi saw. bersabda, “Siapakah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi?
Orang itu berkata, “Aku wahai Rasulullah saw., aku tidak mengucapkannya melainkan menginginkan kebaikan.”
Rasulullah saw. bersabda, “Aku benar-benar menyaksikan pintu-pintu langit terbuka untuk menyambutnya.”
Ibnu Umar berkata, “Semenjak aku mendengarnya, aku tidak pernah meninggalkannya.”
Dalam riwayat an Nasa’i dalam bab ucapan pembuka shalat, hanya saja redaksi yang ia riwayatkan: “Kalimat-kalimat itu direbut oleh dua belas malaikat.”
Dalam riwayat lain, Ibnu Umar berkata: “Aku tidak pernah meningglakannya semenjak aku mendengar Rasulullah saw. bersabda demikian.”
Di sini diterangkan secara jelas bahwa seorang sahabat menambahkan kalimat dzikir dalam i’tidâl dan dalam pembukaan shalat yang tidak/ belum pernah dicontohkan atau diperintahkan oleh Rasulullah saw. Dan reaksi Rasul saw pun membenarkannya dengan pembenaran dan kerelaan yang luar biasa.
Al hasil, Rasulullah saw telah men-taqrîr-kan (membenarkan) sikap sahabat yang menambah bacaan dzikir dalam shalat yang tidak pernah beliau ajarkan.
4. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya, pada bab menggabungkan antara dua surah dalam satu raka’at dari Anas, ia berkata,
“Ada seorang dari suku Anshar memimpin shalat di masjid Quba’, setiap kali ia shalat mengawali bacaannya dengan membaca surah Qul Huwa Allahu Ahad sampai selesai kemudian membaca surah lain bersamanya. Demikian pada setiap raka’atnya ia berbuat. Teman-temannya menegurnya, mereka berkata, “Engkau selalu mengawali bacaan dengan surah itu lalu engkau tambah dengan surah lain, jadi sekarang engkau pilih, apakah membaca surah itu saja atau membaca surah lainnya saja.” Ia menjawab, “Aku tidak akan meninggalkan apa yang biasa aku kerjakan. Kalau kalian tidak keberatan aku mau mengimami kalian, kalau tidak carilah orang lain untuk menjadi imam.” Sementara mereka meyakini bahwa orang ini paling layak menjadi imam shalat, akan tetapi mereka keberatan dengan apa yang dilakukan.
Ketika mereka mendatangi Nabi saw. mereka melaporkannya. Nabi menegur orang itu seraya bersabda, “hai fulan, apa yang mencegahmu melakukan apa yang diperintahkan teman-temanmu? Apa yang mendorongmu untuk selalu membaca surah itu (Al Ikhlash) pada setiap raka’at? Ia menjawab, “Aku mencintainya.”
Maka Nabi saw. bersabda, “Kecintaanmu kepadanya memasukkanmu ke dalam surga.”
Demikianlah sunnah dan jalan Nabi saw. dalam menyikapi kebaikan dan amal keta’atan walaupun tidak diajarkan secara khusus oleh beliau, akan tetapi selama amalan itu sejalan dengan ajaran kebaikan umum yang beliau bawa maka beliau selalu merestuinya. Jawaban orang tersebut membuktikan motifasi yang mendorongnya melakukan apa yang baik kendati tidak ada perintah khusus dalam masalah itu, akan tetapi ia menyimpulkannya dari dalil umum dianjurkannya berbanyak-banyak berbuat kebajikan selama tidak bertentangan dengan dasar tuntunan khusus dalam syari’at Islam.
Kendati demikian, tidak seorangpun dari ulama Islam yang mengatakan bahwa mengawali bacaan dalam shalat dengan surah al Ikhlash kemudian membaca surah lain adalah sunnah yang tetap! Sebab apa yang kontinyu diklakukan Nabi saw. adalah yang seharusnya dipelihara, akan tetapi ia memberikan kaidah umum dan bukti nyata bahwa praktik-prakti seperti itu dalam ragamnya yang bermacam-macam walaupun seakan secara lahiriyah berbeda dengan yang dilakukan Nabi saw. tidak berarti ia bid’ah (sesat).
5. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab at Tauhid,
dari Ummul Mukminin Aisyah ra. bahwa Nabi sa. Mengutus seorang memimpin sebuah pasukan, selama perjalanan orang itu apabila memimpin shalat membaca surah tertentu kemudian ia menutupnya dengn surah al Ikhlash (Qulhu). Ketika pulang, mereka melaporkannya kepada nabi saw., maka beliau bersabda, “Tanyakan kepadanya, mengapa ia melakukannya?” Ketika mereka bertanya kepadanya, ia menjawab “Sebab surah itu (memuat) sifat ar Rahman (Allah), dan aku suka membacanya.” Lalu Nabi saw. bersabda, “Beritahukan kepadanya bahwa Allah mencintainya.” (Hadis Muttafaqun Alaihi).
Apa yang dilakukan si sahabat itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw., namun kendati demikian beliau membolehkannya dan mendukung pelakuknya dengan mengatakan bahwa Allah mencintainya.
3.Pertanyaan dan Jawaban Seputar Bidah
Orang-orang yang tidak sependapat dengan amalan warga NU biasanya membidahkan amalan warga Nahdliyin dengan dalil sebagai berikut:
- Barangsiapa menimbulkan sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kita yang bukan dari ajarannya maka tertolak. (HR. Bukhari)
- Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah, dan sebaik-baik jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad, sedangkan seburuk-buruk urusan agama ialah yang diada-adakan. Tiap-tiap yang diada-adakan adalah bid'ah, dan tiap bid'ah adalah sesat, dan tiap kesesatan (menjurus) ke neraka. (HR. Muslim)
- Apabila kamu melihat orang-orang yang ragu dalam agamanya dan ahli bid'ah sesudah aku (Rasulullah Saw) tiada maka tunjukkanlah sikap menjauh (bebas) dari mereka. Perbanyaklah lontaran cerca dan kata tentang mereka dan kasusnya. Dustakanlah mereka agar mereka tidak makin merusak (citra) Islam. Waspadai pula orang-orang yang dikhawatirkan meniru-niru bid'ah mereka. Dengan demikian Allah akan mencatat bagimu pahala dan akan meningkatkan derajat kamu di akhirat. (HR. Ath-Thahawi)
- Kamu akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk ke lubang biawak pun kamu ikut memasukinya. Para sahabat lantas bertanya, "Siapa 'mereka' yang baginda maksudkan itu, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Orang-orang Yahudi dan Nasrani." (HR. Bukhari)
- Tiga perkara yang aku takuti akan menimpa umatku setelah aku tiada: kesesatan sesudah memperoleh pengetahuan, fitnah-fitnah yang menyesatkan, dan syahwat perut serta seks. (Ar-Ridha)
- Barangsiapa menipu umatku maka baginya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Ditanyakan, "Ya Rasulullah, apakah pengertian tipuan umatmu itu?" Beliau menjawab, "Mengada-adakan amalan bid'ah, lalu melibatkan orang-orang kepadanya." (HR. Daruquthin dari Anas).
Setelah
kita membaca hadits-hadits di atas Coba saudara cermati lagi. Telah
kami terangkan bahwa kami umat Islam Ahlussunnah Wal Jamaah sangat
menolak bid'ah dhalalah, persis dengan hadits2 di atas, yaitu menolak
perilaku menciptakan ibadah baru yang bertentangan dengan ajaran Syariat
Islam, contohnya pelaksanaan Doa Bersama Muslim non Muslim (buka Book
Collection pada kolom Karya Tulis Pejuang), karena perilaku itu
bertentangan dengan Alquran, falaa taq'uduu ma'ahum hatta yakhudhuu fi
hadiitsin ghairih (janganlah kalian duduk dengan mereka -non muslim
dalam ritualnya- hingga mereka membicarakan pembahasan lain -yang bukan
ritual).
Serta
lakum diinukum wa liadiin, bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Jadi
jelaslah, Pejuang Islam mengumandangkan 'perang' terhadap pelakunya.
Karena perilaku Doa Bersama Muslim non Muslim ini ini jelas-jelas bid'ah
dhalalah, tidak ada tuntunannya sedikitpun di dalam Islam. Tetapi
tentang bid'ah hasanah semisal ritual tahlilan atau kirim doa untuk
mayit, pasti tetap kami laksanakan, karena tidak bertentangan dengan
syariat Islam,
bahkan
ada perintahnya baik dari Alquran maupun Hadits. Perlu Akhi ketahui,
yang dimaksud ritual Tahlilan itu, adalah dimulai dengan
- Mengumpul masyarakat untuk hadir di majlis dzikir dan taklim, tidakkah ini sunnah Nabi ? Hadits masyhur : idza marartum bi riyaadhil jannah farta'uu, qaluu wamaa riyadhul jannah ya rasulullah? Qaala hilaqud dzikr (Jika kalian mendapati taman sorga, maka masuklah, mereka bertanya, apa itu (riyadhul jannah) taman sorga, wahai Rasulullah? Beliau menjawab : majlis dzikir).
- Membaca surat Alfatihah, tidakkah baca Alfatihah ini perintah syariat ?
- Baca surat Yasin, tidakkah baca Yasin juga perintah syariat ?
- Baca Al-ikhlas, Al-alaq-Annaas, tidakkah Allah berfirman faqra-u ma tayassara minal quran (bacalah apa yang mudah/ringan dari ayat Alquran).
- Baca subhanallah, astaghfirullah, shalawat Nabi, kalimat thayyibah lailaha illallah muhammadur rasulullah.
- Doa penutup.
- Lantas tuan rumah melaksanakan ikramud dhaif, menghormati tamu sesuai dengan kemampuannya.
Tentunya
dalam masalah ini sangat bervariatif sesuai dengan tingkat
kemampuannya, tak ubahnya saat Akhi/keluarga Akhi melaksnakan pernikahan
dengan suguhan untuk tamu, yang disesuikan dengan kemampuan tuan rumah.
Nah,
jika amalan2 ini dikumpulkan dalam satu tatanan acara, maka itulah yang
dinamakan tahlilan, sekalipun Nabi tidak pernah mengamalkan tahlilan
model Indonesia ini, namun setiap komponen dari ritual tahlilan adalah
mengikuti ajaran Nabi SAW, maka yang demikian inilah yang dinamakan
dengan BID'AH HASANAH.
Siapa
kira-kira yang memulai Bid’ah Hasanah ini ? Tiada lain adalah Khalifah
ke dua, Sy. Umar bin Khatthab, tatkala beliau tahu bahwa Nabi
mengajarkan shalat sunnah Tarawih 20 rakaat di bulan Ramadhan. Namun
Nabi SAW melaksanakannya di masjid dengan sendirian, setelah beberapa
kali beliau lakukan, lantas ada yang ikut jadi makmum, kemudian Nabi
melaksnakan 8 rakaat di masjid, selebihnya dilakukan di rumah sendirian.
Demikian pula para shahabatpun mengikuti perilaku ini, hingga pada saat
kekhalifahan Sy. Umar, beliau berinisiatif mengumpulkan semua
masyarakat untuk shalat Tarawih dengan berjamaah, dilaksanakan 20 rakaat
penuh di dalam masjid Nabawi, seraya berkata : Ni'matil bid'atu
haadzihi (sebaik-baik bid’ah adalah ini = pelaksanaan tarawih 20 rakaat
dengan berjamaah di dalam masjid sebulan suntuk). Bid'ahnya Sy. Umar ini
terus lestari hingga saat ini, malahan yang melestarikan adalah
tokoh-tokoh Wahhabi/Salafi Saudi Arabiah seperti Syeikh Bin Baaz, Bin
Shaleh, Sudais, dll. Hal ini sama lestarinya dengan bid'ahnya para
Walisongo yang mengajarkan tahlilan di masyarakat Muslim Indonesia. Jadi
baik Sy.
Umar
dan pelanjut shalat tarawih di majid-masjid di seluruh dunia, maupun
para Walisongo dengan para pengikutnya umat Islam Indonesia, adalah
pelaku BID'AH HASANAH, yang dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim disebut : Man sanna fil Islami sunnatan hasanatan, fa lahu
ajruha wa ajru man amila biha bakdahu min ghairi an yangkusha min
ujurihim syaik (Barangsiapa yang memberi contoh sunnatan hasanatan
(perbuatan baru yang baik) di dalam Islam (yang tidak bertentangan
dengan syariat),
maka
ia akan mendapatkan pahalanya dan kiriman pahala dari orang yang
mengamalkan ajarannya, tanpa mengurangi pahala para pengikutnya sedikit
pun.
Jadi sangat jelas baik Sy. Umar maupun para wWalisongo telah mengumpulkan pundi-pundi pahala yang sangat banyak dari kiriman pahala umat Islam yang mengamalkan ajaran Bid'ah Hasanahnya beliau-beliau itu. Baik itu berupa Bid'ahnya Tarawih Berjamaah maupun Bid'ahnya Tahlilan dan amalan baik umat Islam yang lainnya. Akhi juga bisa kok menciptakan Sunnatan Hasanah atau Bid'ah Hasanah, untuk menunggu kiriman pundi-pundi pahala. Ayoo cobalah berpikir dan mencarinya, barangkali saja Akhi bisa menemukan amalan baru tersebut yang tidak bertentangan dengan syariat !! Lumayan loh ... !
Jadi sangat jelas baik Sy. Umar maupun para wWalisongo telah mengumpulkan pundi-pundi pahala yang sangat banyak dari kiriman pahala umat Islam yang mengamalkan ajaran Bid'ah Hasanahnya beliau-beliau itu. Baik itu berupa Bid'ahnya Tarawih Berjamaah maupun Bid'ahnya Tahlilan dan amalan baik umat Islam yang lainnya. Akhi juga bisa kok menciptakan Sunnatan Hasanah atau Bid'ah Hasanah, untuk menunggu kiriman pundi-pundi pahala. Ayoo cobalah berpikir dan mencarinya, barangkali saja Akhi bisa menemukan amalan baru tersebut yang tidak bertentangan dengan syariat !! Lumayan loh ... !
CONTOH BIDAH BAIK
Setelah
baginda Nabi saw wafat pun amal-amal perbuatan baik yang baru tetap
dilakukan. Umat islam mengakuinya berdasar dalil-dalil yang shahih.
Simak berbagai contoh berikut,
1. Pembukuan al Qur’an. Sejarah pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an. Bagaimana sejarah penulisan ayat-ayat al Qur’an. Hal ini terjadi sejak era sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit ra. Kemudian oleh sahabat Ustman bin ‘Affan ra. Jauh setelah itu kemudian penomoran ayat/ surat, harakat tanda baca, dll.
2. Sholat tarawih seperti saat ini. Khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih berma’mum pada seorang imam. Pada perjalanan berikutnya dapat ditelusuri perkembangan sholat tarawih di masjid Nabawi dari masa ke masa.
3. Modifikasi yang dilakukan oleh sahabat Usman Bin Affan ra dalam pelaksanaan sholat Jum’at. Beliau memberi tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at.
4. Pembukuan hadits. Bagaimana sejarah pengumpulan dari hadits satu ke hadits lainnya. Bahkan Rasul saw pernah melarang menuliskan hadits2 beliau karena takut bercampur dengan Al Qur’an. Penulisan hadits baru digalakkan sejak era Umar ibn Abdul Aziz, sekitar tahun 100 H.
5. Penulisan sirah Nabawi. Penulisan berbagai kitab nahwu saraf, tata bahasa Arab, dll. Penulisan kitab Maulid. Kitab dzikir, dll
6. Saat ini melaksanakan ibadah haji sudah tidak sama dengan zaman Rasul saw atau para sahabat dan tabi’in. Jamaah haji tidur di hotel berbintang penuh fasilitas kemewahan, tenda juga diberi fasiltas pendingin untuk yang haji plus, memakai mobil saat menuju ke Arafah, atau kembali ke Mina dari Arafah dan lainnya.
Masih banyak contoh-contoh lain.
1. Pembukuan al Qur’an. Sejarah pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an. Bagaimana sejarah penulisan ayat-ayat al Qur’an. Hal ini terjadi sejak era sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit ra. Kemudian oleh sahabat Ustman bin ‘Affan ra. Jauh setelah itu kemudian penomoran ayat/ surat, harakat tanda baca, dll.
2. Sholat tarawih seperti saat ini. Khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih berma’mum pada seorang imam. Pada perjalanan berikutnya dapat ditelusuri perkembangan sholat tarawih di masjid Nabawi dari masa ke masa.
3. Modifikasi yang dilakukan oleh sahabat Usman Bin Affan ra dalam pelaksanaan sholat Jum’at. Beliau memberi tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at.
4. Pembukuan hadits. Bagaimana sejarah pengumpulan dari hadits satu ke hadits lainnya. Bahkan Rasul saw pernah melarang menuliskan hadits2 beliau karena takut bercampur dengan Al Qur’an. Penulisan hadits baru digalakkan sejak era Umar ibn Abdul Aziz, sekitar tahun 100 H.
5. Penulisan sirah Nabawi. Penulisan berbagai kitab nahwu saraf, tata bahasa Arab, dll. Penulisan kitab Maulid. Kitab dzikir, dll
6. Saat ini melaksanakan ibadah haji sudah tidak sama dengan zaman Rasul saw atau para sahabat dan tabi’in. Jamaah haji tidur di hotel berbintang penuh fasilitas kemewahan, tenda juga diberi fasiltas pendingin untuk yang haji plus, memakai mobil saat menuju ke Arafah, atau kembali ke Mina dari Arafah dan lainnya.
Masih banyak contoh-contoh lain.
4.Bidah sebuah kata sejuta makna
Setelah
adanya uraian singkat tapi cukup jelas pada halaman sebelum ini
mengenai faham Salafi/Wahabi dan pengikutnya, marilah kita teruskan
mengupas apa yang dimaksud Bid’ah menurut syari’at Islam serta
wejangan/ pandangan para ulama pakar tentang masalah ini. Dengan
demikian insya Allah buat kita lebih jelas bidáh mana yang dilarang dan
yang dibolehkan dalam syari’at Islam.
Sunnah dan bid’ah
adalah dua soal yang saling berhadap-hadapan dalam memahami
ucapan-ucapan Rasulallah saw. sebagai Shohibusy-Syara’ (yang berwenang
menetapkan hukum syari’at). Sunnah dan bid’ah masing-masing tidak dapat
ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali jika yang satu sudah
ditentukan batas pengertiannya lebih dulu. Tidak sedikit orang yang
menetap- kan batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu batas pengertian sunnah.
Karena
itu mereka terperosok kedalam pemikiran sempit dan tidak dapat keluar
meninggalkannya, dan akhirnya mereka terbentur pada dalil-dalil yang
berlawanan dengan pengertian mereka sendiri tentang bid’ah. Seandainya
mereka menetapkan batas pengertian sunnah lebih dulu tentu mereka akan
memperoleh kesimpulan yang tidak berlainan. Umpamanya dalam hadits
berikut ini tampak jelas bahwa Rasulallah saw. menekankan soal sunnah lebih dulu, baru kemudian memperingatkan soal bid’ah.
Hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya dari Jabir ra. bahwa
Rasulallah saw. bila berkhutbah tampak matanya kemerah-merahan dan
dengan suara keras bersabda: ‘Amma ba’du, sesungguhnya tutur kata yang terbaik ialah Kitabullah (Al-Qur’an) dan petunjuk (huda)
yang terbaik ialah petunjuk Muhammad saw. Sedangkan persoalan yang
terburuk ialah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang
diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat’. (diketengahkan juga oleh Imam Bukhori hadits dari Ibnu Mas’ud ra).
Makna
hadits diatas ini diperjelas dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dari Jarir ra. bahwa Rasulallah saw. bersabda: ‘Barangsiapa
yang didalam Islam merintis jalan kebajikan ia memperoleh pahalanya dan
pahala orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun
juga. Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kejahatan ia
memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa
dikurangi sedikit pun juga’ (Shohih Muslim V11 hal.61). Selain
hadits ini masih beredar lagi hadits-hadits yang semakna yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Mas’ud dan dari Abu Hurairah
[ra].
Sekalipun hadits ini berkaitan dengan soal shadaqah namun kaidah pokok yang telah disepakati bulat oleh para ulama menetapkan; ‘Pengertian berdasar kan keumuman lafadh, bukan berdasarkan kekhususan sebab’.
Dari
hadits Jabir yang pertama diatas kita mengetahui dengan jelas bahwa
Kitabullah dan petunjuk Rasulallah saw., berhadap-hadapan dengan bid’ah,
yaitu sesuatu yang diada-adakan yang menyalahi Kitabullah dan petunjuk
Rasulallah saw. Dari hadits berikutnya kita melihat bahwa jalan
kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-hadapan dengan jalan kejahatan
(sunnah sayyiah). Jadi jelaslah, bahwa yang pokok adalah Sunnah, sedangkan yang menyimpang dan berlawanan dengan sunnah adalah Bid’ah .
Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam kitab Mufradatul-Qur’an Bab Sunan hal.245 mengatakan: ‘Sunan adalah jamak dari kata sunnah
.Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnah Rasulallah saw. berarti
Jalan Rasulallah saw. yaitu jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh
beliau. Sunnatullah dapat diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan mentaati-Nya. . Contoh firman Allah swt. dalam surat Al-Fatah : 23 : ‘Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu. Kalian tidak akan menemukan perubahan pada Sunnatullah itu’ .
Penjelasannya
ialah bahwa cabang-cabang hukum syari’at sekalipun berlainan bentuknya,
tetapi tujuan dan maksudnya tidak berbeda dan tidak berubah, yaitu
membersihkan jiwa manusia dan mengantarkan kepada keridhoan Allah swt.
Demikianlah Ar-Raghib Al-Ashfahani.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratul Mustaqim hal.76 mengata- kan: ‘Sunnah Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat jahiliyyah. Jadi kata sunnah dalam hal itu berarti adat kebiasaan yaitu
jalan atau cara yang berulang-ulang dilakukan oleh orang banyak, baik
mengenai soal-soal yang dianggap sebagai peribadatan maupun yang tidak
dianggap sebagai peribadatan’.
Demikian juga dikatakan oleh Imam Al-Hafidh didalam Al-Fath dalam tafsirnya mengenai makna kata Fithrah. Ia mengatakan, bahwa beberapa riwayat hadits menggunakan kata sunnah sebagai pengganti kata fithrah, dan bermakna thariqah atau jalan. Imam Abu Hamid dan Al-Mawardi juga mengartikan kata sunnah dengan thariqah (jalan).
Karena
itu kita harus dapat memahami sunnah Rasulallah saw. dalam menghadapi
berbagai persoalan yang terjadi pada zamannya, yaitu persoalan-persoalan
yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diperintahkan oleh
beliau saw., tetapi dipahami dan dilakukan oleh orang-orang yang berijtihad menurut kesanggupan akal pikirannya dengan tetap berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulallah saw.
Kita
juga harus mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu agar kita
dapat memahami jalan atau sunnah yang ditempuh Rasulallah saw. dalam
membenarkan, menerima atau menolak sesuatu yang dilakukan orang. Dengan
mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu kita dapat mempunyai
keyakinan yang benar dalam memahami sunnah beliau saw. mengenai
soal-soal baru yang terjadi sepeninggal Rasulallah saw. Mana yang baik
dan sesuai dengan Sunnah beliau saw., itulah yang kita namakan Sunnah, dan mana yang buruk, tidak sesuai dan bertentangan dengan Sunnah Rasulallah saw., itulah yang kita namakan Bid’ah. Ini semua baru dapat kita ketahui setelah kita dapat membedakan lebih dahulu mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.
Mungkin
ada orang yang mengatakan bahwa sesuatu kejadian yang dibiarkan (tidak
dicela dan tidak dilarang) oleh Rasulallah saw. termasuk kategori sunnah. Itu memang benar, akan tetapi kejadian yang dibiarkan oleh beliau itu merupakan petunjuk
juga bagi kita untuk dapat mengetahui bagaimana cara Rasulallah saw.
membiarkan atau menerima kenyataan yang terjadi. Perlu juga diketahui
bahwa banyak sekali kejadian yang dibiarkan Rasulallah saw. tidak
menjadi sunnah dan tidak ada seorangpun yang mengatakan itu
sunnah. Sebab, apa yang diperbuat dan dilakukan oleh beliau saw. pasti
lebih utama, lebih afdhal dan lebih mustahak diikuti. Begitu juga suatu
kejadian atau perbuatan yang didiamkan atau dibiarkan oleh beliau saw.
merupakan petunjuk bagi kita bahwa beliau saw. tidak menolak sesuatu yang baik, jika yang baik itu tidak bertentangan dengan tuntunan dan petunjuk beliau saw. serta tidak mendatangkan akibat buruk !
Itulah yang dimaksud oleh kesimpulan para ulama yang mengatakan, bahwa sesuatu
yang diminta oleh syara’ baik yang bersifat khusus maupun umum,
bukanlah bid’ah, kendati pun sesuatu itu tidak dilakukan dan tidak
diperintah- kan secara khusus oleh Rasulallah saw.! Mengenai
persoalan itu banyak sekali hadits shohih dan hasan yang menunjukkan
bahwa Rasulallah saw. sering membenarkan prakarsa baik (umpama amal
perbuatan, dzikir, do’a dan lain sebagainya) yang diamalkan oleh para sahabatnya.(silahkan
baca halaman selanjutnya). Tidak lain para sahabat mengambil prakarsa
dan mengerjakan- nya berdasarkan pemikiran dan keyakinannya sendiri,
bahwa yang dilakukan- nya itu merupakan kebajikan yang dianjurkan oleh
agama Islam dan secara umum diserukan oleh Rasulallah saw. (lihat hadits
yang lalu) begitu juga mereka berpedoman pada firman Allah swt. dalam
surat Al-Hajj:77: ‘Hendaklah kalian berbuat kebajikan, agar kalian memperoleh keberuntungan’ .
Walaupun para sahabat berbuat amalan atas dasar prakarsa masing-masing, itu tidak berarti setiap orang
dapat mengambil prakarsa, karena agama Islam mempunyai kaidah-kaidah
dan pedoman-pedoman yang telah ditetapkan batas-batasnya. Amal kebajikan
yang prakarsanya diambil oleh para sahabat Nabi saw. berdasarkan ijtihad dapat dipandang sejalan dengan sunnah Rasulallah saw. jika amal kebajikan itu sesuai dan tidak bertentangan dengan syari’at. Jika menyalahi ketentuan syari’at maka prakarsa itu tidak dapat dibenarkan dan harus ditolak !
Pada
dasarnya semua amal kebajikan yang sejalan dengan tuntutan syari’at,
tidak bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw, dan
tidak mendatangkan madharat/akibat buruk, tidak dapat disebut Bid’ah menurut pengertian istilah syara’. Nama yang tepat adalah Sunnah Hasanah, sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rasulallah saw. yang lalu.
Amal kebajikan seperti itu dapat disebut ‘Bid’ah’ hanya menurut pengertian bahasa, karena apa saja yang baru ‘diadakan’ disebut dengan nama Bid’ah.
Ada orang berpegang bahwa istilah bid’ah itu hanya satu saja dengan berdalil sabda Rasulallah saw. “Setiap bid’ah adalah sesat…” (“Kullu bid’atin dholalah”), serta tidak ada istilah bid’ah hasanah, wajib
dan sebagainya. Setiap amal yang dikategorikan sebagai bid’ah, maka
hukumya haram, karena bid’ah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang
haram dikerja- kan secara mutlak.
Sayangnya
mereka ini tidak mau berpegang kepada hadits–hadits lain (keterangan
lebih mendetail baca halaman selanjutnya) yang membuktikan sikap
Rasulallah saw. yang membenarkan dan meridhoi berbagai amal kebajikan
tertentu (yang baru ‘diadakan’ ) yang dilakukan oleh para sahabat- nya
yang sebelum dan sesudahnya tidak ada perintah dari beliau saw.!
Disamping
itu banyak sekali amal kebajikan yang dikerjakan setelah wafatnya
Rasulallah saw. umpamanya oleh isteri Nabi saw. ‘Aisyah ra, Khalifah
‘Umar bin Khattab serta para sahabat lainnya yang mana amalan-amalan ini tidak pernah adanya petunjuk dari Rasulallah saw. dan mereka kategorikan atau ucapkan sendiri sebagai amalan bid’ah (baca uraian selanjutnya), tetapi tidak ada satupun dari para sahabat yang mengatakan bahwa sebutan bid’ah itu adalah otomatis haram, sesat dan tidak ada kata bid’ah selain haram.
Untuk mencegah timbulnya kesalah-fahaman mengenai kata Bid’ah itulah para Imam dan ulama Fiqih memisahkan makna Bid’ah menjadi beberapa jenis, misalnya :
Menurut Imam Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang menjelaskannya.
Pertama, riwayat Abu Nu’aim;
اَلبِدْعَة
ُبِدْعَتَانِ , بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِيْمَا
وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ
مَذْمُومْ.
‘Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela.
Bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah yang terpuji
sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela’.
Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
. اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ
وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٌ
‘Perkara-perkara
baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang menyalahi
Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah bid’ah dholalah/
sesat. Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan
tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka
bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.
Menurut
kenyataan memang demikian, ada bid’ah yang baik dan terpuji dan ada
pula bid’ah yang buruk dan tercela. Banyak sekali para Imam dan ulama
pakar yang sependapat dengan Imam Syafi’i itu. Bahkan banyak lagi yang
menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti Imam Nawawi, Imam Ibnu
‘Abdussalam, Imam Al-Qurafiy, Imam Ibnul-‘Arabiy, Imam Al-Hafidh Ibnu
Hajar dan lain-lain.
Ada
sebagian ulama yang mengatakan bahwa bid’ah itu adalah segala praktek
baik termasuk dalam ibadah ritual maupun dalam masalah muamalah, yang
tidak pernah terjadi di masa Rasulullah saw. Meski namanya bid’ah, namun
dari segi ketentuan hukum syari’at,, hukumnya tetap terbagi menjadi
lima perkara sebagaimana hukum dalam fiqih. Ada bid’ah yang hukumnya
haram, wajib, sunnah, makruh dan mubah.
Menurut
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari 4/318 sebagai berikut:
“Pada asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada
contoh yang mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan untuk
sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang
tepat bahwa bid’ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang
dianggap baik menurut syara’, maka dia menjadi baik dan jika dia
termasuk diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh syara’, maka dia
menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah.
Dan terkadang bid’ah itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima”.
Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini :
Jalaluddin
as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii ‘Amalil Maulid dan
juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih; Az-Zarqooni
dalam Syarah al Muwattho’ ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa’id ;
As-Syaukani dalam Nailul Author ; Ali al Qoori’ dalam Syarhul Misykaat;
Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan masih
banyak lagi ulama lainnya yang senada dengan Ibnu Hajr ini yang tidak
saya kutip disini.
Ada
golongan lagi yang menganggap semua bidáh itu dholalah/sesat dan tidak
mengakui adanya bidáh hasanah/mahmudah, tetapi mereka sendiri ada yang
membagi bidáh menjadi beberapa macam. Ada bidáh mukaffarah (bidáh
kufur), bidáh muharramah (bidáh haram) dan bidáh makruh (bidáh yang
tidak disukai). Mereka tidak menetapkan adanya bidáh mubah, seolah-olah
mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum syariát, atau seolah-olah bidáh
diluar bidang ibadah tidak perlu dibicarakan.
Sedangkan
menurut catatan As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki Al-Hasani (salah
seorang ulama Mekkah) dalam makalahnya yang berjudul Haulal-Ihtifal Bil
Maulidin Nabawayyisy Syarif ( Sekitar Peringatan Maulid Nabi Yang
Mulia) bahwa menurut ulama (diantraranya Imam Nawawi dalam Syarah Muslim
jilid 6/154—pen.) bid’ah itu dibagi menjadi lima bagian yaitu :
1. Bid’ah wajib; seperti menyanggah orang yang menyelewengkan agama, dan belajar bahasa Arab, khususnya ilmu Nahwu.
2. Bid’ah mandub/baik;
seperti membentuk ikatan persatuan kaum muslimin, mengadakan
sekolah-sekolah, mengumandangkan adzan diatas menara dan memakai
pengeras suara, berbuat kebaikan yang pada masa pertumbuh an Islam belum
pernah dilakukan.
3. Bid’ah makruh;
menghiasi masjid-masjid dengan hiasan-hiasan yang bukan pada tempatnya,
mendekorasikan kitab-kitab Al-Qur’an dengan lukisan-lukisan dan
gambar-gambar yang tidak semestinya.
4. Bid’ah mubah;
seperti menggunakan saringan (ayakan), memberi warna-warna pada makanan
(selama tidak mengganggu kesehatan) dan lain sebagainya.
5. Bid’ah haram;
semua perbuatan yang tidak sesuai dengan dalil-dalil umum hukum
syari’at dan tidak mengandung kemaslahatan yang dibenarkan oleh
syari’at.
Bila
semua bid’ah (masalah yang baru) adalah dholalah/sesat atau haram, maka
sebagian amalan-amalan para sahabat serta para ulama yang belum pernah
dilakukan atau diperintahkan Rasulallah saw. semuanya dholalah atau
haram, misalnya :
a).
Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an, penulisannya serta pengumpulannya
(kodifikasinya) sebagai Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh sahabat
Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit [ra] adalah haram.
Padahal tujuan mereka untuk menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan
keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir kemungkinan ada ayat-ayat
Al-Qur’an yang hilang karena orang-orang yang menghafalnya meninggal.
b).
Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin
dalam shalat tarawih berma’mum pada seorang imam adalah haram. Bahkan
ketika itu beliau sendiri berkata : ‘Bid’ah ini sungguh nikmat’.
c). Pemberian
gelar atau titel kesarjanaan seperti; doktor, drs dan sebagai- nya pada
universitas Islam adalah haram, yang pada zaman Rasulallah saw. cukup
banyak para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tak
satupun dari mereka memakai titel dibelakang namanya.
d).
Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah sakit,
panti asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara untuk mengurung
orang yang bersalah berbulan-bulan atau bertahun-tahun baik itu kesalahan kecil maupun besar dan sebagainya adalah haram. Sebab dahulu orang yang bersalah diberi hukumannya tidak harus dikurung dahulu.
e).
Tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at yang dilaksanakan pada zamannya
khalifah Usman ra. Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu
sholat Jum’at baik di Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan Madinah dan
negara-negara Islam lainnya. Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman
karena bertambah banyaknya ummat Islam.
f).
Menata ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada huruf-hurufnya,
memberi nomer pada ayat-ayatnya. Mengatur juz dan rubu’nya dan
tempat-tempat dimana dilakukan sujud tilawah, menjelaskan ayat Makkiyyah
dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan sebagainya.
g). Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah
swt. kepada ummat Muhammad saw… Kita tidak terikat harus meneruskan
cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya
Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesawat-pesawat tempur,
tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, raket-raket dan persenjataan
modern lainnya.
Masih
banyak lagi contoh-contoh bid’ah/masalah yang baru seperti mengada kan
syukuran waktu memperingati hari kemerdekaan, halal bihalal, memper-
ingati hari ulang tahun berdirinya sebuah negara atau pabrik dan
sebagainya (pada waktu memperingati semua ini mereka sering mengadakan
bacaan syukuran), yang mana semua ini belum pernah dilakukan pada masa
hidup- nya Rasulallah saw. serta para pendahulu kita dimasa lampau. Juga
didalam manasik haji banyak kita lihat dalam hal peribadatan tidak
sesuai dengan zamannya Rasulallah saw. atau para sahabat dan tabi’in
umpamanya; pembangunan hotel-hotel disekitar Mina dan tenda-tenda yang
pakai full a/c sehingga orang tidak akan kepanasan, nyenyak tidur,
menaiki mobil yang tertutup (beratap) untuk ke Arafat, Mina atau kelain
tempat yang dituju untuk manasik Haji tersebut dan lain sebagainya.
Sesungguhnya
bid’ah (masalah baru) tersebut walaupun tidak pernah dilakukan pada
masa Nabi saw. serta para pendahulu kita, selama masalah ini tidak
menyalahi syari’at Islam, bukan berarti haram untuk dilakukan.
Kalau
semua masalah baru tersebut dianggap bid’ah dholalah (sesat), maka akan
tertutup pintu ijtihad para ulama, terutama pada zaman sekarang
tehnologi yang sangat maju sekali, tapi alhamdulillah pikiran dan akidah
sebagian besar umat muslim tidak sedangkal itu.
Sebagaimana
telah penulis cantumkan sebelumnya bahwa para ulama diantaranya Imam
Syafi’i, Al-Izz bin Abdis Salam, Imam Nawawi dan Ibnu Atsir ra. serta
para ulama lainnya menerangkan: “Bid’ah/masalah baru yang diadakan ini
bila tidak menyalahi atau menyimpang dari garis-garis syari’at, semuanya
mustahab (dibolehkan) apalagi dalam hal kebaikan dan sejalan dengan
dalil syar’i adalah bagian dari agama”.
Semua
amal kebaikan yang dilakukan para sahabat, kaum salaf sepeninggal
Rasulallah saw. telah diteliti para ulama dan diuji dengan Kitabullah,
Sunnah Rasulallah saw. dan kaidah-kaidah hukum syari’at. Dan setelah
diuji ternyata baik, maka prakarsa tersebut dinilai baik dan dapat
diterima. Sebaliknya, bila setelah diuji ternyata buruk, maka hal
tersebut dinilai buruk dan dipandang sebagai bid’ah tercela.
Ibnu
Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratil-Mustaqim banyak
menyebutkan bentuk-bentuk kebaikan dan sunnah yang dilakukan oleh
generasi-generasi yang hidup pada abad-abad permulaan Hijriyyah dan
zaman berikutnya. Kebajikan-kebajikan yang belum pernah dikenal pada
masa hidupnya Nabi Muhammad saw. itu diakui kebaikannya oleh Ibnu
Taimiyyah. Beliau tidak melontarkan celaan terhadap ulama-ulama
terdahulu yang mensunnahkan kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad bin
Hanbal, Ibnu Abbas, Umar bin Khattab dan lain-lainnya.
Diantara
kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat
Imam Ahmad bin Hanbal diantaranya : Mensunnahkan orang berhenti sejenak
disebuah tempat dekat gunung ’Arafah sebelum wukuf dipadang ‘Arafah bukannya didalam masjid tertentu sebelum Mekkah , mengusap-usap mimbar Nabi saw. didalam masjid Nabawi di Madinah, dan lain sebagainya.
Ibnu Taimiyyah membenarkan pendapat kaum muslimin di Syam yang mensunnahkan shalat disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha (Palestina),
tempat khalifah Umar dahulu pernah menunaikan sholat. Padahal sama
sekali tidak ada nash mengenai sunnahnya hal-hal tersebut diatas. Semua-
nya hanyalah pemikiran atau ijtihad mereka sendiri dalam rangka usaha
memperbanyak kebajikan, hal mana kemudian diikuti oleh orang banyak
dengan i’tikad jujur dan niat baik. Meskipun begitu, dikalangan muslimin
pada masa itu tidak ada yang mengatakan: “Kalau hal-hal itu baik
tentu sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada zaman sebelum-
nya”. (perkataan ini sering diungkapkan oleh golongan pengingkar).
Masalah-masalah serupa itu banyak disebut oleh Ibnu Taimiyyah dikitab Iqtidha ini, antara lain soal tawassul (doá perantaran) yang dilakukan oleh isteri Rasulallah saw. ‘Aisyah ra. yaitu ketika ia membuka penutup
makam Nabi saw. lalu sholat istisqa (sholat mohon hujan) ditempat itu,
tidak beberapa lama turunlah hujan di Madinah, padahal tidak ada nash
sama sekali mengenai cara-cara seperti itu. Walaupun itu hal yang baru
(bid’ah) tapi dipandang baik oleh kaum muslimin, dan tidak ada sahabat
yang mencela dan mengatakan bid’ah dholalah/sesat.
Sebuah
hadits yang diketengahkan oleh Imam Bukhori dalam shohihnya jilid 1
halaman 304 dari Siti ‘Aisyah ra., bahwasanya ia selalu sholat Dhuha,
padahal Aisyah ra. sendiri berkata bahwa ia tidak pernah
menyaksikan Rasulallah saw. sholat dhuha. Pada halaman 305 dibuku ini
Imam Bukhori juga mengetengahkan sebuah riwayat yang berasal dari Mujahid yang mengatakan : “Saya bersama Úrwah bin Zubair masuk kedalam masjid Nabi saw..
Tiba-tiba
kami melihat ‘Abdullah bin Zubair sedang duduk dekat kamar ‘Aisyah ra
dan banyak orang lainnya sedang sholat dhuha. Ketika hal itu kami
tanyakan kepada ‘Abudllah bin Zubair (mengenai sholat dhuha ini) ia
menjawab : “Bidáh”.
‘Aisyah
ra seorang isteri Nabi saw. yang terkenal cerdas, telah mengatakan
sendiri bahwa dia sholat dhuha sedangkan Nabi saw. tidak
mengamalkannya. Begitu juga ‘Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mengatakan
sholat dhuha adalah bid’ah, tetapi tidak seorangpun yang mengatakan bahwa bid’ah itu bid’ah dholalah yang pelakunya akan dimasukkan keneraka!
Dengan demikian masalah baru yang dinilai baik dan dapat diterima ini disebut bid’ah hasanah.
Karena sesuatu yang diperbuat atau dikerjakan oleh isteri Nabi atau
para sahabat yang tersebut diatas bukan atas perintah Allah dan
Rasul-Nya itu bisa disebut bid’ah tapi sebagai bid’ah hasanah. Semuanya ini dalam pandangan hukum syari’at bukan bid’ah melainkan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad.
Dalam makalah As-Sayyid Muhammad bin Alawiy Al-Maliki Al-Hasani rh yang berjudul Haulal Ihtifal bil Mauliddin Nabawiyyisy Syarif
tersebut disebut- kan: Yang dikatakan oleh orang fanatik (extreem)
bahwa apa-apa yang belum pernah dilakukan oleh kaum salaf, tidaklah
mempunyai dalil bahkan tiada dalil sama sekali bagi hal itu. Ini bisa
dijawab bahwa tiap orang yang mendalami ilmu ushuluddin mengetahui bahwa
Asy-Syar’i (Rasulallah saw.) menyebutnya bid’ahtul hadyi (bid’ah dalam menentukan petunjuk pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya) sunnah, dan menjanjikan pahala bagi pelakunya.
Firman Allah swt. ‘Dan
hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang
beruntung’. (Ali Imran (3) : 104).
Allah swt. berfirman : ‘Hendaklah kalian berbuat kebaikan agar kalian memperoleh keuntungan”. (Al-Hajj:77)
Abu Mas’ud (Uqbah) bin Amru Al-Anshory ra berkata; bersabda Rasulallah saw.;
وَعَنْ
أبِي مَسْعُوْدِ (ر) عُقْبَةُ ِبنْ عَمْرُو الأ نْصَارِيُّ قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ الله .صَ. : مَنْ دَلَّ عَلىَ خَيْرٍ فَلَهُ مِثْـلُ أَجْرُ
فَاعِلُهُ(رواه مسلم)
‘Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala sama dengan yang mengerjakannya’. ( HR.Muslim)
Dalam hadits riwayat Muslim Rasulallah saw. bersabda:
‘Barangsiapa
menciptakan satu gagasan yang baik dalam Islam maka dia memperoleh
pahalanya dan juga pahala orang yang melaksanakannya dengan tanpa
dikurangi sedikitpun, dan barangsiapa menciptakan satu gagasan yang
jelek dalam Islam maka dia terkena dosanya dan juga dosa orang-orang
yang mengamalkannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun” .
Masih banyak lagi hadits yang serupa/semakna diatas riwayat Muslim dari Abu Hurairah dan dari Ibnu Mas’ud ra.
Sebagian golongan memberi takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah dalam hadits diatas adalah; Apa-apa
yang telah ditetapkan oleh Rasulallah saw. dan para Khulafa’ur
Roosyidin, bukan gagasan-gagasan baik yang tidak terjadi pada masa
Rasulallah saw dan Khulafa’ur Rosyidin. Yang lain lagi memberikan takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah hasanah dalam hadits itu adalah; sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang
mendatangkan manfaat, sedangkan maksud sunnah sayyiah/buruk adalah
sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang mendatangkan bahaya dan kemudharatan.
Dua
macam pembatasan mereka diatas ini mengenai makna hadits yang telah
kami kemukakan itu merupakan satu bentuk pembatasan hadits dengan tanpa dalil, karena secara jelas hadits tersebut membenarkan adanya gagasan-gagasan kebaikan pada masa kapanpun dengan tanpa ada pembatasan pada masa-masa tertentu. Juga secara jelas hadits itu menunjuk kepada semua perkara yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului baik dia itu dari perkara-perkara dunia ataupun perkara-perkara agama!!
Kami perlu tambahkan mengenai makna atau keterangan hadits Rasulallah saw. berikut ini:
“Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidun sepeninggalku”. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
Yang dimaksud sunnah dalam hadits itu adalah thariqah yakni jalan (baca keterangan sebelumnya), cara atau kebijakan; dan yang dimaksud Khalifah Rasyidun ialah para penerus kepemimpinan beliau yang lurus .Sebutan itu tidak terbatas berlaku bagi empat Khalifah sepeninggal Rasulallah saw. saja, tetapi dapat diartikan lebih luas, berdasarkan makna Hadits yang lain : “Para ulama adalah ahli-waris para Nabi “. Dengan
demikian hadits itu dapat berarti dan berlaku pula para ulama
dikalangan kaum muslimin berbagai zaman, mulai dari zaman kaum Salaf
(dahulu), zaman kaum Tabi’in, Tabi’it-Tabi’in dan seterusnya; dari
generasi ke generasi, mereka adalah Ulul-amri yang disebut dalam
Al-Qur’an surat An-Nisa : 63 : “Sekiranya mereka menyerahkan (urusan itu) kepada Rasulallah dan Ulul-amri (orang-orang yang mengurus kemaslahatan ummat) dari mereka sendiri, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui dari mereka (ulul-amri)”.
Para alim-ulamabukan kaum awamyang
mengurus kemaslahatan ummat Islam, khususnya dalam kehidupan beragama.
Sebab, mereka itulah yang mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum
agama. Ibnu Mas’ud ra. menegaskan : “Allah telah memilih Muhammad saw. (sebagai Nabi dan Rasulallah)
dan telah pula memilih sahabat-sahabatnya. Karena itu apa yang
dipandang baik oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah “ . Demikian yang diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnad-nya dan dinilainya sebagai hadits Hasan (hadits baik).
Dengan pengertian penakwilan kalimat sunnah dalam hadits diatas yang salah ini golongan tertentu ini dengan mudah membawa keumuman hadits kullu bid’atin dholalah
(semua bid’ah adalah sesat) terhadap semua perkara baru, baik yang
bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at maupun yang tidak.
Berarti mereka telah mencampur-aduk kata bid’ah itu antara penggunaannya
yang syar’i dan yang lughawi (secara bahasa) dan mereka telah terjebak dengan ketidak pahaman bahwa keumuman yang terdapat pada hadits hanyalah terhadap bid’ah yang syar’i yaitu setiap perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar syari’at. Jadi bukan terhadap bid’ah yang lughawi yaitu setiap perkara baru yang diadakan dengan tanpa adanya contoh.
Bid’ah lughawi inilah yang terbagi dua yang pertama adalah mardud yaitu perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang disebut bid’ah dholalah, sedangkan yang kedua adalah kepada yang maqbul yaitu perkara baru yang tidak bertentangan
dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang dapat diterima
walaupun terjadinya itu pada masa-masa dahulu/pertama atau sesudahnya.
Barangsiapa yang memasukkan semua perkara baru yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw, para sahabat dan mereka yang hidup pada abad-abad pertama itu kedalam bid’ah dholalah, maka dia haruslah mendatangkan terlebih dahulu nash-nash yang khos (khusus) untuk masalah yang baru itu maupun yang ‘am (umum), agar yang demikian itu tidak bercampur-aduk dengan bid’ah yang maqbul berdasarkan penggunaannya yang lughawi. Karena tuduhan bid’ah dholalah pada suatu amalan sama halnya dengan tuduhan mengharamkan amalan tersebut.
Kalau
kita baca hadits dan firman Ilahi dibuku ini, kita malah diharuskan
sebanyak mungkin menjalankan ma’ruf (kebaikan) yaitu semua perbuatan
yang mendekatkan kita kepada Allah swt. dan menjauhi yang mungkar (keburukan) yaitu semua perbuatan yang menjauhkan
kita dari pada-Nya agar kita memperoleh keuntungan (pahala dan
kebahagian didunia maupun diakhirat kelak). Begitupun juga orang yang
menunjukkan kepada kebaikan tersebut akan diberi oleh Allah swt. pahala
yang sama dengan orang yang mengerjakannya.
Apakah kita hanya berpegang pada satu hadits yang kalimatnya: semua bid’ah dholalah dan kita buang
ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang menganjurkan manusia selalu
berbuat kepada kebaikan? Sudah tentu Tidak! Yang benar ialah bahwa kita
harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima kebenarannya oleh
jumhurul-ulama serta tidak hanya melihat tekstual kalimatnya saja tapi
memahami makna dan motif setiap ayat Ilahi dan sunnah Rasulallah saw.
sehingga ayat ilahi dan sunnah ini satu sama lain tidak akan berlawanan
maknanya.
Berbuat
kebaikan itu sangat luas sekali maknanya bukan hanya masalah
peribadatan saja. Termasuk juga kebaikan adalah hubungan baik antara
sesama manusia (toleransi) baik antara sesama muslimin maupun antara
muslim dan non-muslim (yang tidak memerangi kita), antara manusia dengan
hewan, antara manusia dan alam semesta. Sebagaimana para ulama pakar
Islam klasik pendahulu kita sudah menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak akan diampuni kecuali oleh orang yang bersangkutan, sementara hak asasi Tuhan diurus oleh diri-Nya sendiri.
Manusia
manapun tidak pernah diperkenankan membuat klaim-klaim yang dianggap
mewakili hak Tuhan. Dalam konsep tauhid, Allah lebih dari mampu untuk
melindungi hak-hak pribadi-Nya. Karena itu, kita harus berhati-hati
untuk tidak melanggar hak-hak asasi manusia. Dalam Islam, Tuhan sendiri
pun tidak akan mengampuni pelanggaran terhadap hak asasi orang lain, kecuali yang bersangkutan telah memberi maaf.
5.Contoh-contoh bid’ah yang diamalkan para sahabat
Marilah
kita sekarang rujuk hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai amal
kebaikan yang dilakukan oleh para sahabat Nabi saw. atas prakarsa mereka
sendiri, bukan perintah Allah swt. atau Nabi saw., dan bagaimana
Rasulallah saw. menanggapi masalah itu. Insya Allah dengan adanya
beberapa hadits ini para pembaca cukup jelas bahwa semua hal-hal yang
baru (bid’ah) yang sebelum atau sesudahnya tidak pernah diamalkan,
diajarkan atau diperintah- kan oleh Rasulallah saw. selama hal ini tidak merubah dan keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at itu adalah boleh diamalkan apalagi dalam bidang kebaikan itu malah dianjurkan oleh agama dan mendapat pahala.
a. Hadits dari Abu Hurairah: “Rasulallah saw. bertanya pada Bilal ra seusai sholat Shubuh : ‘Hai
Bilal, katakanlah padaku apa yang paling engkau harapkan dari amal yang
telah engkau perbuat, sebab aku mendengar suara terompahmu didalam
surga’. Bilal menjawab : Bagiku amal yang paling kuharapkan ialah
aku selalu suci tiap waktu (yakni selalu dalam keadaan berwudhu)
siang-malam sebagaimana aku menunaikan shalat “. (HR Bukhori, Muslim dan
Ahmad bin Hanbal).
Dalam
hadits lain yang diketengahkan oleh Tirmidzi dan disebutnya sebagai
hadits hasan dan shohih, oleh Al-Hakim dan Ad-Dzahabi yang mengakui juga
sebagai hadits shohih ialah Rasulallah saw. meridhoi prakarsa Bilal
yang tidak pernah meninggalkan sholat dua rakaat setelah adzan dan pada
tiap saat wudhu’nya batal, dia segera mengambil air wudhu dan sholat dua
raka’at demi karena Allah swt. (lillah).
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitab Al-Fath mengatakan: Dari hadits tersebut dapat diperoleh pengertian, bahwa ijtihad menetapkan waktu ibadah
diperbolehkan. Apa yang dikatakan oleh Bilal kepada Rasulallah
saw.adalah hasil istinbath (ijtihad)-nya sendiri dan ternyata dibenarkan
oleh beliau saw. (Fathul Bari jilid 111/276).
b.
Hadits lain berasal dari Khabbab dalam Shahih Bukhori mengenai
perbuatan Khabbab shalat dua rakaat sebagai pernyataan sabar (bela
sungkawa) disaat menghadapi orang muslim yang mati terbunuh. (Fathul
Bari jilid 8/313).
Dua
hadits tersebut kita mengetahui jelas, bahwa Bilal dan Khabbab telah
menetapkan waktu-waktu ibadah atas dasar prakarsanya sendiri-sendiri.
Rasulallah saw. tidak memerintahkan hal itu dan tidak pula melakukannya,
beliau hanya secara umum menganjurkan supaya kaum muslimin banyak
beribadah. Sekalipun demikian beliau saw. tidak melarang, bahkan
membenarkan prakarsa dua orang sahabat itu.
c. Hadits riwayat Imam Bukhori dalam shohihnya II :284, hadits berasal dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi yang menerangkan bahwa:
“Pada
suatu hari aku sesudah shalat dibelakang Rasulallah saw. Ketika berdiri
(I’tidal) sesudah ruku’ beliau saw. mengucapkan ‘sami’allahu liman
hamidah’. Salah seorang yang ma’mum menyusul ucapan beliau itu dengan
berdo’a: ‘Rabbana lakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubarakan fiihi’
(Ya Tuhan kami, puji syukur sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya atas
limpahan keberkahan-Mu). Setelah shalat Rasulallah saw. bertanya : ‘Siapa tadi yang berdo’a?’. Orang yang bersangkutan menjawab: Aku, ya Rasul- Allah. Rasulallah saw. berkata : ‘Aku melihat lebih dari 30 malaikat ber-rebut ingin mencatat do’a itu lebih dulu’ “.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Fath II:287
mengatakan: ‘ Hadits tersebut dijadikan dalil untuk membolehkan
membaca suatu dzikir dalam sholat yang tidak diberi contoh oleh Nabi
saw. (ghair ma’tsur) jika ternyata dzikir tersebut tidak bertolak
belakang atau bertentangan dengan dzikir yang ma’tsur dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad saw. Disamping itu, hadits tersebut mengisyaratkan bolehnya mengeraskan suara bagi makmum selama tidak mengganggu orang yang ada didekatnya…’.
Al-Hafidh dalam Al-Fath
mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukkan juga diperbolehkannya
orang berdo’a atau berdzikir diwaktu shalat selain dari yang sudah
biasa, asalkan maknanya tidak berlawanan dengan kebiasa- an yang telah
ditentukan (diwajibkan). Juga hadits itu memperbolehkan orang
mengeraskan suara diwaktu shalat dalam batas tidak menimbulkan
keberisikan.
Lihat pula kitab Itqan Ash-Shan’ah Fi Tahqiq untuk mengetahui makna al-bid’ah karangan Imam Muhaddis Abdullah bin Shiddiq Al-Ghimary untuk mengetahui makna al-bid’ah
d. Hadits serupa diatas yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dari Anas bin Malik ra. “Seorang dengan terengah-engah (Hafazahu
Al-Nafs) masuk kedalam barisan (shaf). Kemudian dia mengatakan (dalam
sholatnya) al-hamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi
(segala puji hanya bagi Allah dengan pujian yang banyak, bagus dan
penuh berkah). Setelah Rasulallah saw. selesai dari sholatnya, beliau
bersabda : ‘Siapakah diantara- mu yang mengatakan beberapa kata (kalimat) (tadi)’ ? Orang-orang diam. Lalu beliau saw. bertanya lagi: ‘Siapakah diantaramu yang mengatakannya ? Sesungguhnya dia tidak mengatakan sesuatu yang percuma’. Orang
yang datang tadi berkata: ‘Aku datang sambil terengah-engah (kelelahan)
sehingga aku mengatakannya’. Maka Rasulallah saw. bersabda: ‘Sungguh aku melihat dua belas malaikat memburunya dengan cepat, siapakah diantara mereka (para malaikat) yang mengangkatkannya (amalannya ke Hadhirat Allah) “. (Shohih Muslim 1:419 ).
e. Dalam Kitabut-Tauhid Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra. yang mengatakan: “Pada
suatu saat Rasulallah saw. menugas- kan seorang dengan beberapa
temannya ke suatu daerah untuk menangkal serangan kaum musyrikin. Tiap
sholat berjama’ah, selaku imam ia selalu membaca Surat Al-Ikhlas di
samping Surah lainnya sesudah Al-Fatihah. Setelah mereka pulang ke
Madinah, seorang diantaranya memberitahukan persoalan itu kepada
Rasulallah saw. Beliau saw.menjawab : ‘Tanyakanlah kepadanya apa yang dimaksud’. Atas pertanyaan temannya itu orang yang bersangkutan menjawab : ‘Karena Surat Al-Ikhlas itu menerangkan sifat ar-Rahman, dan aku suka sekali membacanya’. Ketika jawaban itu disampaikan kepada Rasulallah saw. beliau berpesan : ‘Sampaikan kepadanya bahwa Allah menyukainya’ “.
Apa
yang dilakukan oleh orang tadi tidak pernah dilakukan dan tidak pernah
diperintahkan oleh Rasulallah saw.. Itu hanya merupakan prakarsa orang
itu sendiri. Sekalipun begitu Rasulallah saw. tidak mempersalahkan dan
tidak pula mencelanya, bahkan memuji dan meridhoinya dengan ucapan
“Allah menyukainya”.
f. Bukhori dalam Kitabus Sholah hadits yang serupa diatas
dari Anas bin Malik yang menceriterakan bahwa: “Beberapa orang
menunaikan shalat dimasjid Quba. Orang yang mengimami shalat itu setelah
membaca surah Al-Fatihah dan satu surah yang lain selalu menambah lagi
dengan surah Al-Ikhlas. Dan ini dilakukannya setiap rakaat. Setelah
shalat para ma’mum menegurnya: Kenapa anda setelah baca Fatihah dan
surah lainnya selalu menambah dengan surah Al-Ikhlas? Anda kan bisa
memilih surah yang lain dan meninggalkan surah Al-Ikhlas atau membaca
surah Al-Ikhlas tanpa membaca surah yang lain ! Imam tersebut menjawab :
Tidak !, aku tidak mau meninggalkan surah Al-Ikhlas kalau kalian
setuju, aku mau mengimami kalian untuk seterusnya tapi kalau kalian
tidak suka aku tidak mau meng- imami kalian. Karena para ma’mum tidak
melihat orang lain yang lebih baik dan utama dari imam tadi mereka tidak
mau diimami oleh orang lain. Setiba di Madinah mereka menemui
Rasulallah saw. dan menceriterakan hal tersebut pada beliau. Kepada imam
tersebut Rasulallah saw. bertanya: ‘Hai, fulan, apa sesungguhnya
yang membuatmu tidak mau menuruti permintaan teman-temanmu dan terus
menerus membaca surat Al-Ikhlas pada setiap rakaat’? Imam tersebut menjawab: ‘Ya Rasulallah, aku sangat mencintai Surah itu’. Beliau saw. berkata: ‘Kecintaanmu kepada Surah itu akan memasukkan dirimu ke dalam surga’ “..
Mengenai makna hadits ini Imam Al-Hafidh dalam kitabnya Al-Fath mengatakan antara lain; ‘Orang
itu berbuat melebihi kebiasaan yang telah ditentukan karena terdorong
oleh kecintaannya kepada surah tersebut. Namun Rasulallah saw.
menggembirakan orang itu dengan pernyataan bahwa ia akan masuk surga.
Hal ini menunjukkan bahwa beliau saw. meridhainya’.
Imam Nashiruddin Ibnul Munir menjelaskan makna hadits tersebut dengan menegaskan : ‘Niat atau tujuan dapat mengubah kedudukan hukum suatu perbuatan’.
Selanjutnya ia menerangkan; ‘Seumpama orang itu menjawab dengan alasan
karena ia tidak hafal Surah yang lain, mungkin Rasulallah saw. akan
menyuruhnya supaya belajar menghafal Surah-surah selain yang selalu
dibacanya berulang-ulang. Akan tetapi karena ia mengemukakan alasan karena sangat mencintai Surah itu (yakni Al-Ikhlas), Rasulallah saw. dapat membenarkannya, sebab alasan itu menunjukkan niat baik dan tujuan yang sehat’.
Lebih
jauh Imam Nashiruddin mengatakan ; ‘Hadits tersebut juga menunjukkan,
bahwa orang boleh membaca berulang-ulang Surah atau ayat-ayat khusus
dalam Al-Qur’an menurut kesukaannya. Kesukaan demikian itu tidak dapat
diartikan bahwa orang yang bersangkutan tidak menyukai seluruh isi
Al-Qur’an atau meninggalkannya’.
Menurut
kenyataan, baik para ulama zaman Salaf maupun pada zaman-zaman
berikutnya, tidak ada yang mengatakan perbuatan seperti itu merupa- kan
suatu bid’ah sesat, dan tidak ada juga yang mengatakan bahwa perbuat- an
itu merupakan sunnah yang tetap. Sebab sunnah yang tetap dan wajib
dipertahankan serta dipelihara baik-baik ialah sunnah yang dilakukan dan
diperintahkan oleh Rasulallah saw. Sedangkan sunnah-sunnah yang tidak
pernah dijalankan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. bila tidak keluar dari ketentuan syari’at dan tetap berada didalam kerangka amal kebajikan yang diminta oleh agama Islam itu boleh diamalkan apalagi dalam persoalan berdzikir kepada Allah swt.
g. Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits tentang Fadha’il
(keutamaan) Surah Al-Ikhlas berasal dari Sa’id Al-Khudriy ra. yang
mengatakan, bahwa ia mendengar seorang mengulang-ulang bacaan Qul huwallahu ahad….
Keesokan harinya ia ( Sa’id Al-Khudriy ra) memberitahukan hal itu
kepada Rasulallah saw., dalam keadaan orang yang dilaporkan itu masih
terus mengulang-ulang bacaannya. Menanggapi laporan Sa’id itu Rasulallah
saw.berkata : ‘Demi Allah yang nyawaku berada ditanganNya, itu sama dengan membaca sepertiga Qur’an’.
Imam Al-Hafidh mengatakan didalam Al-Fathul-Bari; bahwa orang yang disebut dalam hadits itu ialah Qatadah bin Nu’man.
Hadits tersebut diriwayat- kan oleh Ahmad bin Tharif dari Abu Sa’id,
yang mengatakan, bahwa sepanjang malam Qatadah bin Nu’man terus-menerus
membaca Qul huwallahu ahad, tidak lebih. Mungkin yang mendengar
adalah saudaranya seibu (dari lain ayah), yaitu Abu Sa’id yang tempat
tinggalnya berdekatan sekali dengan Qatadah bin Nu’man. Hadits yang sama
diriwayatkan juga oleh Malik bin Anas, bahwa Abu Sa’id mengatakan:
‘Tetanggaku selalu bersembahyang di malam hari dan terus-menerus membaca
Qul huwallahu ahad’.
h. Ashabus-Sunan, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban dalam Shohih-nya
meriwayatkan sebuah hadits berasal dari ayah Abu Buraidah yang
menceriterakan kesaksiannya sendiri sebagai berikut: ‘Pada suatu hari
aku bersama Rasulallah saw. masuk kedalam masjid Nabawi (masjid
Madinah). Didalamnya terdapat seorang sedang menunaikan sholat sambil
berdo’a; Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa tiada
tuhan selain Engkau. Engkaulah Al-Ahad, As-Shamad, Lam yalid wa lam
yuulad wa lam yakullahu kufuwan ahad’. Mendengar do’a itu Rasulallah saw. bersabda; ‘Demi
Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya, dia mohon kepada Allah dengan
Asma-Nya Yang Maha Besar, yang bila dimintai akan memberi dan bila orang
berdo’a kepada-Nya Dia akan menjawab’.
Tidak diragukan lagi, bahwa do’a yang mendapat tanggapan sangat meng- gembirakan dari Rasulallah saw. itu disusun atas dasar prakarsa orang yang berdo’a itu sendiri, bukan do’a yang diajarkan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. kepadanya. Karena susunan do’a
itu sesuai dengan ketentu- an syari’at dan bernafaskan tauhid, maka
beliau saw. menanggapinya dengan baik, membenarkan dan meridhoinya.
i.
Hadits dari Ibnu Umar katanya; “Ketika kami sedang melakukan shalat
bersama Nabi saw. ada seorang lelaki dari yang hadir yang mengucapkan ‘Allahu Akbaru Kabiiran Wal Hamdu Lillahi Katsiiran Wa Subhaanallahi Bukratan Wa Ashiila’. Setelah selesai sholatnya, maka Rasulallah saw. bertanya; ‘Siapakah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi? Jawab sese- orang dari kaum; Wahai Rasulallah, akulah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi. Sabda beliau saw.; ‘Aku sangat kagum dengan kalimat-kalimat tadi sesungguhnya langit telah dibuka pintu-pintunya karenanya’.
Kata Ibnu Umar: Sejak aku mendengar ucapan itu dari Nabi saw. maka aku
tidak pernah meninggalkan untuk mengucapkan kalimat-kalimat tadi.” (HR.
Muslim dan Tirmidzi). As-Shan’ani ‘Abdurrazzaq juga mengutipnya dalam Al-Mushannaf.
Demikianlah bukti yang berkaitan dengan pembenaran dan keridhaan Rasulallah saw. terhadap prakarsa-prakarsa baru yang berupa do’a-do’a dan bacaan surah di dalam sholat,
walaupun beliau saw. sendiri tidak pernah melakukannya atau
memerintahkannya. Kemudian Ibnu Umar mengamalkan hal tersebut bukan
karena anjuran dari Rasulallah saw. tapi karena mendengar jawaban beliau
saw. mengenai bacaan itu.
Yang lebih mengherankan lagi ialah ada golongan yang bependapat lebih jauh lagi yaitu menganggap do’a qunut waktu sholat shubuh sebagai bid’ah.
Padahal do’a tersebut berasal dari hadits Rasulallah saw. sendiri yang
diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i dan selain mereka dari
Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib kw. juga oleh Al Baihaqi dari Ibnu
Abbas.
Sedangkan waktu dan tempat
berdirinya untuk membaca do’a qunut pada waktu sholat Shubuh, ini juga
berdasarkan hadits-hadits yang diketengahkan oleh Anas bin Malik; Awam
bin Hamzah; Abdullah bin Ma’qil; Barra’ (ra) yang diriwayatkan oleh
sekolompok huffaz dan mereka juga ikut menshahih-kannya serta para ulama
lainnya diantaranya Hafiz Abu Abdillah Muhammad Ali al-Bakhi, Al Hakim
Abu Abdillah, Imam Muslim, Imam Syafi’i, Imam Baihaqi dan Daraquthni dan
lain lain).
Bagaimana mungkin do’a qunut yang berasal dari Nabi saw. tersebut dikatakan bid’ah
sedangkan tambahan-tambahan kalimat dalam sholat yang tersebut diatas
atas prakarsanya para sahabat sendiri tidak dipersalahkan oleh Nabi saw.
malah diridhoi dan diberi kabar gembira bagi yang membaca nya ?
j. Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri tentang Ruqyah yakni sistem pengobatan dengan jalan berdo’a kepada Allah swt. atau dengan jalan bertabarruk pada ayat-ayat Al-Qur’an. Sekelompok
sahabat Nabi saw. yang sempat singgah pada pemukiman suku arab badui
sewaktu mereka dalam perjalanan. Karena sangat lapar mereka minta pada
orang-orang suku tersebut agar bersedia untuk menjamu mereka. Tapi
permintaan ini ditolak. Pada saat itu kepala suku arab badui itu
disengat binatang berbisa sehingga tidak dapat jalan. Karena tidak ada
orang dari suku tersebut yang bisa mengobatinya, akhirnya mereka
mendekati sahabat
Nabi
seraya berkata: Siapa diantara kalian yang bisa mengobati kepala suku
kami yang disengat binatang berbisa? Salah seorang sahabat sanggup
menyembuhkannya tapi dengan syarat suku badui mau memberikan makanan
pada mereka. Hal ini disetujui oleh suku badui tersebut. Maka sahabat
Nabi itu segera mendatangi kepala suku lalu membacakannya surah al-Fatihah,
seketika itu juga dia sembuh dan langsung bisa berjalan. Maka segeralah
diberikan pada para sahabat beberapa ekor kambing sesuai dengan
perjanjian. Para sahabat belum berani membagi kambing itu sebelum
menghadap Rasulallah saw.. Setiba dihadapan Rasulallah saw, mereka
menceriterakan apa yang telah mereka lakukan terhadap kepala suku itu.
Rasulallah saw. bertanya ; ‘Bagaimana engkau tahu bahwa surah al-Fatihah itu dapat menyembuhkan’? Rasulallah saw. membenarkan mereka dan ikut memakan sebagian dari daging kambing tersebut “. (HR.Bukhori)
k.
Abu Daud, At-Tirmudzi dan An-Nasa’i mengetengahkan sebuah riwayat
hadits berasal dari paman Kharijah bin Shilt yang mengatakan; “Pada
suatu hari ia melihat banyak orang bergerombol dan ditengah-tengah
mereka terdapat seorang gila dalam keadaan terikat dengan rantai besi.
Kepada paman Kharijah itu mereka berkata: ‘Anda tampaknya datang membawa
kebajikan dari orang itu (yang dimaksud Rasulallah saw.), tolonglah
sembuhkan orang gila ini’. Paman Kharijah kemudian dengan suara lirih
membaca surat Al-Fatihah, dan ternyata orang gila itu menjadi sembuh”.
(Hadits ini juga diketengahkan oleh Al-Hafidh didalam Al-Fath)
Masih
banyak hadits yang meriwayatkan amal perbuatan para sahabat atas dasar
prakarsa dan ijtihadnya sendiri yang tidak dijalani serta dianjurkan
oleh Rasulallah saw.. Semuanya itu diridhoi oleh Rasulallah saw. dan
beliau memberi kabar gembira pada mereka. Amalan-amalan tersebut juga tidak diperintah atau dianjurkan oleh Rasulallah saw. sebelum atau sesudahnya. Karena
semua itu bertujuan baik, tidak melanggar syariát maka oleh Nabi saw.
diridhoi dan mereka diberi kabar gembira. Perbuatan-perbuatan tersebut
dalam pandangan syari’at dinamakan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad.
Dengan demikian hadits-hadits diatas bisa dijadikan dalil untuk setiap
amal kebaik- an selama tidak keluar dari garis-garis yang ditentukan
syari’at Islam itu mustahab/baik hukumnya, apalagi masalah tersebut
bermanfaat bagi masyarakat muslim khususnya malah dianjurkan oleh agama.
Kalau kita teliti hadits-hadits diatas tersebut banyak yang berkaitan dengan masalah shalat yaitu suatu ibadah pokok dan terpenting dalam Islam. Sebagaimana Rasulallah saw. telah bersabda :
صَلُُوْا كَمَا رَأيْتُمُوْنِي أصَلِي (رواه البخاري
‘Hendaklah kamu sholat sebagaimana kalian melihat aku sholat’. (HR Bukhori).
Sekalipun
demikian beliau saw. dapat membenarkan dan meridhoi tambahan tambahan
tertentu yang berupa do’a dan bacaan surah atas prakarsa mereka itu.
Karena beliau saw. memandang do’a dan bacaan surah tersebut diatas tidak
keluar dari batas-batas yang telah ditentukan oleh syari’at dan juga
bernafaskan tauhid. Bila ijtihad dan amalan para sahabat itu
melanggar dan merubah hukum-hukum yang telah ditentukan oleh syari’at,
pasti akan ditegur dan dilarang oleh Rasulallah saw.
Mungkin ada orang yang bertanya-tanya lagi; Bagaimanakah
pendapat orang tentang penetapan sesuatu yang disebut sunnah atau
mustahab, yaitu penetapan yang dilakukan oleh masyarakat muslimin pada
abad pertama Hijriyah, padahal apa yang dikatakan sunnah atau mustahab
itu tidak pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.?
Memang
benar, bahwa masyarakat yang hidup pada zaman abad pertama Hijriyah dan
generasi berikutnya, banyak menetapkan hal-hal yang bersifat mustahab
dan baik. Pada masa itu banyak sekali para ulama yang menurut
kesanggupannya masing-masing dalam menguasai ilmu pengetahuan, giat
melakukan ijtihad (studi mendalam untuk mengambil kesimpulan hukum) dan
menetapkan suatu cara yang dipandang baik atau mustahab.
Untuk
menerangkan hal ini baiklah kita ambil contoh yang paling mudah
dipahami dan yang pada umumnya telah dimengerti oleh kaum muslimin,
yaitu soal kodifikasi (pengitaban) ayat-ayat suci Al-Qur’an, sebagaimana
yang telah kita kenal sekarang ini. Para sahabat Nabi saw. sendiri pada
masa-masa sepeninggal beliau saw. berpendapat bahwa pengkodifikasian
ayat-ayat suci Al-Qur’an adalah bid’ah sayyiah. Mereka khawatir
kalau-kalau pengkodifikasian itu akan mengakibatkan rusaknya kemurnian
agama Allah swt., Islam. ‘Umar bin Khattab ra. sendiri sampai merasa
takut kalau-kalau dikemudian hari ayat-ayat Al-Qur’an akan lenyap karena
wafatnya para sahabat Nabi saw. yang hafal ayat-ayat Al-Qur’an.
Ia
mengemukakan kekhawatirannya itu kepada Khalifah Abu Bakra ra. dan
mengusulkan supaya Khalifah memerintahkan pengitaban ayat-ayat
Al-Qur’an. Tetapi ketika itu Khalifah Abu Bakar menolak usul ‘Umar dan
berkata kepada ‘Umar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulallah saw.? ‘Umar bin Khattab ra. menjawab; Itu merupakan hal yang baik.
Namun, tidak berapa lama kemudian Allah swt. membukakan pikiran
Khalifah Abu Bakar ra seperti yang dibukakan lebih dulu pada pikiran
‘Umar bin Khattab ra, dan akhirnya bersepakatlah dua orang sahabat Nabi
itu untuk mengitabkaan ayat-ayat Al-Qur’an. Khalifah Abu Bakar memanggil
Zaid bin Tsabit dan diperintahkan supaya melaksana- kan pengitabatan
ayat-ayat Al-Qur’an itu. Zaid bin Tsabit ra. juga menjawab kepada Abu
Bakar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulallah saw.? Abu Bakar menjawab kepadanya; Itu pekerjaan yang baik!
Untuk lebih detail keterangannya silahkan membaca riwayat hadits ini
yang dikemukakan oleh Imam Bukhori dalam Shohih-nya jilid 4 halaman 243
mengenai pengitaban ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Jelaslah
sudah, baik Abu Bakar, ‘Umar maupun Zaid bin Tsabit [ra] pada masa itu
telah melakukan suatu cara yang tidak pernah dikenal pada waktu
Rasulallah saw masih hidup. Bahkan sebelum melakukan pengitaban
Al-Qur’an itu Khalifah Abu Bakar dan Zaid bin Tsabit sendiri
masing-masing telah menolak lebih dulu, tetapi akhirnya mereka dibukakan
dadanya oleh Allah saw. sehingga dapat menyetujui dan menerima baik
prakarsa ‘Umar bin Khattab ra. Demikianlah contoh suatu amalan yang
tidak pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.
Secara umum bid’ah
adalah sesat karena berada diluar perintah Allah swt. dan Rasul-Nya.
Akan tetapi banyak kenyataan membuktikan, bahwa Nabi saw. membenarkan
dan meridhoi banyak persoalan yang telah kami kemuka kan yang berada
diluar perintah Allah dan perintah beliau saw. Hadits-hadits diatas itu
mengisyaratkan adanya bid’ah hasanah, karena Rasulallah saw. membenarkan serta meridhoi
atas kata-kata tambahan dalam sholat dan semua bentuk kebajikan yang
diamalkan para sahabat walaupun Nabi saw. belum menetapkan atau
memerintahkan amalan-amalan tersebut. Begitu juga prakarsa para sahabat
diatas setelah wafatnya beliau saw.
Darisini kita bisa ambil kesimpulan bahwa semua bentuk amalan-amalan, baik itu dijalankan atau tidak pada masa Rasulallah saw. atau zaman dahulu setelah zaman Nabi saw.
yang tidak melanggar syariát serta mempunyai tujuan dan niat
mendekatkan diri untuk mendapatkan ridha Allah swt. dan untuk
mengingatkan (dzikir) kita semua pada Allah serta Rasul-Nya itu adalah
bagian dari agama dan dapat diterima.
Sebagaimana hadits Rasulallah saw.:
اِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْنـِّيَّاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى, فَمَنْ كَانَتْ
هجْرَتُهُ الَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ (رواه البخاري
‘Sesungguhnya
segala perbuatan tergantung kepada niat, dan setiap manusia akan
mendapat sekadar apa yang diniatkan, siapa yang hijrahnya (tujuannya) karena Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya itu adalah karena Allah dan Rasul-Nya (berhasil)’. (HR. Bukhori).
Sekiranya orang-orang yang gemar melontarkan tuduhan bid’ah
dapat memahami hikmah apa yang ada pada sikap Rasulallah saw. dalam
meng- hadapi amal kebajikan yang dilakukan oleh para sahabatnya sebagaimana yang telah kami kemukakan dalil-dalil haditsnya tentu mereka mau dan akan menghargai orang lain yang tidak sependapat atau sepaham dengan mereka.
Tetapi
sayangnya golongan pengingkar ini tetap sering mencela dan mensesatkan
para ulama yang tidak sepaham dengannya. Mereka ini malah mengatakan;
‘Bahwa para ulama dan Imam yang memilah-milahkan bid’ah menjadi beberapa
jenis telah membuka pintu selebar-lebarnya bagi kaum Muslim untuk
berbuat segala macam bid’ah ! Kemudian mereka ini tanpa pengertian yang
benar mengatakan, bahwa semua bid’ah adalah dhalalah (sesat) dan sesat didalam neraka!”. Saya berlindung pada Allah swt. atas pemahaman mereka semacam ini.
Dalil-dalil yang membantah dan jawabannya
Hanya
orang-orang egois, fanatik dan mau menangnya sendiri sajalah yang
mengingkari hal tersebut. Seperti yang telah kemukakan sebelum ini bahwa
golongan pengingkar ini selalu menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah secara
tekstual oleh karenanya sering mencela semua amalan yang tidak sesuai
dengan paham mereka.
Misalnya, mereka melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil hadits Rasulallah saw. berikut ini :
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةُ
“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’.
Juga hadits Nabi saw.:
مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)
‘Barangsiapa yang didalam agama kami mengadakan sesuatu yang tidak dari agama ia tertolak’.
Hadits-hadits tersebut oleh mereka dipandang sebagai pengkhususan hadits Kullu bid’atin dhalalah
yang bersifat umum, karena terdapat penegasan dalam hadits tersebut,
yang tidak dari agama ia tertolak, yakni dholalah/ sesat. Dengan adanya
kata Kullu (setiap/semua) pada hadits diatas ini tersebut mereka menetapkan apa
saja yang terjadi setelah zaman Rasul- Allah saw. serta sebelumnya
tidak pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw adalah bi’dah dholalah.
Mereka
tidak memandang apakah hal yang baru itu membawa maslahat/kebaikan dan
termasuk yang dikehendaki oleh agama atau tidak. Mereka juga tidak mau
meneliti dan membaca contoh-contoh hadits diatas mengenai prakarsa para
sahabat yang menambahkan bacaan-bacaan dalam sholat yang mana sebelum
dan sesudahnya tidak pernah diperintahkan Rasulallah saw.. Mereka juga
tidak mau mengerti bahwa memperbanyak kebaikan adalah kebaikan. Jika
ilmu agama sedangkal itu orang tidak perlu bersusah-payah memperoleh
kebaikan.
Ada
lagi kaidah yang dipegang dan sering dipakai oleh golongan pengingkar
dan pelontar tuduhan-tuduhan bid’ah mengenai suatu amalan, adalah
kata-kata sebagai berikut:
“Rasulallah saw. tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya tidak ada satupun diantara mereka yang mengerja- kannya. Demikian pula para tabi’in dan tabi’ut-tabi’in. Dan kalau sekiranya amalan itu baik, mengapa hal itu tidak dilakukan oleh Rasulallah, sahabat dan para tabi’in?”
Atau ucapan mereka : “Kita
kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi yakni mengikuti segala
perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru
kita yang melakukannya..? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari
sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi saw., para sahabat, ulama-ulama
salaf..? Karena melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh
Nabi adalah bid’ah”.
Kaidah-kaidah
seperti itulah yang sering dijadikan pegangan dan dipakai sebagai
perlindungan oleh golongan pengingkar ini juga sering mereka jadikan
sebagai dalil/hujjah untuk melegitimasi tuduhan bid’ah mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru termasuk tahlilan, peringatan Maulid Nabi saw dan sebagainya. Terhadap semua ini mereka langsung menghukumnya dengan ‘sesat, haram, mungkar, syirik dan sebagainya’, tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok/asal agama.
Ucapan mereka seperti diatas ini adalah ucapan yang awalnya haq/benar namun akhirnya batil atau awalnya shohih namun akhirnya fasid.
Yang benar adalah keadaan Nabi saw. atau para sahabat yang tidak pernah
mengamal- kannya (umpamanya; berkumpul untuk tahlilan, peringatan
keagamaan dan lain sebagainya). Sedangkan yang batil/salah atau fasid
adalah penghukum- an mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru itu dengan hukum haram, sesat, syirik, mungkar dan sebagainya.
Yang
demikian itu karena Nabi saw. atau salafus sholih yang tidak mengerja-
kan satu perbuatan bukanlah termasuk dalil, bahkan penghukuman dengan
berdasarkan kaidah diatas tersebut adalah penghukuman tanpa dalil/nash.
Dalil untuk mengharamkan sesuatu perbuatan haruslah menggunakan nash
yang jelas, baik itu dari Al-Qur’an maupun hadits yang melarang dan
mengingkari perbuatan tersebut. Jadi tidak bisa suatu perbuatan diharam- kan hanya karena Nabi saw. atau salafus sholih tidak pernah melakukannya.
Telitilah
lagi hadits-hadits diatas yakni amalan-amalan bid’ah para sahabat yang
belum pernah dikerjakan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. dan bagaimana Rasulallah saw. menanggapinya. Penanggapan Rasul- Allah saw. inilah yang harus kita contoh !
Demikian pula para ulama mengatakan’ bahwa amalan ibadah itu bila tidak ada keterangan yang valid dari Rasulullah saw., maka amalan itu tidak boleh dinisbahkan kepada beliau saw. !!
Jelas disini para ulama tidak mengatakan bahwa suatu amalan ibadah tidak boleh diamalkan karena tidak ada keterangan dari beliau saw., mereka hanya mengatakan amalan itu tidak boleh dinisbahkan kepada Rasulallah saw. bila tidak ada dalil dari beliau saw. !
Kalau
kita teliti perbedaan paham setiap ulama atau setiap madzhab selalu
ada, dan tidak bisa disatukan. Sebagaimana yang sering kita baca
dikitab-kitab fiqih para ulama pakar yaitu Satu hadits bisa dishohihkan oleh sebagian ulama pakar dan hadits yang sama ini bisa dilemahkan atau dipalsukan oleh ulama pakar lainnya. Kedua kelompok ulama ini sama-sama ber- pedoman kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw. tetapi berbeda cara penguraiannya.
Tidak lain semuanya,
karena status keshahihan itu masih bersifat subjektif kepada yang
mengatakannya. Dari sini saja kita sudah bisa ambil kesimpul an; Kalau
hukum atas derajat suatu hadits itu masih berbeda-beda diantara para
ulama, tentu saja ketika para ulama mengambil kesimpulan apakah suatu
amal itu merupakan sunnah dari Rasulullah saw. pun berbeda juga !!
Para
ulama pun berbeda pandangan ketika menyimpulkan hasil dari sekian
banyak hadits yang berserakan. Umpamanya mereka berbeda dalam meng-
ambil kesimpulan hukum atas suatu amal, walaupun amal ini disebutkan
didalam suatu hadits yang shohih. Para ulama juga mengenal beberapa
macam sunnah yang sumbernya langsung dari Rasulallah saw., umpama- nya; Sunnah Qauliyyah, Sunnah Fi’liyyah dan Sunnah Taqriyyah.
Sunnah Qauliyyah ialah sunnah di mana Rasulullah saw. sendiri menganjur-kan atau mensarankan suatu amalan, tetapi belum tentu kita mendapatkan dalil bahwa Rasulllah saw. pernah
mengerjakannya secara langsung. Jadi sunnah Qauliyyah ini adalah sunnah
Rasulallah saw. yang dalilnya/riwayat- nya sampai kepada kita bukan
dengan cara dicontohkan, melainkan dengan diucapkan saja oleh beliau
saw. Di mana ucapan itu tidak selalu berbentuk fi’il amr (kata perintah), tetapi bisa saja dalam bentuk anjuran, janji pahala dan sebagainya.
Contoh
sunnah qauliyyah yang mudah saja: Ada hadits Rasulallah saw. yang
menganjurkan orang untuk belajar berenang, tetapi kita belum pernah
mendengar bahwa Rasulallah saw. atau para sahabat telah belajar atau
kursus berenang !!
Sunnah Fi’liyah ialah sunnah
yang ada dalilnya juga dan pernah dilakukan langsung oleh Rasulallah
saw. Misalnya ibadah shalat sunnah seperti shalat istisqa’, puasa sunnah
Senin Kamis, makan dengan tangan kanan dan lain sebagainya. Para
shahabat melihat langsung beliau saw. melakukannya, kemudian
meriwayatkannya kepada kita.
Sedangkan Sunnah Taqriyyah ialah sunnah di mana Rasulullah saw. tidak melakukannya langsung, juga tidak pernah memerintahkannya dengan lisannya, namun hanya mendiamkannya saja. Sunnah yang terakhir ini seringkali disebut dengan sunnah taqriyyah. Contohnya ialah beberapa amalan para sahabat yang telah kami kemukakan sebelumnya.
Begitu
juga dengan amalan-amalan ibadah yang belum pernah dikerjakan oleh
Rasulallah saw. atau para sahabatnya, tetapi diamalkan oleh para ulama
salaf (ulama terdahulu) atau ulama khalaf (ulama belakangan) misalnya
mengadakan majlis maulidin Nabi saw., majlis tahlilan/ yasinan dan lain
sebagainya (baca keterangannya pada bab Maulid Nabi saw.dan bab Ziarah
kubur). Tidak lain para ulama yang mengamalkan ini mengambil dalil-dalil
baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasulallah saw. yang menganjurkan agar
manusia selalu berbuat kebaikan atau dalil-dalil tentang pahala-pahala
bacaan dan amalan ibadah lainnya. Berbuat kebaikan ini banyak macam dan
caranya semuanya mustahab asalkan tidak tidak bertentangan dengan apa
yang telah digariskan oleh syari’at.
Apalagi
didalam majlis-majlis (maulidin-Nabi, tahlilan/yasinan, Istighotsah)
yang sering diteror oleh golongan tertentu, disitu sering didengungkan
kalimat Tauhid, Tasbih, Takbir dan Sholawat kepada Rasulallah saw. yang
semuanya itu dianjurkan oleh Allah swt. dan Rasul-Nya. Semuanya ini
mendekatkan/taqarrub kita kepada Allah swt.!!
Mari kita rujuk ayat al-Qur’an:
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
‘Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang daripadanya, maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7).
Dalam
ayat ini jelas bahwa perintah untuk tidak mengerjakan sesuatu itu
adalah apabila telah tegas dan jelas larangannya dari Rasulallah saw. !
Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan :
وَماَلَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
‘Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakannya (oleh Rasulallah), maka berhentilah (mengerjakannya)’.
Juga dalam hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Bukhori:
فَاجْتَنِبُوْهُ اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ
‘Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah dia !‘
Dalam hadits ini Rasulallah saw. tidak mengatakan:
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
‘Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia!’
Jadi pemahaman golongan yang melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil dua hadits yang telah kami kemukakan Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah… dan hadits Barangsiapa yang didalam agama… adalah
tidak benar, karena adanya beberapa keterangan dari Rasulallah saw.
didalam hadits-hadits yang lain dimana beliau merestui banyak perkara
yang merupakan prakarsa para sahabat sedangkan beliau saw. sendiri tidak
pernah melakukan apalagi memerintahkan. Maka para ulama menarik
kesimpulan bahwa bid’ah (prakarsa) yang dianggap sesat ialah yang mensyari’atkan sebagian dari agama yang tidak diizinkan Allah swt. (QS Asy-Syura :21) serta
prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah digariskan oleh
syari’at Islam baik dalam Al-Qur’an maupun sunnah Rasulallah saw.,
contohnya yang mudah ialah:
Sengaja
sholat tidak menghadap kearah kiblat, Shalat dimulai dengan salam dan
diakhiri denga takbir ; Melakukan sholat dengan satu sujud saja; Melaku kan sholat Shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan lain sebagai- nya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna hadits Rasulallah saw. diatas yang mengatakan, mengada-adakan sesuatu itu…. adalah
masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan
Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah. Saya ambil
perumpamaan lagi yang mudah saja, ada orang mengatakan bahwa sholat wajib itu setiap harinya dua kali, padahal agama menetapkan lima kali sehari. Atau orang yang sanggup tidak berhalangan karena sakit, musafir dan lain-lain
berpuasa wajib pada bulan Ramadhan mengatakan bahwa kita tidak perlu
puasa pada bulan tersebut tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan
apapun saja. Inilah yang dinamakan menambah dan mengada-adakan agama.
Jadi bukan masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
Telitilah isi hadits Qudsi berikut ini yang diriwayatkan Bukhori dari Abu Hurairah :
…… وَمَا تَقَرَّبَ اِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْئٍ أحَبَّ اِلَيَّ مِمَّا افْتَرَطْتُ عَلَيْهِ,
وَمَا
يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ أِلَيَّ بِالنّـَوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ
فَاِذَا أحْبَبْتهُ كُنْتُ سَمْـعَهُ الَّذِي يَسمَعُ بِهِ
وَبَصَرَهُ اَلَّذِي يُبْصِرُبِهِ, وَيَدَهُ اَلَّتِي يَبْـطِشُ بِهَا وَرِجْلـَهُ اَلَّتِي يَمْشِي بِهَا
وَاِنْ سَألَنِي لاُعْطَيْنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَـاذَنِي لاُعِيْذَنَّهُ. (رواه البخاري)
“…. HambaKu yang mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih Ku sukai daripada yang telah Kuwajibkan kepadanya, dan selagi hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan nawafil
(amalan-amalan atau sholat sunnah) sehingga Aku mencintainya, maka jika
Aku telah mencintainya. Akulah yang menjadi pendengarannya dan dengan
itu ia mendengar, Akulah yang menjadi penglihatannya dan dengan itu ia
melihat, dan Aku yang menjadi tangannya dengan itu ia memukul (musuh),
dan Aku juga menjadi kakinya dan dengan itu ia berjalan. Bila ia mohon
kepadaKu itu pasti Kuberi dan bila ia mohon perlindungan kepadaKu ia
pasti Ku lindungi”.
Dalam hadits qudsi ini Allah swt. mencintai orang-orang yang menambah amalan sunnah disamping amalan wajibnya.
Mari kita rujuk ayat-ayat ilahi yang ada kata-kata Kullu yang mana kata ini tidak harus berarti semua/setiap, tapi bisa berarti khusus untuk beberapa hal saja.
Firman Allah swt dalam Al-Kahfi: 79, kisah Nabi Musa as. dengan Khidir (hamba Allah yang sholeh), sebagai berikut:
“Adapun
perahu itu, maka dia adalah miliknya orang orang miskin yang bermata
pencaharian dilautan dan aku bertujuan merusaknya karena dibelakang
mereka terdapat seorang raja yang suka merampas semua perahu”.
Ayat
ini menunjukkan tidak semua perahu yang akan dirampas oleh raja itu,
melainkan perahu yang masih dalam kondisi baik saja. Oleh karenanya
Khidir/seorang hamba yang sholeh sengaja membocorkan perahu orang-orang
miskin itu agar terlihat sebagai perahu yang cacat/jelek sehingga
tidaklah dia ikut dirampas oleh raja itu. Dengan demikian maka kata
safiinah dalam Al-Qur’an itu maknanya adalah safiinah hasanah
atau perahu yang baik. Ini berarti safiinah diayat ini tidak bersifat
umum dalam arti tidak semua safiinah/perahu yang akan dirampas oleh raja
melainkan safiinah hasanah saja walaupun didalam ayat itu disebut Kullu safiinah (semua/setiap perahu).
Dalam surat Al-Ahqaf ayat 25 Allah swt.berfirman : “Angin taufan itu telah menghancurkan segala sesuatu atas perintah Tuhannya”. Namun
demikian keumuman pada ayat diatas ini tidak terpakai karena pada saat
itu gunung-gunung, langit dan bumi tidak ikut hancur.
Dalam surat An-Naml ayat 23 Allah swt.berfirman : “Ratu Balqis itu telah diberikan segala sesuatu”. Keumuman
pada ayat ini juga tidak terpakai karena Ratu Balqis tidak diberi
singgasana dan kekuasaan seperti yang diberikan kepada Nabi Sulaiman as.
Begitupun juga dalam surat An-Najm ayat 39 Allah swt.berfirman: “Bahwasa- nya setiap manusia itu tidak memperoleh selain apa yang telah diusaha- kannya”. Kalimat ‘selain apa yang telah diusahakannya’
pada ayat ini bersifat umum, namun keumumannya itu tidak terpakai
karena banyak sekali hadits-hadits shohih yang menunjukkan bahwa seorang
muslim yang telah meninggal masih dapat memperoleh kebaikan dan manfaat
dari muslim yang lain seperti sholat jenazah, do’a, sedekah dan
lain-lain.
Dalam surat Thoha ayat 15 Allah swt. berfirman : “Agar setiap manusia menerima balasan atas apa yang telah diusahakannya”. Kalimat ‘apa yang telah diusahakannya’ mencakup semua amal baik yang hasanah (baik) maupun yang sayyiah (jelek). Namun demikian amal yang sayyiah yang telah diampuni oleh Allah swt. tidaklah termasuk yang akan memperoleh balasannya (siksa).
Dalam surat Aali ‘Imran : 173 Allah swt. berfirman mengenai suatu peristiwa dalam perang Uhud :
“Kepada mereka (kaum Muslimin) ada yang mengatakan bahwa semua orang (di Mekkah) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang….” Yang dimaksud semua orang (an-naas)
dalam ayat ini tidak bermakna secara harfiahnya, tetapi hanya untuk
kaum musyrikin Quraisy di Mekkah yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin
Harb yang memerangi Rasulallah saw. dan kaum Muslimin didaratan tinggi
Uhud, jadi bukan semua orang Mekkah atau semua orang Arab.
Dalam surat Al-Anbiya : 98 : “Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Alah adalah umpan neraka jahannam..”.
Ayat ini sama sekali tidak boleh ditafsirkan bahwa Nabi ‘Isa as dan
bundanya yang dipertuhankan oleh kaum Nasrani akan menajdi umpan neraka.
Begitu juga para malaikat yang oleh kaum musyrikin lainnya dianggap
sebagai tuhan-tuhan mereka.
Dalam surat Aali ‘Imran : 159 : “Ajaklah mereka bermusyawarah dalam suatu urusan…”. Kalimat dalam suatu urusan (fil amri) tidak bermakna semua urusan termasuk urusan agama dan urusan akhirat , tidak ! Yang dimaksud urusan dalam hal ini ialah urusan duniawi.
Allah swt. tidak memerintahkan Rasul-Nya supaya memusyawarahkan
soal-soal keagamaan atau keukhrawian dengan para sahabatnya atau dengan
ummatnya.
Dalam surat Al-An’am : 44 : ‘Kami bukakan bagi mereka pintu segala sesuatu’. Akan tetapi pengertian ayat ini terkait, Allah tidak membukakan pintu rahmat bagi mereka (orang-orang kafir durhaka). Kalimat segala sesuatu adalah umum, tetapi kalimat itu bermaksud khusus.
Dalam surat Al-Isra : 70 : “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam….dan seterusnya “. Firman
Allah ini bersifat umum, sebab Allah swt. juga telah berfirman, bahwa
ada manusia-manusia yang mempunyai hati tetapi tidak memahami ayat-ayat
Allah, mempunyai mata tetapi tidak menggunakannya untuk melihat
tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mempunyai telinga tetapi tidak
menggunakannya untuk mendengarkan firman-firman Allah; mereka itu
bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi (QS.Al-A’raf : 179).
Jadi
jelaslah, bahwa secara umum manusia adalah makhluk yang mulia, tetapi
secara khusus banyak manusia yang setaraf dengan binatang ternak, bahkan
lebih sesat. Masih banyak lagi ayat-ayat Ilahi yang walaupun didalamnya
terdapat keumuman namun ternyata keumumannya itu tidak terpakai untuk
semua hal atau masalah. !!
Sebuah hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulallah saw. bersabda: “Orang yang menunaikan sholat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk neraka”. Hadits
ini bersifat umum, tidak dapat diartikan secara harfiah. Yang dimaksud
oleh hadits tersebut bukan berarti bahwa seorang Muslim cukup dengan
sholat shubuh dan maghrib saja, tidak diwajibkan menunaikan
sholat wajib yang lain seperti dhuhur, ashar dan isya !
Ibnu
Hajar mengatakan; ‘ Hadits-hadits shahih yang mengenai satu persoal- an
harus dihubungkan satu sama lain untuk dapat diketahui dengan jelas
maknanya yang muthlak dan yang muqayyad. Dengan demikian maka semua yang di-isyaratkan oleh hadits-hadits itu semuanya dapat dilaksana- kan’.
Dalam shohih Bukhori dan juga dalam Al-Muwattha terdapat penegasan Rasulallah saw. yang menyatakan bahwa jasad semua anak Adam akan hancur dimakan tanah. Mengenai itu Ibnu ‘Abdul Birr rh. dalam At-Tamhid mengatakan:
Hadits mengenai itu menurut lahirnya dan menurut keumuman maknanya
adalah, bahwa semua anak Adam sama dalam hal itu. Akan tetapi dalam
hadits yang lain Rasulallah saw. menegaskan pula, bahwa jasad para Nabi dan para pahlawan syahid tidak akan dimakan tanah (hancur) !
Masih
banyak contoh seperti diatas baik didalam nash Al-Qur’an maupun Hadits.
Banyak sekali ayat Ilahi yang menurut kalimatnya bersifat umum, dan
dalam ayat yang lain dikhususkan maksud dan maknanya, demikian pula
banyak terdapat didalam hadits. Begitu banyaknya sehingga ada sekelompok
ulama mengatakan; ‘Hal yang umum hendaknya tidak diamalkan dulu sebelum dicari kekhususan-kekhususannya’.
Begitu juga halnya dengan hadits Nabi ‘Kullu bid’ atin dholalah’ walaupun sifatnya umum tapi berdasarkan dalil hadits lainnya maka disimpulkanlah bahwa tidak semua bid’ah (prakarsa) itu dholalah/sesat
! Mereka juga lupa yang disebut agama bukan hanya masalah peribadatan
saja. Allah swt. menetapkan agama Islam bagi umat manusia mencakup semua
perilaku dan segi kehidupan manusia. Yang kesemuanya ini bisa dimasuki
bid’ah baik yang hasanah maupun yang sayyiah/buruk.
Banyak
kenyataan membuktikan, bahwa Rasulallah saw. membenarkan dan meirdhoi
macam-macam perbuatan yang berada diluar perintah Allah dan perintah
beliau saw. Silahkan baca kembali hadits-hadits yang telah kami
kemukakan diatas. Bagaimanakah cara kita memahami semua persoalan itu?
Apakah kita berpegang pada satu hadits Nabi (yakni kalimat: semua bid’ah
adalah sesat) diatas dan kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits
yang lain yang lebih jelas uraiannya (yang menganjurkan manusia selalu
berbuat kebaikan) ? Yang benar ialah bahwa kita harus berpegang pada
semua hadits yang telah diterima kebenarannya oleh jumhurul-ulama. Untuk
itu tidak ada jalan yang lebih tepat daripada yang telah ditunjukkan
oleh para imam dan ulama Fiqih, yaitu sebagaimana yang telah dipecahkan
oleh Imam Syafi’i dan lain-lain.
Insya
Allah dengan keterangan singkat tentang hadits-hadits Rasulallah saw.
masalh Bid’ah, akan bisa membuka pikiran kita untuk mengetahui bid’ah
mana yang haram dan bid’ah yang Hasanah/baik. Untuk lebih lengkapnya
keterangan yang saya kutip dalam hal bid’ah ini, silahkan membaca buku
Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah oleh H.M.H Al-HAMID – AL-HUSAINI.
6.Qadha (penggantian) Sholat yang ketinggalan dan dalil-dalil yang berkaitan dengannya
Sebagian
golongan muslimin telah membid’ahkan, mengharamkan/mem batalkan
mengqadha/mengganti sholat yang sengaja tidak dikerjakan pada waktunya.
Mereka ini berpegang pada wejangan Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah yang
mengatakan tidak sah orang yang ketinggalan sholat fardhu dengan
sengaja untuk menggantinya/qadha pada waktu sholat lainnya, mereka harus
menambah sholat-sholat sunnah untuk menutupi kekurangan- nya tersebut.
Tetapi pendapat Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah ini telah terbantah oleh
hadits-hadits dibawah ini dan ijma’ (kesepakatan) para ulama pakar
diantaranya Imam Hanafi, Malik dan Imam Syafi’i dan lainnya tentang
kewajiban qadha bagi yang meninggalkan sholat baik dengan sengaja maupun tidak sengaja. Mari kita ikuti beberapa hadits tentang qadha sholat berikut ini
:
1). HR.Bukhori, Muslim dari Anas bin Malik ra.: “Siapa yang lupa (melaksanakan) suatu sholat atau tertidur dari (melaksanakan)nya, maka kifaratnya (tebusannya) adalah melakukannya jika dia ingat”. Ibnu Hajr Al-‘Asqalany dalam Al-Fath II:71 ketika menerangkan makna hadits ini berkata; ‘Kewajiban menggadha sholat atas orang yang sengaja meninggalkannya itu lebih utama. Karena hal itu termasuk sasaran Khitab (perintah) untuk melaksanakan sholat, dan dia harus melakukannya…’.
Yang dimaksud Ibnu Hajr ialah kalau perintah Rasulallah saw. bagi orang yang ketinggalan sholat karena lupa dan tertidur itu
harus diqadha, apalagi untuk sholat yang disengaja ditinggalkan itu
malah lebih utama/wajib untuk menggadhanya. Maka bagaimana dan darimana
dalilnya orang bisa mengatakan bahwa sholat yang sengaja ditinggalkan itu tidak wajib/tidak sah untuk diqadha ?
Begitu juga hadits itu menunjukkan bahwa orang yang ketinggalan sholat karena lupa atau tertidur tidak berdosa hanya wajib menggantinya. Tetapi orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja dia berdosa besar karena kesengajaannya meninggalkan sholat, sedangkan kewajiban qadha tetap berlaku baginya.
2).
Rasulallah saw. setelah sholat Dhuhur tidak sempat sholat sunnah dua
raka’at setelah dhuhur, beliau langsung membagi-bagikan harta, kemudian
sampai dengar adzan sholat Ashar. Setelah sholat Ashar beliau
saw. sholat dua rakaat ringan, sebagai ganti/qadha sholat dua rakaat
setelah dhuhur tersebut. (HR.Bukhori, Muslim dari Ummu Salamah).
3). Rasulallah saw. bersabda: ‘Barangsiapa tertidur atau terlupa dari mengerjakan shalat witir maka lakukanlah jika ia ingat atau setelah ia terbangun’. (HR.Tirmidzi dan Abu Daud).(dikutip dari at-taj 1:539)
4). Rasulallah saw. bila terhalang dari shalat malam karena tidur atau sakit maka beliau saw. menggantikannya dengan shalat dua belas rakaat diwaktu siang. (HR. Muslim dan Nasa’i dari Aisyah ra).(dikutip dari at-taj 1:539)
Nah
alau sholat sunnah muakkad setelah dhuhur, sholat witir dan sholat
malam yang tidak dikerjakan pada waktunya itu diganti/diqadha oleh
Rasulallah saw. pada waktu setelah sholat Ashar dan waktu-waktu lainnya,
maka sholat fardhu yang sengaja ketinggalan itu lebih utama diganti dari- pada sholat-sholat sunnah ini.
5).
HR Muslim dari Abu Qatadah, mengatakan bahwa ia teringat waktu safar
pernah Rasulallah saw. ketiduran dan terbangun waktu matahari menyinari
punggungnya. Kami terbangun dengan terkejut. Rasulallah saw. bersabda:
Naiklah (ketunggangan masing-masing) dan kami menunggangi (tunggang- an
kami) dan kami berjalan. Ketika matahari telah meninggi, kami turun.
Kemudian beliau saw. berwudu dan Bilal adzan utk melaksanakan sholat
(shubuh yang ketinggalan). Rasulallah saw. melakukan sholat sunnah
sebelum shubuh kemudian sholat shubuh setelah selesai beliau saw.
menaiki tunggangannya.
Ada
sementara yang berbisik pada temannya; ‘Apakah kifarat (tebusan)
terhadap apa yang kita lakukan dengan mengurangi kesempurnaan shalat
kita (at-tafrith fi ash-sholah)? Kemudian Rasulallah saw. bersabda: ’Bukan kah aku sebagai teladan bagi kalian’?, dan selanjutnya beliau bersabda : ‘Sebetulnya jika karena tidur (atau lupa) berarti tidak ada tafrith (kelalaian atau kekurangan dalam pelaksanaan ibadah, maknanya juga tidak berdosa). Yang dinamakan kekurangan dalam pelaksanaan ibadah (tafrith) yaitu orang yang tidak melakukan (dengan sengaja) sholat sampai datang lagi waktu sholat lainnya….’.
(Juga Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Imaran bin
Husain dengan kata-kata yang mirip, begitu juga Imam Bukhori dari Imran
bin Husain).
Hadits ini tidak lain berarti bahwa orang yang dinamakan lalai/meng- gampangkan sholat ialah bila meninggalkan sholat dengan sengaja dan dia berdosa, tapi bila karena tertidur atau lupa maka dia tidak berdosa, kedua-duanya wajib menggadha sholat yang ketinggalan tersebut. Dan dalam hadits ini tidak
menyebutkan bahwa orang tidak boleh/haram menggadha sholat yang
ketinggalan kecuali selain dari yang lupa atau tertidur, tapi hadits ini
menyebutkan tidak ada kelalaian (berdosa) bagi orang yang
meninggal- kan sholat karena tertidur atau lupa. Dengan demikian tidak
ada dalam kalimat hadits larangan untuk menggadha sholat !
6).
Jabir bin Abdullah ra.meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab ra. pernah
datang pada hari (peperangan) Khandaq setelah matahari terbenam. Dia
mencela orang kafir Quraisy, kemudian berkata; ‘Wahai Rasulallah, aku
masih melakukan sholat Ashar hingga (ketika itu) matahari hampir
terbenam’. Maka Rasulallah saw. menjawab : ‘Demi Allah aku tidak (belum)
melakukan sholat Ashar itu’. Lalu kami berdiri (dan pergi) ke Bith-han.
Beliau saw. berwudu untuk (melaksanakan) sholat dan kami pun berwudu
untuk melakukannya. Beliau saw. (melakukan) sholat Ashar setelah
matahari terbenam. Kemudian setelah itu beliau saw. melaksanakan sholat
Maghrib. (HR.Bukhori dalam Bab ‘orang yg melakukan sholat bersama orang
lain secara berjama’ah setelah waktunya lewat’, Imam Muslim I ;438
hadits nr. 631, meriwayatkannya juga, didalam Al-Fath II:68, dan pada bab ‘meng- gadha sholat yang paling utama’ dalam Al-Fath Al-Barri II:72)
7). Begitu juga dalam kitab Fiqih empat madzhab atau Fiqih lima madzhab bab 25 sholat Qadha’
menulis: Para ulama sepakat (termasuk Imam Hanafi, Imam Malik, Imam
Syafi’i dan lainnya) bahwa barangsiapa ketinggalan shalat fardhu maka ia
wajib menggantinya/menggadhanya. Baik shalat itu ditinggal- kannya
dengan sengaja, lupa, tidak tahu maupun karena ketiduran.
Memang terdapat perselisihan antara imam madzhab (Hanafi, Malik, Syafi’i dan lainnya), perselisihan antara mereka ini ialah apakah ada kewajiban qadha atas orang gila, pingsan dan orang mabuk.
8). Dalam kitab fiqih Sunnah Sayyid Sabiq (bahasa Indonesia) jilid 2 hal. 195 bab Menggadha Sholat diterangkan: Menurut madzhab jumhur termasuk disini Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i mengatakan orang yang sengaja meninggalkan sholat itu berdosa dan ia tetap wajib meng- gadhanya.
Yang menolak pendapat qadha dan ijma’ ulama ialah Ibnu Hazm dan Ibnu
Taimiyyah, mereka ini membatalkan (tidak sah) untuk menggadha sholat !!
Dalam buku ini diterangkan panjang lebar alasan dua imam ini. (Tetapi
alasan dua imam ini terbantah juga oleh hadits-hadits diatas dan ijma’
para ulama pakar termasuk disini Imam Hanafi, Malik, Syafi’i dan ulama
pakar lainnya yang mewajibkan qadha atas sholat yang sengaja ditinggal-
kan. Mereka ini juga bathil dari sudut dalil dan berlawanan dengan
madzhab jumhur—pen.).
Kesimpulan :
Kalau
kita baca hadits-hadits diatas semuanya masalah qadha sholat, dengan
demikian buat kita insya Allah sudah jelas bahwa menggadha/meng-
gantikan sholat yang ketinggalan baik secara disengaja maupun tidak disengaja
menurut ijma’ ulama hukumnya wajib, sebagaimana yang diutarakan oleh
ulama-ulama pakar yang telah diakui oleh ulama-ulama dunia yaitu Imam
Hanafi, Imam Malik dan Imam Syafi’i. Hanya perbedaan antara yang
disengaja dan tidak disengaja ialah masalah dosanya jadi bukan masalah qadhanya.
Semoga
dengan adanya dalil-dalil yang cukup jelas ini bisa menjadikan manfaat
bagi kita semua. Semoga kita semua tidak saling cela-mencela atau merasa
pahamnya/anutannya yang paling benar.
7. Dalil Sholat sunnah Qabliyah (sebelum) sholat Jum’at
Sebagian
orang telah membid’ahkan sholat sunnah qabliyah jum’at ini. Menurut
pandangan mereka hal ini tidak pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw.
atau para sahabat. Padahal kalau kita teliti cukup banyak hadits serta
wejangan ulama pakar ahli fiqih dalam madzhab Syafi’i dan lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung
yang berkaitan dengan sunnah- nya sholat qabliyah jum’at ini. Mari kita
ikuti hadits-hadits yang berkaitan dengan sholat sunnah diantaranya :
Hadits riwayat Bukhori dan Muslim : “Dari Abdullah bin Mughaffal al-Muzanni, ia berkata; Rasulallah saw. bersabda: ‘Antara dua adzan itu terdapat shalat’”. Menurut para ulama yang dimaksud antara dua adzan ialah antara adzan dan iqamah.
Mengenai
hadits ini tidak ada seorang ulamapun yang meragukan keshohih- annya
karena dia disamping diriwayatkan oleh Bukhori Muslim juga diriwayat kan
oleh Ahmad dan Abu Ya’la dalam kitab Musnadnya. Dari hadits ini saja
kita sudah dapat memahami bahwa Nabi saw. menganjurkan supaya diantara
adzan dan iqamah itu dilakukan sholat sunnah dahulu, termasuk dalam
katergori ini sholat sunnah qabliyah jum’at. Tetapi nyatanya para
golongan pengingkar tidak mengamalkan amalan sunnah ini karena mereka
anggap amalan bid’ah.
Riwayat dalam sunan Turmudzi II/18: “Diriwayatkan
dari Abdullah bin Mas’ud bahwasanya beliau melakukan shalat sunnah
qabliyah jum’at sebanyak empat raka’at dan sholat ba’diyah (setelah) jum’at sebanyak empat raka’at pula”.
Abdullah
bin Mas’ud merupakan sahabat Nabi saw. yang utama dan tertua,
dipercayai oleh Nabi sebagai pembawa amanah sehingga beliau selalu dekat
dengan nabi saw. Beliau wafat pada tahun 32 H. Kalau seorang sahabat
Nabi yang utama dan selalu dekat dengan beliau saw. mengamal- kan suatu
ibadah, maka tentu ibadahnya itu diambil dari sunnah Nabi saw.
Penulis kitab Hujjatu Ahlis Sunnah Wal-Jama’ah setelah mengutip riwayat Abdullah bin Mas’ud tersebut mengatakan: “Secara dhohir (lahiriyah) apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Mas’ud itu adalah berdasarkan petunjuk langsung dari Nabi Muhammad saw.”
Dalam
kitab Sunan Turmudzi itu dikatakan pula bahwa Imam Sufyan ats-Tsauri
dan Ibnul Mubarak beramal sebagaimana yang diamalkan oleh Abdullah bin
Mas’ud ( Al-Majmu’ 1V/10).
Hadits riwayat Abu Daud: “Dari
Ibnu Umar ra. bahwasanya ia senantiasa memanjangkan shalat qabliyyah
jum’at. Dan ia juga melakukan shalat ba’diyyah jum’at dua raka’at. Ia
menceriterakan bahwasanya Rasulallah saw. senantiasa melakukan hal yang
demikian”.(Nailul Authar III/313).
Penilaian beberapa ulama mengenai hadits terakhir diatas ialah: Imam Syaukani berkata: ‘Menurut Hafidz al-Iraqi, hadits Ibnu Umar itu isnadnya shohih’. ; Hafidz Ibnu Mulqin dalam kitabnya yang berjudul Ar-Risalah berkata: ‘Isnadnya shohih tanpa ada keraguan’. ; Imam Nawawi dalam Al-Khulashah mengatakan : ‘Hadits tersebut shohih menurut persyaratan Imam Bukhori. Juga telah dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam shohihnya’.
Hadits
riwayat Ibnu Majah : “Dari Abu Hurairah dan Abu Sufyan dari Jabir,
keduanya berkata; Telah datang Sulaik al-Ghathfani diketika Rasulallah
saw. tengah berkhutbah (khotbah jum’at). Lalu Nabi saw bertanya kepada- nya: ‘Apakah engkau sudah shalat dua raka’at sebelum datang kesini ?’ Dia menjawab; Belum. Nabi saw. bersabda; ‘Shalatlah kamu dua raka’at dan ringkaskan shalatmu itu’ “. (Nailul Authar III/318).
Jelas
sekali dalam hadits ini bagaimana Rasulallah saw. menganjurkan (pada
orang itu) shalat sunnah qabliyyah jum’at dua raka’at sebelum duduk
mendengarkan khutbah. Juga dalam menerangkan hadits ini Syeikh
Syihabuddin al-Qalyubi wafat 1070H mengatakan; bahwa hadits ini nyata dan jelas berkenaan dengan shalat sunnah qabliyah jum’at, bukan shalat tahiyyatul masjid. Hal ini dikarenakan tahiyyatul masjid tidak boleh dikerjakan dirumah atau diluar masjid melainkan harus dikerjakan di masjid.
Syeikh
Umairoh berkata: Andai ada orang yang mengatakan bahwa yang disabdakan
oleh Nabi itu mungkin sholat tahiyyatul masjid, maka dapat dijawab “Tidak Mungkin”. Sebab shalat tahiyyatul masjid tidak dapat dilaku- kan diluar masjid, sedangkan nabi saw. (waktu itu) bertanya; Apakah engkau sudah sholat sebelum (dirumahnya) datang kesini ? (Al-Qalyubi wa Umairoh 1/212).
Begitu juga Imam Syaukani ketika mengomentari hadits riwayat Ibnu Majah tersebut mengatakan dengan tegas :
Sabda Nabi saw. ‘sebelum engkau datang kesini’ menunjukkan
bahwa sholat dua raka’at itu adalah sunnah qabliyyah jum’at dan bukan
sholat sunnah tahiyyatul masjid“.(Nailul Authar III/318)
Mengenai derajat hadits riwayat Ibnu Majah itu Imam Syaukani berkata ; ‘Hadits Ibnu Majah ini perawi-perawinya adalah orang kepercayaan’. Begitu juga Hafidz al-Iraqi berkata: ‘Hadits Ibnu Majah ini adalah hadits shohih’.
Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Thabrani: “Dari
Abdullah bin Zubair, ia berkata, Rasulallah saw. bersabda : ‘Tidak ada
satupun sholat yang fardhu kecuali disunnahkan sebelumnya shalat dua
raka’at’ “. Menurut kandungan hadits ini jelas bahwa disunnahkan juga shalat qabliyyah jum’at sebelum sholat fardhu jum’at dikerjakan.
Mengenai derajat hadits ini Imam Hafidz as-Suyuthi mengatakan : ‘Ini adalah hadits shohih’ dan Ibnu Hibban berkata ; ‘Hadits ini adalah shohih’. Sedang- kan Syeikh al-Kurdi berkata: “Dalil yang paling kuat untuk dijadikan pegang- an dalam hal disyariatkannya sholat sunnah dua raka’at qabliyyah jum’at
adalah hadits yang dipandang shohih oleh Ibnu Hibban yakni hadits
Abdullah bin Zubair yang marfu’ (bersambung sanadnya sampai kepada Nabi
saw.) yang artinya: ‘Tidak ada satupun shalat yang fardhu kecuali disunnahkan sebelumnya shalat dua raka’at’ “.
Demikianlah beberapa hadits yang shohih diatas sebagai dalil disunnah- kannya sholat qabliyyah jum’at. Sedangkan kesimpulan beberapa ulama ahli fiqih khususnya dalam madzhab Syafi’i tentang hukum sholat sunnah qabliyyah jum’at yang tertulis dalam kitab-kitab mereka ialah :
Hasiyah al-Bajuri 1/137 :
“Shalat
jum’at itu sama dengan shalat Dhuhur dalam perkara yang disunnahkan
untuknya. Maka disunnahkan sebelum jum’at itu empat raka’at dan
sesudahnya juga empat raka’at”.
Al-Majmu’ Syarah Muhazzab 1V/9 :
“Disunnahkan
shalat sebelum dan sesudah jum’at. Minimalnya adalah dua raka’at
qabliyyah dan dua raka’at ba’diyyah (setelah sholat jum’at). Dan yang
lebih sempurna adalah empat raka’at qabliyyah dan empat raka’at
ba’diyyah’.
Iqna’ oleh Syeikh Khatib Syarbini 1/99 :
“Jum’at itu sama seperti shalat Dhuhur.Disunnahkan sebelumnya empat raka’at dan sesudahnya juga empat raka’at”.
Minhajut Thalibin oleh Imam Nawawi :
“Disunnahkan shalat sebelum Jum’at sebagaimana shalat sebelum Dzuhur”.
Begitu juga masih banyak pandangan ulama pakar berbagai madzhab mengenai sunnahnya sholat qabliyyah jum’at ini.
Dengan keterangan-keterangan
singkat mengenai kesunnahan sholat qabliyyah jum’at, kita akan memahami
bahwa ini semua adalah sunnah Rasulallah saw., bukan sebagai amalan
bid’ah. Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah swt.
8.Dalil mengangkat tangan waktu berdo’a
Sebagian golongan ada yang membid’ahkan mengangkat
kedua tangan waktu berdo’a. Sebenarnya ini sama sekali tidak ada
larangan dalam agama, malah sebaliknya ada hadits bahwa Rasulallah saw.
mengangkat tangan waktu berdo’a. Begitupun juga ulama-ulama pakar dari
berbagai madzhab (Hanafi, Maliki , Syafi’i dan lain sebagainya) selalu
mengangkat tangan waktu berdo’a, karena hal ini termasuk adab atau tata tertib cara berdo’a kepada Allah swt.
Dalam
kitab Riyaadus Shalihin jilid 2 terjemahan bahasa Indonesia oleh
Almarhum H.Salim Bahreisj cetakan keempat tahun 1978 meriwayatkan sebuah
hadits :
Sa’ad
bin Abi Waqqash ra.berkata: Kami bersama Rasulallah saw. keluar dari
Makkah menuju ke Madinah, dan ketika kami telah mendekati Azwara,
tiba-tiba Rasulallah saw. turun dari kendaraannya, kemudian mengangkat kedua tangan berdo’a sejenak lalu sujud lama sekali, kemudian bangun mengangkat kedua tangannya berdo’a, kemudian sujud kembali, diulanginya perbuatan itu tiga kali. Kemudian berkata: ‘Sesungguhnya saya minta kepada Tuhan supaya di-izinkan memberikan syafa’at (bantuan)
bagi ummat ku, maka saya sujud syukur kepada Tuhanku, kemudian saya
mengangkat kepala dan minta pula kepada Tuhan dan diperkenankan untuk
sepertiga, maka saya sujud syukur kepada Tuhan, kemudian saya mengangkat
kepala berdo’a minta untuk ummatku, maka diterima oleh Tuhan, maka saya
sujud syukur kepada Tuhanku’. (HR.Abu Dawud).
Dalam
hadits ini menerangkan bahwa Rasulallah saw. tiga kali berdo’a sambil
mengangkat tangannya setiap berdo’a, dengan demikian berdo’a sambil
mengangkat tangan adalah termasuk sunnah Rasulallah saw..
Dalam Kitab Fiqih Sunnah Sayid Sabiq (bahasa Indonesia) buku yang sering diandalkan juga oleh golongan pengingkar
jilid 4 cetakan pertama tahun 1978 halaman 274-275 diterbitkan oleh PT
Alma’arif, Bandung Indonesia, dihalaman ini ditulis sebagai berikut :
Berdasarkan riwayat Abu Daud dari Ibnu Abbas ra., katanya :
“Jika kamu meminta (berdo’a kepada Allah swt.) hendaklah dengan mengangkat kedua tanganmu setentang kedua bahumu atau kira-kira setentangnya, dan jika istiqhfar (mohon ampunan) ialah dengan menunjuk dengan sebuah jari, dan jika berdo’a dengan melepas semua jari-jemari tangan”.
Malah dalam hadits ini, kita diberi tahu sampai dimana batas sunnahnya mengangkat
tangan waktu berdo’a, dan waktu mengangkat tangan tersebut disunnahkan
dengan menunjuk sebuah jari waktu mohon ampunan, melepas semua jari-jari
tangan (membuka telapak tangannya) waktu berdo’a selain istiqfar.
Diriwayatkan dari Malik bin Yasar bahwa Rasulallah saw. bersabda :
“Jika kamu meminta Allah, maka mintalah dengan bagian dalam telapak tanganmu, jangan dengan punggungnya !” Sedang dari Salman, sabda Nabi saw : “Sesungguhnya Tuhanmu yang Mahaberkah dan Mahatinggi adalah Mahahidup lagi Mahamurah, ia merasa malu terhadap hamba-Nya jika ia menadahkan tangan (untuk berdo’a) kepada-Nya, akan menolaknya dengan tangan hampa”.
Lihat
hadits ini Allah swt. tidak akan menolak do’a hamba-Nya waktu berdo’a
sambil menadahkan tangan kepadaNya, dengan demikian do’a kita akan lebih
besar harapan dikabulkan oleh-Nya!
Sedangkan hadits yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim dari Anas bin Malik ra. menuturkan :
“Aku pernah melihat Rasulallah saw. mengangkat dua tangan keatas saat berdo’a sehingga tampak warna keputih-putihan pada ketiak beliau”.
Masih
ada hadits yang beredar mengenai mengangkat tangan waktu berdo’a.
Dengan hadits-hadits diatas ini, cukup buat kita sebagai dalil atas sunnahnya
mengangkat tangan waktu berdo’a kepada Allah swt. Bagi saudaraku muslim
yang tidak mau angkat tangan waktu berdo’a, silahkan, tapi janganlah
mencela atau membid’ahkan saudara muslim lainnya yang mengangkat tangan
waktu berdo’a !. Karena mengangkat tangan waktu berdo’a adalah sebagai adab atau sopan santun
cara berdo’a kepada Allah swt. dan hal ini diamalkan oleh para salaf
dan para ulama pakar (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Imam Ahmad
–radhiyallahu ‘anhum– dan para imam lainnya).
Janganlah
kita cepat membid’ahkan sesuatu amalan karena membaca satu hadits dan
mengenyampingkan hadits lainnya. Semuanya ini amalan-amalan sunnah,
siapa yang mengamalkan tersebut akan dapat pahala, dan yang tidak
mengamalkan hal tersebut juga tidak berdosa. Karena membid’ahkan sesat
sama saja mengharamkan amalan tersebut.
9. Menyebut nama Rasulallah saw. dengan awalan kata sayyidina atau maulana
Sebagian orang membid’ahkan panggilan Sayyidinaa atau Maulana
didepan nama Muhammad Rasulallah saw., dengan alasan bahwa Rasulallah
saw. sendiri yang menganjurkan kepada kita tanpa mengagung-agungkan
dimuka nama beliau saw. Memang golongan ini mudah sekali membid’ahkan
sesuatu amalan tanpa melihat motif makna yang dimaksud Bid’ah itu apa.
Mari kita rujuk ayat-ayat Ilahi dan hadits-hadits Rasulallah saw. yang
berkaitan dengan kata-kata sayyid.
Syeikh Muhammad Sulaiman Faraj dalam risalahnya yang berjudul panjang yaitu Dala’ilul-Mahabbah Wa Ta’dzimul-Maqam Fis-Shalati Was-Salam ‘AN Sayyidil-Anam dengan tegas mengatakan: Menyebut nama Rasulallah saw. dengan tambahan kata Sayyidina (junjungan kita) didepannya merupakan suatu keharusan
bagi setiap muslim yang mencintai beliau saw. Sebab kata tersebut
menunjukkan kemuliaan martabat dan ketinggian kedudukan beliau. Allah
swt.memerintahkan ummat Islam supaya menjunjung tinggi martabat
Rasulallah saw., menghormati dan memuliakan beliau, bahkan melarang kita
memanggil atau menyebut nama beliau dengan cara sebagaimana kita
menyebut nama orang diantara sesama kita. Larangan tersebut tidak
berarti lain kecuali untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan Rasulallah
saw. Allah swt.berfirman :
“Janganlah kalian memanggil Rasul (Muhammad) seperti kalian memanggil sesama orang diantara kalian”. (S.An-Nur : 63).
Dalam tafsirnya mengenai ayat diatas ini Ash-Shawi
mengatakan: Makna ayat itu ialah janganlah kalian memanggil atau
menyebut nama Rasulallah saw. cukup dengan nama beliau saja, seperti Hai
Muhammad atau cukup dengan nama julukannya saja Hai Abul Qasim.
Hendaklah kalian menyebut namanya atau memanggilnya dengan penuh hormat,
dengan menyebut kemuliaan dan keagungannya. Demikianlah yang dimaksud
oleh ayat tersebut diatas. Jadi, tidak patut bagi kita menyebut nama
beliau saw.tanpa menunjukkan penghormatan dan pemuliaan kita kepada
beliau saw., baik dikala beliau masih hidup didunia maupun setelah
beliau kembali keharibaan Allah swt. Yang sudah jelas ialah bahwa orang
yang tidak mengindahkan ayat tersebut berarti tidak mengindahkan
larangan Allah dalam Al-Qur’an. Sikap demikian bukanlah sikap orang
beriman.
Menurut Ibnu Jarir,
dalam menafsirkan ayat tersebut Qatadah mengatakan : Dengan ayat itu
(An-Nur:63) Allah memerintahkan ummat Islam supaya memuliakan dan
mengagungkan Rasulallah saw.
Dalam kitab Al-Iklil Fi Istinbathit-Tanzil Imam
Suyuthi mengatakan: Dengan turunnya ayat tersebut Allah melarang ummat
Islam menyebut beliau saw. atau memanggil beliau hanya dengan namanya,
tetapi harus menyebut atau memanggil beliau dengan Ya Rasulallah atau Ya
Nabiyullah. Menurut kenyataan sebutan atau panggilan demikian itu tetap berlaku, kendati beliau telah wafat.
Dalam kitab Fathul-Bari
syarh Shahihil Bukhori juga terdapat penegasan seperti tersebut diatas,
dengan tambahan keterangan sebuah riwayat berasal dari Ibnu ‘Abbas ra.
yang diriwayatkan oleh Ad-Dhahhak, bahwa sebelum ayat tersebut turun
kaum Muslimin memanggil Rasulallah saw. hanya dengan Hai Muhammad, Hai Ahmad, Hai Abul-Qasim
dan lain sebagainya. Dengan menurunkan ayat itu Allah swt. melarang
mereka menyebut atau memanggil Rasulallah saw. dengan ucapan-ucapan
tadi. Mereka kemudian menggantinya dengan kata-kata : Ya Rasulallah, dan Ya Nabiyullah.
Hampir
seluruh ulama Islam dan para ahli Fiqih berbagai madzhab mempunyai
pendapat yang sama mengenai soal tersebut, yaitu bahwa mereka semuanya melarang orang menggunakan sebutan atau panggilan sebagaimana yang dilakukan orang sebelum ayat tersebut diatas turun.
Didalam
Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan makna tersebut
diatas. Antara lain firman Allah swt. dalam surat Al-A’raf : 157 ;
Al-Fath : 8-9, Al-Insyirah : 4 dan lain sebagainya. Dalam ayat-ayat ini
Allah swt. memuji kaum muslimin yang bersikap hormat dan memuliakan
Rasulallah saw., bahkan menyebut mereka sebagai orang-orang yang
beruntung. Juga firman Allah swt. mengajarkan kepada kita tatakrama yang
mana dalam firman-Nya tidak pernah memanggil atau menyebut Rasul-Nya
dengan kalimat Hai Muhammad, tetapi memanggil beliau dengan kalimat Hai Rasul atau Hai Nabi.
Firman-firman
Allah swt. tersebut cukup gamblang dan jelas membuktikan bahwa Allah
swt. mengangkat dan menjunjung Rasul-Nya sedemikian tinggi, hingga layak
disebut sayyidina atau junjungan kita Muhammad Rasulallah saw.
Menyebut nama beliau saw. tanpa diawali dengan kata yang menunjuk- kan
penghormatan, seperti sayyidina tidak sesuai dengan pengagungan yang selayaknya kepada kedudukan dan martabat beliau.
Dalam surat Aali-‘Imran:39 Allah swt. menyebut Nabi Yahya as. dengan predikat sayyid :
“…Allah memberi kabar gembira kepadamu (Hai Zakariya) akan kelahiran seorang puteramu, Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang dari) Allah, seorang sayyid (terkemuka, panutan), (sanggup) menahan diri (dari hawa nafsu) dan Nabi dari keturunan orang-orang sholeh”.
Para penghuni neraka pun menyebut orang-orang yang menjerumuskan mereka dengan istilah saadat (jamak dari kata sayyid), yang berarti para pemimpin. Penyesalan mereka dilukiskan Allah swt.dalam firman-Nya :
“Dan mereka (penghuni neraka) berkata : ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati para pemimpin (sadatanaa) dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar”. (S.Al-Ahzab:67).
Juga seorang suami dapat disebut dengan kata sayyid, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah swt. dalam surat Yusuf : 25 :
“Wanita itu menarik qamis (baju) Yusuf dari belakang hingga koyak, kemudian kedua-duanya memergoki sayyid (suami) wanita itu didepan pintu”. Dalam kisah ini yang dimaksud suami ialah raja Mesir.
Demikian juga kata Maula yang
berarti pengasuh, penguasa, penolong dan lain sebagainya. Banyak
terdapat didalam Al-Qur’anul-Karim kata-kata ini, antara lain dalam
surat Ad-Dukhan: 41 Allah berfirman :
“…Hari (kiamat) dimana seorang maula (pelindung) tidak dapat memberi manfaat apa pun kepada maula (yang dilindunginya) dan mereka tidak akan tertolong”.
Juga dalam firman Allah swt. dalam Al-Maidah : 55 disebutkan juga kalimat Maula untuk Allah swt., Rasul dan orang yang beriman.
Jadi
kalau kata sayyid itu dapat digunakan untuk menyebut Nabi Yahya putera
Zakariya, dapat digunakan untuk menyebut raja Mesir, bahkan dapat juga
digunakan untuk menyebut pemimpin yang semuanya itu menunjuk kan kedudukan seseorangalasan apa yang dapat digunakan untuk menolak sebutan sayyid bagi junjungan kita Nabi Muhammad saw.
Demikian pula soal penggunaan kata maula . Apakah bid’ah jika seorang menyebut nama seorang Nabi yang diimani dan dicintainya dengan awalan sayyidina atau maulana ?!
Mengapa
orang yang menyebut nama seorang pejabat tinggi pemerintahan, kepada
para president, para raja atau menteri, atau kepada diri seseorang
dengan awalan ‘Yang Mulia’ tidak dituduh berbuat bid’ah ? Tidak salah kalau ada orang yang mengatakan, bahwa sikap menolak penggunaan kata sayyid atau maula untuk mengawali penyebutan nama Rasulallah saw. itu sesungguhnya dari pikiran meremehkan kedudukan dan martabat beliau saw. Atau sekurang-kurang hendak menyamakan kedudukan dan martabat beliau saw. dengan manusia awam/biasa.
Sebagaimana
kita ketahui, dewasa ini masih banyak orang yang menyebut nama
Rasulallah saw. tanpa diawali dengan kata sayyidina dan tanpa
dilanjutkan dengan kalimat sallahu ‘alaihi wasallam (saw). Menyebut nama
Rasulallah dengan cara demikian menunjukkan sikap tak kenal hormat pada
diri orang yang bersangkutan. Cara demikian itu lazim dilakukan oleh
orang-orang diluar Islam, seperti kaum orientalis barat dan lain
sebagainya. Sikap kaum orientalis ini tidak boleh kita tiru.
Banyak hadits-hadits shohih yang menggunakan kata sayyid, beberapa diantaranya ialah :
“Setiap anak Adam adalah sayyid. Seorang suami adalah sayyid bagi isterinya dan seorang isteri adalah sayyidah bagi keluarganya (rumah tangga nya)”. (HR Bukhori dan Adz-Dzahabi).
Jadi
kalau setiap anak Adam saja dapat disebut sayyid, apakah anak Adam yang
paling tinggi martabatnya dan paling mulia kedudukannya disisi Allah yaitu junjungan kita Nabi Muhammad saw. tidak boleh disebut sayyid ?
Didalam
shohih Muslim terdapat sebuah hadits, bahwasanya Rasulallah saw.
memberitahu para sahabatnya, bahwa pada hari kiamat kelak Allah swt.
akan menggugat hamba-hambaNya : “Bukankah engkau telah Ku-muliakan dan Ku-jadikan sayyid ?” (alam ukrimuka wa usawwiduka?)
Makna
hadits itu ialah, bahwa Allah swt. telah memberikan kemuliaan dan
kedudukan tinggi kepada setiap manusia. Kalau setiap manusia dikarunia
kemuliaan dan kedudukan tinggi, apakah manusia pilihan Allah yang diutus
sebagai Nabi dan Rasul tidak jauh lebih mulia dan lebih tinggi
kedudukan dan martabatnya daripada manusia lainnya ? Kalau
manusia-manusia biasa saja dapat disebut sayyid , mengapa Rasulallah saw. tidak boleh disebut sayyid atau maula ?
Dalil-dalil orang yang membantah dan jawabannya
– Ada sementara orang terkelabui oleh pengarang hadits palsu yang berbunyi: “Laa tusayyiduunii fis-shalah”
artinya “Jangan menyebutku (Nabi Muhammad saw) sayyid didalam sholat”.
Tampaknya pengarang hadits palsu yang mengatas namakan Rasulallah saw.
untuk mempertahankan pendiriannya itu lupa atau memang tidak mengerti bahwa didalam bahasa Arab tidak pernah terdapat kata kerja tusayyidu. Tidak ada kemungkinan sama sekali Rasulallah saw.mengucapkan kata-kata dengan bahasa Arab gadungan seperti yang dilukiskan oleh pengarang hadits palsu tersebut. Dilihat dari segi bahasanya saja, hadits itu tampak jelas kepalsuannya. Namun untuk lebih kuat membuktikan kepalsuan hadits tersebut baiklah kami kemukakan beberapa pendapat yang dinyatakan oleh para ulama.
Dalam kitab Al-Hawi ,
atas pertanyaan mengenai hadits tersebut Imam Jalaluddin As-Suyuthi
menjawab tegas : “Tidak pernah ada (hadits tersebut), itu bathil !”.
Imam Al-Hafidz As-Sakhawi dalam kitab Al-Maqashidul-Al-Hasanah menegaskan : “ Hadits itu tidak karuan sumbernya ! “
Imam
Jalaluddin Al-Muhli, Imam As-Syamsur-Ramli, Imam Ibnu Hajar
Al-Haitsami, Imam Al-Qari, para ahli Fiqih madzhab Sayfi’i dan madzhab
Maliki dan lain-lainnya, semuanya mengatakan : “Hadits itu sama sekali
tidak benar”.
– Selain hadits palsu diatas tersebut, masih ada hadits palsu lainnya yang semakna, yaitu yang berbunyi : “La tu’adzdzimuunii fil-masjid” artinya ; “Jangan mengagungkan aku (Nabi Muhammad saw.) di masjid”.
Dalam kitab Kasyful Khufa Imam Al-Hafidz Al-‘Ajluni dengan tegas mengata- kan: “Itu bathil !”. Demikian pula Imam As-Sakhawi dalam kitab Maulid-nya yang berjudul Kanzul-‘Ifah menyatakan tentang hadits ini: “Kebohongan yang diada-adakan”.
Memang masuk akal kalau ada orang yang berkata seperti itu yakni jangan mengagungkan aku di masjid kepada para hadirin didalam masjid, sebab ucapannya itu merupakan tawadhu’ (rendah hati). Akan tetapi kalau dikatakan bahwa perkataan tersebut diucapkan oleh Rasulallah saw. atau sebagai hadits beliau saw., jelas hal itu suatu pemalsuan yang terlampau berani.
Mari kita lanjutkan tentang hadits-hadits yang menggunakan kata sayyid berikut ini:
– Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dalam Shohihnya bahwa Rasulallah saw.bersabda : “Aku sayyid anak Adam…”
. Jelaslah bahwa kata sayyid dalam hal ini berarti pemimpin ummat,
orang yang paling terhormat dan paling mulia dan paling sempurna dalam
segala hal sehingga dapat menjadi panutan serta teladan bagi ummat yang
dipimpinnya.
Ibnu ‘Abbas ra mengatakan, bahwa makna sayyid dalam hadits tersebut ialah orang yang paling mulia disisi Allah. Qatadah ra. mengatakan, bahwa Rasulallah saw. adalah seorang sayyid yang tidak pernah dapat dikalahkan oleh amarahnya.
– Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Majah dan At-Turmudzi, Rasulallah saw. bersabda :
“Aku adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat”.
Surmber riwayat lain yang diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal,
Imam Bukhori dan Imam Muslim, mengatakan bahwa Rasulallah saw. bersabda :
“Aku sayyid semua manusia pada hari kiamat”.
Hadit tersebut diberi makna oleh Rasulallah saw. sendiri dengan penjelas- annya: ‘Pada hari kiamat, Adam dan para Nabi keturunannya berada dibawah panjiku”.
Sumber riwayat lain mengatakan lebih tegas lagi, yaitu bahwa Rasulallah saw. bersabda : “Aku sayyid dua alam”.
– Riwayat yang berasal dari Abu Nu’aim sebagaimana tercantum didalam kitab Dala’ilun-Nubuwwah mengatakan bahwa Rasulallah saw. bersabda : “Aku sayyid kaum Mu’minin pada saat mereka dibangkitkan kembali (pada hari kiamat)”.
– Hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Khatib mengatakan, bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Aku Imam kaum muslimin dan sayyid kaum yang bertaqwa”.
– Sebuah hadits yang dengan terang mengisyaratkan keharusan menyebut nama Rasulallah saw. diawali dengan kata sayyidina diketengahkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Hadits yang mempunyai isnad shohih ini berasal dari Jabir bin ‘Abdullah ra. yang mengatakan sebagai berikut:
“Pada
suatu hari kulihat Rasulallah saw. naik keatas mimbar. Setelah
memanjatkan puji syukur kehadirat Allah saw. beliau bertanya : ‘Siapakah aku ini ?’ Kami menyahut: Rasulallah ! Beliau bertanya lagi: ‘Ya, benar, tetapi siapakah aku ini ?’. Kami menjawab : Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul-Mutthalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf ! Beliau kemudian menyatakan : ‘Aku sayyid anak Adam….’.”
Riwayat
hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa Rasulallah saw. lebih suka
kalau para sahabatnya menyebut nama beliau dengan kata sayyid. Dengan
kata sayyid itu menunjukkan perbedaan kedudukan beliau dari kedudukan
para Nabi dan Rasul terdahulu, bahkan dari semua manusia sejagat.
Semua
hadits tersebut diatas menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulallah saw.
adalah sayyid anak Adam, sayyid kaum muslimin, sayyid dua alam
(al-‘alamain), sayyid kaum yang bertakwa. Tidak diragukan lagi bahwa
menggunakan kata sayyidina untuk mengawali penyebutan nama Rasulallah
saw. merupakan suatu yang dianjurkan bagi setiap muslim yang mencintai
beliau saw.
– Demikian pula soal kata Maula, Imam Ahmad bin Hanbal di dalam Musnad nya, Imam Turmduzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah mengetengahkan sebuah hadits, bahwa Rasulallah saw. bersabda :
“Man kuntu maulahu fa ‘aliyyun maulahu” artinya : “Barangsiapa aku menjadi maula-nya (pemimpinnya). ‘Ali (bin Abi Thalib) adalah maula-nya…”
– Dari hadits semuanya diatas tersebut kita pun mengetahui dengan jelas bahwa Rasulallah saw. adalah sayyidina dan maulana
(pemimpin kita). Demikian juga para ahlu-baitnya (keluarganya), semua
adalah sayyidina. Al-Bukhori meriwayatkan bahwa Rasulallah saw. pernah
berkata kepada puteri beliau, Siti Fathimah ra :
“Yaa Fathimah amaa tardhiina an takuunii sayyidata nisaail mu’minin au sayyidata nisaai hadzihil ummati” artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum mu’minin (kaum orang-orang yang beriman) atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?”
– Dalam
shohih Muslim hadits tersebut berbunyi: “Yaa Fathimah amaa tardhiina an
takuunii sayyidata nisaail mu’mininat au sayyidata nisaai hadzihil
ummati” artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah mu’mininat (kaum wanitanya orang-orang yang beriman) atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?”
– Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad, Rasulallah saw. berkata kepada puterinya (Siti Fathimah ra) :
“Amaa tardhiina an takuunii sayyidata sayyidata nisaa hadzihil ummati au nisaail ‘Alamina” artinya : “…Apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum wanita ummat ini, atau sayyidah kaum wanita sedunia ?”
Demikianlah pula halnya terhadap dua orang cucu Rasulallah saw. Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma. Imam
Bukhori dan At-Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits yang berisnad shohih
bahwa pada suatu hari Rasulallah saw. bersabda : “Al-Hasanu wal Husainu
sayyida asybaabi ahlil jannati” artinya : “Al-Hasan dan Al-Husain dua orang sayyid pemuda ahli surga”.
Berdasarkan hadits-hadits diatas itu kita menyebut puteri Rasulallah saw. Siti Fathimah Az-Zahra dengan kata awalan sayyidatuna. Demikianlah pula terhadap dua orang cucu Rasulallah saw. Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma.
– Ketika
Sa’ad bin Mu’adz ra. diangkat oleh Rasulallah saw. sebagai penguasa
kaum Yahudi Bani Quraidah (setelah mereka tunduk kepada kekuasaan kaum
muslimin), Rasulallah saw. mengutus seorang memanggil Sa’ad supaya
datang menghadap beliau. Sa’ad datang berkendaraan keledai, saat itu
Rasulallah saw. berkata kepada orang-orang yang hadir: “Guumuu ilaa
sayyidikum au ilaa khoirikum” artinya : “Berdirilah menghormati sayyid (pemimpin) kalian, atau orang terbaik diantara kalian”.
Rasulallah saw. menyuruh mereka berdiri bukan karena Sa’ad dalam keadaan sakit sementara fihak menafsirkan mereka disuruh berdiri untuk menolong Sa’ad turun dari keledainya, karena dalam keadaan sakit sebab jika Sa’ad dalam keadaan sakit, tentu Rasulallah saw. tidak menyuruh mereka semua menghormat kedatangan Sa’ad, melainkan menyuruh beberapa orang saja untuk berdiri menolong Sa’ad.
Sekalipun
–misalnya– Rasulallah saw. melarang para sahabatnya berdiri menghormati
beliau saw, tetapi beliau sendiri malah memerintahkan mereka supaya
berdiri menghormati Sa’ad bin Mu’adz, apakah artinya ? Itulah tatakrama Islam. Kita harus dapat memahami apa yang dikehendaki oleh Rasulallah saw. dengan larangan dan perintahnya mengenai
soal yang sama itu. Tidak ada ayah, ibu , kakak dan guru yang secara
terang-terangan minta dihormati oleh anak, adik dan murid, akan tetapi
si anak, si adik dan si murid harus merasa dirinya wajib
menghormati ayahnya, ibunya, kakaknya dan gurunya. Demikian juga
Rasulallah saw. sekalipun beliau menyadari kedudukan dan martabatnya
yang sedemikian tinggi disisi Allah swt, beliau tidak menuntut supaya ummatnya memuliakan dan mengagung-agungkan beliau. Akan tetapi kita, ummat Rasulallah saw., harus merasa wajib menghormati, memuliakan dan mengagungkan beliau saw.
Allah swt. berfirman dalam Al-Ahzab: 6 : “Bagi orang-orang yang beriman, Nabi (Muhammad saw.) lebih utama daripada diri mereka sendiri, dan para isterinya adalah ibu-ibu mereka”.
Ibnu
‘Abbas ra. menyatakan: Beliau adalah ayah mereka’ yakni ayah semua
orang beiman! Ayat suci diatas ini jelas maknanya, tidak memerlukan
penjelasan apa pun juga, bahwa Rasulallah saw. lebih utama dari semua
orang beriman dan para isteri beliau wajib dipandang sebagai ibu-ibu seluruh ummat Islam ! Apakah setelah keterangan semua diatas ini orang yang menyebut nama beliau dengan tambahan kata awalan sayyidina atau maulana pantas dituduh berbuat bid’ah? Semoga Allah swt. memberi hidayah kepada kita semua. Amin
–
Ibnu Mas’ud ra. mengatakan kepada orang-orang yang menuntut ilmu
kepadanya: “Apabila kalian mengucapkan shalawat Nabi hendaklah kalian
mengucapkan shalawat dengan sebaik-baiknya. Kalian tidak tahu bahwa
sholawat itu akan disampaikan kepada beliau saw., karena itu ucapkanlah :
‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu, rahmat-Mu dan berkah-Mu kepada Sayyidul-Mursalin (pemimpin para Nabi dan Rasulallah) dan Imamul-Muttaqin (Panutan orang-orang bertakwa)”
– Para sahabat Nabi juga menggunakan kata sayyid untuk saling menyebut nama masing-masing, sebagai tanda saling hormat-menghormati dan harga-menghargai. Didalam Al-Mustadrak
Al-Hakim mengetengahkan sebuah hadits dengan isnad shohih, bahwa “Abu
Hurairah ra. dalam menjawab ucapan salam Al-Hasan bin ‘Ali ra. selalu
mengatakan “Alaikassalam ya sayyidi”. Atas pertanyaan seorang sahabat ia menjawab: ‘Aku mendengar sendiri Rasulallah saw. menyebutnya (Al-Hasan ra.) sayyid’ “.
– Ibnu ‘Athaillah dalam bukunya Miftahul-Falah mengenai
pembicaraannya soal sholawat Nabi mewanti-wanti pembacanya sebagai
berikut: “Hendak- nya anda berhati-hati jangan sampai meninggalkan
lafadz sayyidina dalam bersholawat, karena didalam lafadz itu
terdapat rahasia yang tampak jelas bagi orang yang selalu
mengamalkannya”. Dan masih banyak lagi wejangan para ulama pakar cara
sebaik-baiknya membaca sholawat pada Rasulallah saw. yang tidak
tercantum disini.
Nah,
kiranya cukuplah sudah uraian diatas mengenai penggunaan kata sayyidina
atau maulana untuk mengawali penyebutan nama Rasulallah saw.. Setelah
orang mengetahui banyak hadits Nabi yang menerangkan persoalan itu yakni
menggunakan kata awalan sayyid, apakah masih ada yang
bersikeras tidak mau menggunakan kata sayyidina dalam menyebut nama
beliau saw.?, dan apanya yang salah dalam hal ini ?
Apakah
orang yang demikian itu hendak mengingkari martabat Rasulallah saw.
sebagai Sayyidul-Mursalin (penghulu para Rasulallah) dan Habibu
Rabbil-‘alamin (Kesayangan Allah Rabbul ‘alamin) ?
Bagaimana tercelanya orang yang berani membid’ahkan
penyebutan sayyidina atau maulana dimuka nama beliau saw.? Yang lebih
aneh lagi sekarang banyak diantara golongan pengingkar ini sendiri yang
memanggil nama satu sama lain diawali dengan sayyid atau minta juga agar
mereka dipanggil sayyid dimuka nama mereka !
10.Penggunaan Tasbih bukanlah bid’ah sesat.
Sering
yang kita dengar dari golongan muslimin diantaranya dari madzhab
Wahabi/Salafi dan pengikutnya yang melarang orang menggunakan Tasbih waktu berdzikir. Sudah tentu sebagaimana kebiasaan golongan ini alasan mereka melarang dan sampai-sampai berani membid’ahkan sesat karena menurut paham mereka bahwa Rasulallah saw. para sahabat tidak ada yang menggunakan tasbih waktu berdzikir !
‘Tasbih’ atau yang dalam bahasa Arab disebut dengan nama ‘Subhah’
adalah butiran-butiran yang dirangkai untuk menghitung jumlah banyaknya
dzikir yang diucapkan oleh seseorang, dengan lidah atau dengan hati.
Dalam bahasa Sanskerta kuno, tasbih disebut dengan nama Jibmala yang berarti hitungan dzikir.
Orang berbeda pendapat mengenai asal-usul
penggunaan tasbih. Ada yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari orang
Arab, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari India
yaitu dari kebiasaan orang-orang Hindu. Ada pula orang yang mengatakan
bahwa pada mulanya kebiasaan memakai tasbih dilakukan oleh kaum Brahmana
di India. Setelah Budhisme lahir, para biksu Budha menggunakan tasbih
menurut hitungan Wisnuisme, yaitu 108 butir. Ketika Budhisme menyebar
keberbagai negeri, para rahib Nasrani juga menggunakan tasbih, meniru
biksu-biksu Budha. Semuanya ini terjadi pada zaman sebelum islam.
Kemudian
datanglah Islam, suatu agama yang memerintahkan para pemeluk nya untuk
berdzikir (ingat) juga kepada Allah swt. sebagai salah satu bentuk
peribadatan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.. Perintah dzikir
bersifat umum, tanpa pembatasan jumlah tertentu dan tidak terikat juga
oleh keadaan-keadaan tertentu. Banyak sekali firman Allah swt. dalam
Al-Qur’an agar orang banyak berdzikir dalam setiap keadaan atau situasi,
umpama berdzikir sambil berdiri, duduk, berbaring dan lain sebagainya.
Sehubungan
dengan itu terdapat banyak hadits yang menganjurkan jumlah dan waktu
berdzikir, misalnya seusai sholat fardhu yaitu tiga puluh tiga kali
dengan ucapan Subhanallah, tiga puluh tiga kali Alhamdulillah dan tiga puluh tiga kali Allahu Akbar, kemudian dilengkapi menjadi seratus dengan ucapan kalimat tauhid ‘Laa ilaaha illallahu wahdahu….’.
Kecuali itu terdapat pula hadits-hadits lain yang menerangkan keutamaan
berbagai ucapan dzikir bila disebut sepuluh atau seratus kali. Dengan
adanya hadits-hadits yang menetapkan jumlah dzikir seperti itu maka
dengan sendirinya orang yang berdzikir perlu mengetahui jumlahnya yang
pasti.
Hadits-hadits yang berkaitan dengan cara menghitung dzikir
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Al-Hakim berasal dari Ibnu Umar ra. yang mengatakan:
“Rasulallah
saw. menghitung dzikirnya dengan jari-jari dan menyarankan para
sahabatnya supaya mengikuti cara beliau saw.”. Para Imam ahli hadits
tersebut juga meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Bisrah, seorang wanita dari kaum Muhajirin, yang mengatakan bahwa Rasulallah saw. pernah berkata:
“Hendaklah kalian senantiasa bertasbih (berdzikir),
bertahlil dan bertaqdis (yakni berdzikir dengan menyebut ke–Esa-an dan
ke-Suci-an Allah swt.). Janganlah kalian sampai lupa hingga kalian akan
melupakan tauhid. Hitunglah dzikir kalian dengan jari, karena jari-jari
kelak akan ditanya oleh Allah dan akan diminta berbicara” .
Perhatikanlah: Anjuran menghitung dengan jari dalam hadits itu tidak berarti melarang
orang menghitung dzikir dengan cara lain !!!. Untuk mengharamkan atau
memunkarkan suatu amalan haruslah mendatangkan nash yang khusus tentang
itu, tidak seenaknya sendiri saja!!
Imam Tirmidzi, Al-Hakim dan Thabarani meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Shofiyyah yang mengatakan: “Bahwa pada suatu saat Rasulallah saw. datang kerumahnya. Beliau melihat empat ribu butir biji kurma yang biasa digunakan oleh Shofiyyah untuk menghitung dzikir. Beliau saw. bertanya; ‘Hai binti Huyay, apakah itu ?‘ Shofiyyah menjawab ; ‘Itulah yang kupergunakan untuk menghitung dzikir’. Beliau saw. berkata lagi; ‘Sesungguhnya engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu’. Shofiyyah menyahut; ‘Ya Rasulallah, ajarilah aku’. Rasulallah saw. kemudian berkata; ‘Sebutlah, Maha Suci Allah sebanyak ciptaan-Nya’ ”. (Hadits shohih).
Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang dinilai sebagai hadits hasan/baik oleh An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim yaitu hadits yang berasal dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra. yang mengatakan:
“Bahwa pada suatu hari Rasulallah saw. singgah dirumah seorang wanita. Beliau melihat banyak batu kerikil yang biasa dipergunakan oleh wanita itu untuk menghitung dzikir. Beliau bertanya; ‘Maukah engkau kuberitahu cara yang lebih mudah dari itu dan lebih afdhal/utama ?’ Sebut sajalah kalimat-kalimat sebagai berikut :
‘Subhanallahi
‘adada maa kholaga fis samaai, subhanallahi ‘adada maa kholaga fil
ardhi, subhanallahi ‘adada maa baina dzaalika, Allahu akbaru mitslu
dzaalika, wal hamdu lillahi mitslu dzaalika, wa laa ilaaha illallahu
mitslu dzaalika wa laa guwwata illaa billahi mitslu dzaalika’ ”.
Yang
artinya : ‘Maha suci Allah sebanyak makhluk-Nya yang dilangit, Maha
suci Allah sebanyak makhluk-Nya yang dibumi, Maha suci Allah sebanyak
makhluk ciptaan-Nya. (sebutkan juga) Allah Maha Besar, seperti tadi,
Puji syukur kepada Allah seperti tadi, Tidak ada Tuhan selain Allah,
seperti tadi dan tidak ada kekuatan kecuali dari Allah, seperti tadi !’
“.
Lihat dua hadits diatas ini, Rasulallah saw. melihat Shofiyyah menggunakan biji kurma untuk menghitung dzikirnya, beliau saw. tidak melarangnya atau tidak mengatakan bahwa dia harus berdzikir dengan jari-jarinya, malah beliau saw. berkata kepadanya engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu !! Begitu juga beliau saw. tidak melarang seorang wanita lainnya yang menggunakan batu kerikil untuk menghitung dzikirnya dengan kata lain beliau saw. tidak mengatakan kepada wanita itu, buanglah batu kerikil itu dan hitunglah dzikirmu dengan jari-jarimu !
Beliau
saw. malah mengajarkan kepada mereka berdua bacaan-bacaan yang lebih
utama dan lebih mudah dibaca. Sedangkan berapa jumlah dzikir yang harus
dibaca, tidak ditentukan oleh Rasulallah saw. jadi terserah kemampuan
mereka.
Banyak riwayat bahwa para sahabat Nabi saw. dan kaum salaf yang sholeh pun menggunakan biji kurma, batu-batu kerikil, bundelan-bundelan benang
dan lain sebagainya untuk menghitung dzikir yang dibaca. Ternyata tidak
ada orang yang menyalahkan atau membid’ahkan sesat mereka !!
Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnadnya meriwayatkan bahwa seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Shofiyyah menghitung dzikirnya dengan batu-batu kerikil. Riwayat ini dikemukakan juga oleh Imam Al-Baihaqi dalam Mu’jamus Shahabah; ”‘bahwa Abu Shofiyyah, maula Rasulallah saw. menghamparkan selembar kulit kemudian mengambil sebuah kantong berisi batu-batu kerikil,
lalu duduk berdzikir hingga tengah hari. Setelah itu ia
menyingkirkannya. Seusai sholat dhuhur ia mengambilnya lagi lalu
berdzikir hingga sore hari “.
Abu Dawud meriwayatkan; ‘bahwa Abu Hurairah ra. mempunyai sebuah kantong berisi batu kerikil.
Ia duduk bersimpuh diatas tempat tidurnya ditunggui oleh seorang hamba
sahaya wanita berkulit hitam. Abu Hurairah berdzikir dan menghitungnya
dengan batu-batu kerikil yang berada dalam kantong itu. Bila batu-batu
itu habis dipergunakan, hamba sahayanya menyerahkan kembali batu-batu
kerikil itu kepadanya’.
Abu Syaibah juga mengutip hadits ‘Ikrimah yang mengatakan; ‘bahwa Abu Hurairah mempunyai seutas benang dengan bundelan seribu buah. Ia baru tidur setelah berdzikir dua belas ribu kali’.
Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya bab Zuhud mengemukakan; ‘bahwa Abu Darda ra. mempunyai sejumlah biji kurma yang disimpan dalam kantong. Usai sholat shubuh biji kurma itu dikeluarkan satu persatu untuk menghitung dzikir hingga habis’.
Abu Syaibah juga mengatakan; ‘bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash ra menghitung dzikirnya dengan batu kerikil atau biji kurma. Demikian pula Abu Sa’id Al-Khudri ’.
Dalam kitab Al-Manahil Al-Musalsalah Abdulbaqi
mengetengahkan sebuah riwayat yang mengatakan; ‘bahwa Fathimah binti
Al-Husain ra mempunyai benang yang banyak bundelannya untuk menghitung
dzikir ’.
Dalam kitab Al-Kamil , Al-Mubarrad mengatakan; “bahwa ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas ra (wafat th 110 H) mempunyai lima ratus butir biji zaitun. Tiap hari ia menghitung raka’at-raka’at sholat sunnahnya dengan biji itu, sehingga banyak orang yang menyebut namanya dengan ‘Dzu Nafatsat’ “.
Abul Qasim At-Thabari dalam kitab Karamatul-Auliya mengatakan: ‘Banyak sekali orang-orang keramat yang menggunakan tasbih untuk menghitung dzikir, antara lain Syeikh Abu Muslim Al-Khaulani dan lain-lain’.
Menurut
riwayat bentuk tasbih yang kita kenal pada zaman sekarang ini baru
dipergunakan orang mulai abad ke 2 Hijriah. Ketika itu nama ‘tasbih’
belum digunanakan untuk menyebut alat penghitung dzikir. Hal itu
diperkuat oleh Az-Zabidi yang mengutip keterangan dari gurunya didalam kitab Tajul-‘Arus .
Sejak masa itu tasbih mulai banyak dipergunakan orang dimana-mana. Pada
masa itu masih ada beberapa ulama yang memandang penggunaan tasbih
untuk menghitung dzikir sebagai hal yang kurang baik. Oleh karena itu
tidak aneh kalau ada orang yang pernah bertanya pada seorang Waliyullah
yang bernama Al-Junaid: ‘Apakah orang semulia anda mau memegang tasbih ?. Al-Junaid menjawab: ‘Jalan yang mendekatkan diriku kepada Allah swt. tidak akan kutinggalkan’.(Ar-Risalah Al-Qusyariyyah).
Sejak abad ke 5 Hijriah penggunaan tasbih makin meluas dikalangan kaum muslimin, termasuk kaum wanitanya yang tekun beribadah. Tidak ada berita riwayat, baik yang berasal dari kaum Salaf maupun dari kaum Khalaf (generasi muslimin berikutnya) yang menyebutkan adanya larangan penggunaan tasbih, dan tidak ada pula yang memandang penggunaan tasbih sebagai perbuatan munkar!!
Pada
zaman kita sekarang ini bentuk tasbih terdiri dari seratus buah butiran
atau tiga puluh tiga butir, sesuai dengan jumlah banyaknya dzikir yang
disebut-sebut dalam hadits-hadits shohih. Bentuk tasbih ini malah lebih praktis dan mudah dibandingkan pada masa zaman nya Rasulallah saw. dan masa sebelum abad kedua Hijriah. Begitu juga untuk menghitung jumlah dzikir agama Islam tidak menetapkan cara tertentu. Hal itu diserahkan kepada masing-masing orang yang berdzikir.
Cara apa saja untuk menghitung bacaan dzikir itu asalkan bacaan dan alat menghitung yang tidak yang dilarang menurut Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw..
itu mustahab/baik untuk diamalkan. Berdasarkan riwayat-riwayat hadits
yang telah dikemukakan diatas jelaslah, bahwa menghitung dzikir bukan
dengan jari adalah sah/boleh. Begitu juga benda apa pun yang digunakan sebagai tasbih untuk menghitung dzikir, tidak bisa lain, orang tetap menggunakan tangan atau jarinya juga,
bukan menggunakan kakinya!! Dengan demikian jari-jari ini juga
digunakan untuk kebaikan !! Malah sekarang banyak kita para ulama pakar
maupun kaum muslimin lainnya sering menggunakan tasbih bila berdzikir.
Jadi
masalah menghitung dengan butiran-butiran tasbih sesungguhnya tidak
perlu dipersoalkan, apalagi kalau ada orang yang menganggapnya sebagai ‘bid’ah dholalah’. Yang perlu kita ketahui ialah : Manakah yang lebih baik, menghitung dzikir dengan jari tanpa menggunakan tasbih ataukah dengan menggunakan tasbih ?
Menurut Ibnu ‘Umar ra. menghitung dzikir dengan jari (daripada dengan batu kerikil, biji kurma dll) lebih afdhal/utama. Akan tetapi
Ibnu ‘Umar juga mengatakan jika orang yang berdzikir tidak akan salah
hitung dengan menggunakan jari, itulah yang afdhal. Jika tidak demikian
maka mengguna- kan tasbih lebih afdhal.
Perlu juga diketahui, bahwa menghitung dzikir dengan tasbih disunnahkan menggunakan tangan kanan,
yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Salaf. Hal itu disebut dalam
hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lain-lain. Dalam
soal dzikir yang paling penting dan wajib diperhatikan baik-baik ialah
kekhusyu’an, apa yang diucapkan dengan lisan juga dalam hati
mengikutinya. Maksudnya bila lisan mengucapkan Subhanallah maka dalam
hati juga memantapkan kata-kata yang sama yaitu Subhanallah. Allah
swt. melihat apa yang ada didalam hati orang yang berdzikir, bukan
melihat kepada benda (tasbih) yang digunakan untuk menghitung dzikir!! Wallahu a’lam.
Insya
Allah dengan keterangan singkat ini, para pembaca bisa menilai sendiri
apakah benar yang dikatakan golongan pengingkar bahwa penggunaan Tasbih
adalah munkar, bid’ah dholalah/sesat dn lain sebagainya ??? Semoga Allah
swt. memberi hidayah kepada semua kaum muslimin. Amin.
Semoga
dengan keterangan sebelumnya mengenai akidah golongan Wahabi/Salafi
serta pengikutnya dan keterangan bid’ah yang singkat ini insya-Allah
bisa membuka hati kita masing-masing agar tidak mudah mensesatkan,
mengkafirkan dan sebagainya pada saudara muslim kita sendiri yang sedang
melakukan ritual-ritual Islam begitu juga yang berlainan madzhab dengan
madzhab kita.
Buku baru yang berjudul Telaah kritis atas doktrin faham Salafi/ Wahabi
belum beredar merata pada toko-toko buku di Indonesia. Bagi peminat
bisa langsung hubungi toko-toko di jalan Sasak. Surabaya-Indonesia.
11.Bagaimana
hukum menyuguhkan makanan baik kepada para jamaah yang datang
membacakan tahlil bagi si mayit maupun bagi para pentakziah?
Ada
dua pendapat di kalangan ulama berkaitan dengan hukum menyuguhkan
makanan dari pihak keluarga si mayit kepada para jamaah tahlilan maupun
orang-orang yang datang bertakziyah.
a. Pendapat yang menyatakan makruh atau haram. Hal ini didasarkan pada dua hadits:
Pertama, hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibn Majah dengan sanad yang shahih. Jarir bin Abdullah berkata: "Kami menganggap berkumpul pada keluarga mayit dan penyuguhan makanan dari pihak keluarga mayit bagi mereka (yang berkumpul) termasuk niyahah (ratapan)." Berdasarkan hadits ini, para ulama madzhab Hanafi berpendapat haram memberikan makanan pada hari pertama, kedua, ketiga dan setelah tujuh hari kepada pentakziyah sebagaimana ditegasikan oleh al-Imam Ibn Abidin dalam Hasyiyah Radd al-Muhtar juz 2 hlm. 240.
a. Pendapat yang menyatakan makruh atau haram. Hal ini didasarkan pada dua hadits:
Pertama, hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibn Majah dengan sanad yang shahih. Jarir bin Abdullah berkata: "Kami menganggap berkumpul pada keluarga mayit dan penyuguhan makanan dari pihak keluarga mayit bagi mereka (yang berkumpul) termasuk niyahah (ratapan)." Berdasarkan hadits ini, para ulama madzhab Hanafi berpendapat haram memberikan makanan pada hari pertama, kedua, ketiga dan setelah tujuh hari kepada pentakziyah sebagaimana ditegasikan oleh al-Imam Ibn Abidin dalam Hasyiyah Radd al-Muhtar juz 2 hlm. 240.
Kedua, Hadits riwayat al-Tirmidzi, al-Hakim dan lain-lainnya, bahwa Rasulullah saw bersabda: "Buatkan makanan bagi keluarga Ja'far, karena mereka sekarang sibuk mendengar kematian Ja'far." Para ulama berpendapat, bahwa yang disunnatkan sebenarnya adalah tetangga keluarga mayit atau kerabat-kerabat mereka yang jauh membutkan makanan bagi keluarga mayit yang sedang berduka, yang cukup bagi kebutuhan mereka dalam waktu selama sehari semalam. Pendapat ini diikuti oleh mayoritas fuqaha, dan mayoritas ulama madzahib al-arba'ah.
b. Ulama yang lain berpendapat bolehnya menyuguhkan makanan dari pihak keluarga mayit bagi para jamaah tahlilan maupun para pentakziyah, meskipun pada masa-masa tiga hari hari pertama pra meninggalnya si mayit. Hal ini didasarkan pada beberapa dalil antara lain:
Pertama, Ahmad bin Mani' meriwayatkan dalam Musnad-nya dari jalur al-Ahnaf bin Qais yang berkata: "Setelah Khalifah Umar bin al-Khaththab ditikam, maka beliau menginstruksikan agar Shuhaib yang bertindak sebagai imam shalat selama tiga hari dan memerintahkan menyuguhkan makanan bagi orang-orang yang datang bertakziyah." Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, sanad hadits ini bernilai hasan. (Lihat al-Hafizh Ibn Hajar, al-Mathalib al-'Aliyah fi Zawaid al-Masanid al-Tsamaniyah, juz 1, hlm. 199, hadits no. 709).
Kedua, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd dari al-Imam Thawus (ulama salaf dari generasi tabi'in), yang berkata: "Sesungguhnya orang-orang yang meninggal dunia itu diuji oleh di dalam kubur mereka selama tujuh hari. Mereka (para generasi salaf) menganjurkan mengeluarkan sedekah makanan untuk mereka selama tujuh hari tersebut." Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, sanad hadits ini kuat (shahih). (Lihat, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Mathalib al-'Aliyah, juz 1, hlm. 199, hadits no. 710).
12.Hukum Duduk Bersama Untuk Berdzikir
Alhamdulillah,
di bumi Sunni Syafi`i, Indonesia ini masih banyak umat Islam yang
mengamalkan ajaran Nabi SAW, antara lain yang disebutkan dalam hadits
hasan riwayat Imam Tirmidzi dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda : Maa
qa`ada qaumun lam yadzkurullaha fiihi walam yushallu `alan nabiyyi
shallallahu alaihi wasallam, illaa kaana alaihim hasratan yaumal
qiyaamah, (tidaklah suatu kaum yang duduk di suatu tempat, dan tidak
berdzikir kepada Allah dan tidak pula bershalawat untuk Nabi SAW,
kecuali mereka akan ditimpa penyesalan pada hari kiamat).Yang dinamakan
kaum dalam hadits di atas adalah sekelompok orang yang duduk bersama
dalam suatu majelis. Jika saja yang dimaksudkan adalah perorangan, maka
Nabi SAW cukup mengatakan maa qa`ada rajulun (tidaklah seseorang yang
duduk), tetapi Nabi SAW mengatakan qaumun (suatu kaum).
Artinya
baik mereka membacanya secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama,
bahkan pemahaman yang lebih dekat dengan kebenaran, adalah secara
bersama-sama, baik dengan suara pelan dan lirih, yang hanya dapat
didengarkan oleh dirinya sendiri, maupun dengan mengangkat suara secara
wajar sehingga terdengar suara koor dalam melantunkan senandug dzikir
maupun shalawat Nabi, hal ini sama seperti yang dilakukan umat Islam di
saat menggemakan takbiran di malam Hari Raya secara bersama-sama dengan
suara keras.Semua cara dalam menghidupkan majelis dzikir dan shalawat
yang dilakukan oleh suatu kaum secara bersama-sama, tidak ada larangan
secara spesifik baik dari Alquran maupun hadits shahih manapun.
Karena
itu, kegiatan masyarakat Indonesia yang marak dilakukan di pedesaan,
perkampungan, maupun perkotaan dalam mengadakan majelis dzikir kepada
Allah, majelis shalawat untuk Nabi SAW, maupun majelis ta`lim untuk
memahami ajaran syariat Islam adalah sudah sesuai dengan ajaran Nabi
Muhammad SAW.Ayoo lestarikan majelis dzikir, majelis shalawat dan
majelis ta`lim di wilayah kita masing-masing, agar tidak ada penyesalan
pada hari Qiyamat nanti.
13.Dalil Nyekar Bunga Di Kuburan
Barangkali
telinga masyarakat Indonesia tidaklah asing dengan istilah nyekar.
Adapun arti nyekar adalah menabur beberapa jenis bunga di atas kuburan
orang yang diziarahinya, seperti menabur bunga kamboja, mawar, melati,
dan bunga lainnya yang beraroma harum. Ada kalanya yang diziarahi adalah
kuburan sanak keluarga, namun tak jarang pula kuburan orang lain yang
dikenalnya. Nabi SAW sendiri pernah berziarah kepada dua kuburan muslim
yang sebelumnya tidak dikenal oleh beliau SAW.
Sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwasannya suatu saat Nabi SAW
melewati dua kuburan muslim, lantas beliau SAW bersabda: Sesungguhnya
kedua orang ini sedang disiksa, keduanya disiksa bukanlah karena suatu
masalah yang besar, tetapi yang satu terbiasa bernamimah (menfitnah dan
mengadu domba), sedangkan yang satu lagi terbiasa tidak bersesuci (tidak
cebok) jika habis kencing. Kemudian beliau SAW mengambil pelepah
korma yang masih segar dan memotongnya, untuk dibawa saat menziarahi
kedua kuburan tersebut, lantas beliau SAW menancapkan potongan pelepah
korma itu di atas dua kuburan tersebut pada bagian kepala masing-masing,
seraya bersabda : Semoga Allah meringankan siksa dari kedua mayyit ini selagi pelepah korma ini masih segar. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim pada Kitabut Thaharah (Bab Bersesuci).
Berkiblat
dari hadits shahih inilah umat Islam melakukan ajaran Nabi SAW, untuk
menziarahi kuburan sanak famili dan orang-orang yang dikenalnya untuk
mendoakan penduduk kuburan. Dari hadits ini pula umat Islam belajar
pengamalan nyekar bunga di atas kuburan.
Tentunya
kondisi alam di Makkah dan Madinah saat Nabi SAW masih hidup, sangat
berbeda dengan situasi di Indonesia. Maksudnya, Nabi SAW saat itu
melakukan nyekar dengan menggunakan pelepah korma, karena pohon korma
sangat mudah didapati di sana, dan sebaliknya sangat sulit menemui jenis
pepohonan yang berbunga. Sedangkan masyarakat Indonesia berdalil bahwa
yang terpenting dalam melakukan nyekar saat berziarah kubur, bukanlah
faktor pelepah kormanya, yang kebetulan sangat sulit pula ditemui di
Indonesia , namun segala macam jenis pohon, termasuk juga jenis bunga
dan dedaunan, selagi masih segar, maka dapat memberi dampak positif bagi
mayyit yang berada di dalam kubur, yaitu dapat memperingan siksa kubur
sesuai sabda Nabi SAW.
Karena
Indonesia adalah negeri yang sangat subur, dan sangat mudah bagi
masyarakat untuk menanam pepohonan di mana saja berada, ibarat tongkat
kayu dan batu jadi tanaman. Maka masyarakat Indonesia-pun menjadi
kreatif, yaitu disamping mereka melakukan nyekar dengan menggunakan
berbagai jenis bunga dan dedaunan yang beraroma harum, karena memang
banyak pilihan dan mudah ditemukan di Indonesia, maka masyarakat juga
rajin menanam berbagai jenis pepohonan di tanah kuburan, tujuan mereka
hanya satu yaitu mengamalkan hadits Nabi SAW, dan mengharapkan
kelanggengan peringanan siksa bagi sanak keluarga dan handai taulan yang
telah terdahulu menghuni tanah pekuburan. Karena dengan menanam pohon
ini, maka kualitas kesegarannya pepohonan bisa bertahan relatif sangat
lama.
Memang
Nabi SAW tidak mencontohkan secara langsung penanaman pohon di tanah
kuburan. Seperti halnya Nabi SAW juga tidak pernah mencontohkan
berdakwah lewat media cetak, elektronik, bahkan lewat dunia maya, karena
situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan Nabi SAW melakukannya.
Namun para ulama kontemporer dari segala macam aliran pemahaman, saat
ini marak menggunakan media cetak, elektronik, dan internet sebagai
fasilitas penyampaian ajaran Islam kepada masyarakat luas, tujuannya
hanya satu yaitu mengikuti langkah dakwah Nabi SAW, namun dengan asumsi
agar dakwah islamiyah yang mereka lakukan lebih menyentuh masyarakat
luas, sehingga pundi-pundi pahala bagi para ulama dan da’i akan lebih
banyak pula dikumpulkan. Yang demikian ini memang sangat memungkinkan
dilakukan pada jaman modern ini.
Jadi,
sama saja dengan kasus nyekar yang dilakukan masyarakat muslim di
Indonesia, mereka bertujuan hanya satu, yaitu mengikutijejak nyekarnya
Nabi SAW, namun mereka menginginkan agar keringanan siksa bagi penghuni
kuburan itu bisa lebih langgeng, maka masyarakt-apun menanam pepohonaan
di tanah pekuburan, hal ini dikarenakan sangat memungkinkan dilakukan di
negeri yang bertanah subur ini, bumi Indonesia dengan penduduk muslim
asli Sunny Syafii.
Ternyata
dari satu amalan Nabi dalam menziarahi dua kuburan dari orang yang
tidak dikenal, dan memberikan solusi amalan nyekar dengan penancapan
pelepah korma di atas kuburan mayyit, dengan tujuan demi peringasnan
siksa kubur yang tengah mereka hadapi, menunjukkan bahwa keberadaan Nabi
SAW adalah benar-benar rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam,
termasuk juga alam kehidupan dunia kasat mata, maupun alam kubur, bahkan
bagi alam akhirat di kelak kemudian hari.
(Literatur
tunggal: Kitab Tahqiiqul Aamal fiima yantafiul mayyitu minal a\`maal,
karangan Abuya Sayyid Muhammad Alwi Almaliki Alhasani, Imam Ahlussunnah
wal Jamaah Abad 21)
14.Dalil Tentang Bolehnya Bertabaruk
Bertabarruk
yang dimaksud di sini, adalah seseorang yang sengaja mencari (Jawa :
ngalap) barakah dari sesuatu yang diyakini baik, dan tidak bertentangan
dengan syariat Islam.Adakalanya dengan mengambi sesuatu, atau mengusap
sesuatu, atau meminum sesuatu, atau sesuatu, bahkan melakukan sesuatu
dengan tujuan mencari barakah.Ada seseorang yang menjalankan bisnis
milik orang lain tanpa meminta sedikitpun bayaran atau keuntungan dari
bisnisnya itu, sebab ia hanya ingin mencari barakah, karena si pemilik
modal tiada lain adalah kiai/ustadz/guru agama-nya. Ada juga yang
sengaja mencium tangan atau bahkan dada seseorang yang dianggap shaleh
maupun `alim dengan tujuan mencari barakah. Atau mendatangi seorang yang
shaleh dengan membawa air lantas minta dibacakan surat Alfatihah atau
doa kesembuahan dan sebagainya, senuanya itu bertujuan mencari barakah.
Demikian dan seterusnya.
Adapun amalan-amalan yang tertera di atas adalah menirukan perilak para shahabat Nabi SAW sebagaimana yang ditulis para ulama salaf dalam buku-buku mereka, antara lain :
(1). Imam Ibnu Hajar Alhaitsami menulis dalam kitab Majma\`uz zawaid, 9:349 yang disebutkan juga dalam kitab Almathaalibul \`Aaliyah, 4:90 : Diriwayatkan dari Ja\`far bin Abdillah bin Alhakam, bahwa shahabat Khalid bin Walid RA, Panglima perang tentara Islam, pada saat perang Yarmuk kehilangan songkok miliknya, lantas beliau meminta tolong dengan sangat agar dicarikan sampai ketemu. Tatkala ditemukan, ternyata songkok tersebut bukanlah baru, melainkan sudah hampir kusam, lantas beliau mengtakan : Tatkala Rasulullah SAW berumrah, beliau SAW menggundul rambutnya saat bertahallul, dan orang-orang yang mengetahuinya,, mereka berebut rambut Rasulullah SAW, kemudian aku bergegas mengambil rambut bagian ubun-ubun, dan aku selipkan pada songkokku ini, dan sejak aku memakai songkok yang ada rambut Rasulullah SAW ini, maka tidak pernah aku memimpim peperangan kecuali selalu diberi kemenangan oleh Allah.
(2). Imam Bukhari dalam Kitabus syuruuth, babus syuruuthu fil jihaad, meriwayatkan dari Almasur bin Makhramah dan Marwan, mengatakan bahwa Urwah (tokoh kafir Quraisy) memperhatikan perilaku para shahabat Nabi SAW, lantas mengkhabarkan kepada kawan-kawannya sesama kafir Quraisy : Wahai kaumku, demi tuhan, aku sering menjadi delegasi kepada para raja, aku menjadi delegasi menemui Raja Kaisar, Raja Kisra, dan Raja Najasyi, tetapi demi tuhan belum pernah aku temui para pengikut mereka itu dalam menghormati para raja itu, seperti cara para shahabat dalam menghormati Muhammad (SAW), demi tuhan, setiap Muhammad meludah, pasti telapak tangan mereka dibuka lebar-lebar untuk menampung ludah Muhammad, lantas bagi yang mendapatkan ludah itu pasti langsung diusapkan pada wajah dan kulit masing-masing (tabarrukan). Jika Muhammad memrintahkan sesuatu, mereka bergegas menjalankannya. Jika Muhammad berwudlu mereka berebut bahkan hampir berperang hanya untuk (bertabarruk) mendapatkan air bekas wudlunya. Jika mereka berbicara di depan Muhammad pasti merendahkan suaranya, mereka tidak berani memandang wajah Muhammad dengan lama-lama karena rasa hormat yang sangat dan lebih daripada umumnya.
(1). Imam Muslim dalam kitab Shahihnya meriwayatkan dari Anas bin Malik RA, bahwa Nabi SAW datang ke Mina, lantas melaksanakan lempar Jumrah, kemudian menggundul rambutnya, dan meminta kepada si pencukur untuk mengumpulkan rambutnya, dan beliau SAW membagikannya kepada masyarakat muslim.
(2). Riwayat serupa di atas juga terdapat dalam kitab Sunan Tirmidzi, yang mengatakan bahwa Nabi SAW menyerahkan potongan rambutnya kepada Abu Thalhah dan beliau SAW memerintahkan : Bagikanlah kepada orang-orang.
(3). Imam muslim meriwayatkan juga dari shahabat Anas RA berkata, bahwa suatu saat Nabi SAW beristirahat tidur di rumah kami sehingga beliau SAW berkeringat, lantas ibu kami mengambil botol dan menampung tetesan keringat Nabi SAW, kemudian Nabi SAW terbangun dan bersabda : Wahai Ummu Sulaim, apa yang engkau lakukan ? Ummu Sulaim menjawab : Kami jadikan keringatmu ini sebagai parfum, bahkan ia lebih harum dari semua jenis parfum.
(4). Sedangkan dalam riwayat Ishaq bin Abi Thalhah, bahwa Ummu Sulaim istrinya Abu Thalhah menjawab : Kami mengharapkan barakahnya untuk anak-anak kami. Lantas Nabi SAW bersabda : Engkau benar.
(5). Imam Thabarani meriwayatkan dari Safinah RA, berkata : Tatkala Rasulullah SAW berhijamah (canthuk), beliau SAW bersabda kepadaku: Ambillah darahku ini, dan tanamlah jangan sampai ketahuan binatang liar, burung, maupun orang lain..! Lantas aku bawah menjauh dan aku minum, kemudian aku ceritakan kepada beliau SAW, maka beliau tertawa.
(6). Imam Thabarani juga meriwayatkan hadits penguat, Nabi SAW bersabda : Barangsiapa yang darah (daging)-nya bercampur dengan darahku, maka tidak bakal disentuh api neraka.
(7). Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari Anas RA, bahwa suatu saat Nabi SAW mampir ke rumah Ummu Sulaim, yang dalam rumah itu ada qirbah (tempat air minum) menggantung, lantas beliau SAW meminumnya secara langsung dari bibir qirbah itu dengan berdiri, kemudian Ummu Sulaim menyimpan qirbah tersebut untuk bertabarruk dari sisa bekas tempat minum Nabi SAW.
Adapun amalan-amalan yang tertera di atas adalah menirukan perilak para shahabat Nabi SAW sebagaimana yang ditulis para ulama salaf dalam buku-buku mereka, antara lain :
(1). Imam Ibnu Hajar Alhaitsami menulis dalam kitab Majma\`uz zawaid, 9:349 yang disebutkan juga dalam kitab Almathaalibul \`Aaliyah, 4:90 : Diriwayatkan dari Ja\`far bin Abdillah bin Alhakam, bahwa shahabat Khalid bin Walid RA, Panglima perang tentara Islam, pada saat perang Yarmuk kehilangan songkok miliknya, lantas beliau meminta tolong dengan sangat agar dicarikan sampai ketemu. Tatkala ditemukan, ternyata songkok tersebut bukanlah baru, melainkan sudah hampir kusam, lantas beliau mengtakan : Tatkala Rasulullah SAW berumrah, beliau SAW menggundul rambutnya saat bertahallul, dan orang-orang yang mengetahuinya,, mereka berebut rambut Rasulullah SAW, kemudian aku bergegas mengambil rambut bagian ubun-ubun, dan aku selipkan pada songkokku ini, dan sejak aku memakai songkok yang ada rambut Rasulullah SAW ini, maka tidak pernah aku memimpim peperangan kecuali selalu diberi kemenangan oleh Allah.
(2). Imam Bukhari dalam Kitabus syuruuth, babus syuruuthu fil jihaad, meriwayatkan dari Almasur bin Makhramah dan Marwan, mengatakan bahwa Urwah (tokoh kafir Quraisy) memperhatikan perilaku para shahabat Nabi SAW, lantas mengkhabarkan kepada kawan-kawannya sesama kafir Quraisy : Wahai kaumku, demi tuhan, aku sering menjadi delegasi kepada para raja, aku menjadi delegasi menemui Raja Kaisar, Raja Kisra, dan Raja Najasyi, tetapi demi tuhan belum pernah aku temui para pengikut mereka itu dalam menghormati para raja itu, seperti cara para shahabat dalam menghormati Muhammad (SAW), demi tuhan, setiap Muhammad meludah, pasti telapak tangan mereka dibuka lebar-lebar untuk menampung ludah Muhammad, lantas bagi yang mendapatkan ludah itu pasti langsung diusapkan pada wajah dan kulit masing-masing (tabarrukan). Jika Muhammad memrintahkan sesuatu, mereka bergegas menjalankannya. Jika Muhammad berwudlu mereka berebut bahkan hampir berperang hanya untuk (bertabarruk) mendapatkan air bekas wudlunya. Jika mereka berbicara di depan Muhammad pasti merendahkan suaranya, mereka tidak berani memandang wajah Muhammad dengan lama-lama karena rasa hormat yang sangat dan lebih daripada umumnya.
(1). Imam Muslim dalam kitab Shahihnya meriwayatkan dari Anas bin Malik RA, bahwa Nabi SAW datang ke Mina, lantas melaksanakan lempar Jumrah, kemudian menggundul rambutnya, dan meminta kepada si pencukur untuk mengumpulkan rambutnya, dan beliau SAW membagikannya kepada masyarakat muslim.
(2). Riwayat serupa di atas juga terdapat dalam kitab Sunan Tirmidzi, yang mengatakan bahwa Nabi SAW menyerahkan potongan rambutnya kepada Abu Thalhah dan beliau SAW memerintahkan : Bagikanlah kepada orang-orang.
(3). Imam muslim meriwayatkan juga dari shahabat Anas RA berkata, bahwa suatu saat Nabi SAW beristirahat tidur di rumah kami sehingga beliau SAW berkeringat, lantas ibu kami mengambil botol dan menampung tetesan keringat Nabi SAW, kemudian Nabi SAW terbangun dan bersabda : Wahai Ummu Sulaim, apa yang engkau lakukan ? Ummu Sulaim menjawab : Kami jadikan keringatmu ini sebagai parfum, bahkan ia lebih harum dari semua jenis parfum.
(4). Sedangkan dalam riwayat Ishaq bin Abi Thalhah, bahwa Ummu Sulaim istrinya Abu Thalhah menjawab : Kami mengharapkan barakahnya untuk anak-anak kami. Lantas Nabi SAW bersabda : Engkau benar.
(5). Imam Thabarani meriwayatkan dari Safinah RA, berkata : Tatkala Rasulullah SAW berhijamah (canthuk), beliau SAW bersabda kepadaku: Ambillah darahku ini, dan tanamlah jangan sampai ketahuan binatang liar, burung, maupun orang lain..! Lantas aku bawah menjauh dan aku minum, kemudian aku ceritakan kepada beliau SAW, maka beliau tertawa.
(6). Imam Thabarani juga meriwayatkan hadits penguat, Nabi SAW bersabda : Barangsiapa yang darah (daging)-nya bercampur dengan darahku, maka tidak bakal disentuh api neraka.
(7). Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari Anas RA, bahwa suatu saat Nabi SAW mampir ke rumah Ummu Sulaim, yang dalam rumah itu ada qirbah (tempat air minum) menggantung, lantas beliau SAW meminumnya secara langsung dari bibir qirbah itu dengan berdiri, kemudian Ummu Sulaim menyimpan qirbah tersebut untuk bertabarruk dari sisa bekas tempat minum Nabi SAW.
(8).
Ibnu Hajar Alhaitsami menulis riwayat hadits dari Yahya bin Alharits
Aldzimaari berkata : Aku menemui Watsilah bin Al-asqa` RA lantas aku
tanyakan : Apa engkau membaiat Rasulullah dengan tanganmu ini ? Beliau
menjawab : Ya.. ! Aku katakan : Sodorkanlah tanganmu untukku, dan aku
akan menciumnya. Kemudian beliau memberikan tangannya kepadaku, dan
akupun menciumnya. (HR. Atthabarani).
(9). Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdurrahman bin Razin, mengatakan ; Kami melintas di Arrabadzah, lantas diinfokan kepada kami : Di situ ada Shahabat Salamah bin Al-aqwa` RA, lantas kami menjenguk beliau RA, dan kami ucapkan salam. Lantas beliau RA menjulurkan tangannya seraya berkata : Aku membaiat Nabi SAW dengan kedua tanganku ini...! Kemudian beliau membuka telapak tangannya yang gemuk besar, kemudian kami berdiri dan kami menciumnya.
(10). Imam Bukhari meriwayatkan dari Asmaa binti Abu Bakar RA, beliau sedang mengeluarkan baju jubbahnya Nabi SAW dan berkata : Ini jubbahnya Rasulullah SAW, yang dulunya disimpan oleh `Aisyah, hingga `aisyah wafat, sekarang aku simpan...! Dulu Nabi SAW mengenakan jubbah ini, sekarang sering kami cuci (dan airnya khusus kami berikan) kepada orang yang sakit untuk penyembuhan (dengan bertabarruk dari air bekas cucian jubbah tersebut).
(11). Ibnu Taimiyyah dalam kitab karangannya, Iqtidhaaus shiraathil mustaqiim, hal 367, meriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa beliau memperbolehkan amalan mengusap mimbar masjidnya Nabi SAW dan ukirannya, untuk tabarrukan, karena Shahabat Ibnu Umar RA serta para Tabi`in seperti Sa`id bin Musayyib dan Yahya bin Sa`id yang tergolong ahli fiqih kota Madinah juga mengusap mimbar Nabi SAW tersebut.
(9). Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdurrahman bin Razin, mengatakan ; Kami melintas di Arrabadzah, lantas diinfokan kepada kami : Di situ ada Shahabat Salamah bin Al-aqwa` RA, lantas kami menjenguk beliau RA, dan kami ucapkan salam. Lantas beliau RA menjulurkan tangannya seraya berkata : Aku membaiat Nabi SAW dengan kedua tanganku ini...! Kemudian beliau membuka telapak tangannya yang gemuk besar, kemudian kami berdiri dan kami menciumnya.
(10). Imam Bukhari meriwayatkan dari Asmaa binti Abu Bakar RA, beliau sedang mengeluarkan baju jubbahnya Nabi SAW dan berkata : Ini jubbahnya Rasulullah SAW, yang dulunya disimpan oleh `Aisyah, hingga `aisyah wafat, sekarang aku simpan...! Dulu Nabi SAW mengenakan jubbah ini, sekarang sering kami cuci (dan airnya khusus kami berikan) kepada orang yang sakit untuk penyembuhan (dengan bertabarruk dari air bekas cucian jubbah tersebut).
(11). Ibnu Taimiyyah dalam kitab karangannya, Iqtidhaaus shiraathil mustaqiim, hal 367, meriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa beliau memperbolehkan amalan mengusap mimbar masjidnya Nabi SAW dan ukirannya, untuk tabarrukan, karena Shahabat Ibnu Umar RA serta para Tabi`in seperti Sa`id bin Musayyib dan Yahya bin Sa`id yang tergolong ahli fiqih kota Madinah juga mengusap mimbar Nabi SAW tersebut.
Masih
banyak bukti hadits-hadits Nabi SAW tentang bolehnya bertabarruk kepada
barang-barang milik Nabi SAW, serta milik orang-orang shalih, dengan
berbagai macam bentuk dan cara termasuk mencium makam kuburan Nabi SAW
dan para wali serta orang-orang shalih, selama tidak melanggar syariat
Islam. Namun jika sampai menyembah karena mempertuhankan barang-barang
tersebut, tentunya diharamkan oleh syariat Islam. Termasuk diharamkan
juga adalah perilaku orang awwan yang menyembah dan memberi sesajen
kepada tempat-tempat maupun kuburan-kuburan angker yang diyakini ada jin
penunggu untuk dimintai banyak hal, padahal tempat-tempat tersebut
bukanlah tempat yang berbarakah dalam standar syariat Islam.
Apalagi
jika mengandung kesyirikan, seperti tempat pencarian nomer togel,
kesaktian dukun santet dan pesugihan atau kuburan penyanyi legendaris
kafir, dan kuburan tokoh-tokoh pluralisme lintas agama, yang jelas-jelas
bertentangan dengan syariat Islam.Mudah-mudahan aqidah warga Sunni
Syafi`i sebagai penghuni muslim mayoritas di Indonresia senantiasa
dijaga oleh Allah.
15.Bagaimana hukumnya membaca manaqib?
Mengertikah saudara arti kata-kata manaqib? Kata-kata manaqib itu adalah bentuk jamak dari mufrod manqobah, yang di antara artinya adalah cerita kebaikan amal dan akhlak perangai terpuji seseorang.
Jadi
membaca manaqib, artinya membaca cerita kebaikan amal dan akhlak
terpujinya seseorang. Oleh sebab itu kata-kata manaqib hanya khusus bagi
orang-orang baik mulia:manaqib Umar bin Khottob, manaqib Ali bin Abi
Tholib, manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani, manaqib Sunan Bonang dan
lain sebagainya. Tidak boleh dan tidak benar kalau ada orang berkata manaqib Abu Jahal, manaqib DN. Aidit dan lain sebagainya. Kalau demikian artinya pada manaqib, apakah saudara masih tetap menanyakan hukumnya manaqib?
Betul
tetapi cerita di dalam manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani itu terlalu
berlebih-lebihan, sehingga tidak masuk akal. Misalkan umpamanya kantong
berisi dinar diperas lalu keluar menjadi darah, tulang-tulang ayam yang
berserakan, diperintah berdiri lalu bisa berdiri menjadi ayam jantan.
Kalau
saudara melanjutkan cerita-cerita yang tidak masuk akal, sebaiknya
jangan hanya berhenti sampai ceritanya Syeikh Abdul Qodir al-Jilani
saja, tetapi teruskanlah. Misanya cerita tentang sahabat Umar bn Khottob
berkirim surat kepada sungai Nil, Sahabat umar bin Khottob memberi
komando dari Madinah kepada prajurut-prajurit yang sedang bertempur di
tempat yang jauh dari Madinah. Cerita tentang Isra’ Mi’raj, cerita
tentang tongkat menjadi ular, cerita gunung yang pecah, kemudian keluar
dari unta yang besar dan sedang bunting tua, cerita tentang nabi Allah
Isa menghidupkan orang yang sudah mati. Dan masih banyak lagi yang
semuanya itu sama sekali tidak masuk akal.
Kalau
keluar dari Nabi Allah itu sudah memang mukjizat, padahal Abdul Qodir
al-Jilani itu bukan Nabi, apa bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk
akal?Baik Nabi Allah maupun Syeikh Abdul Qodir al-Jilani atau sahabat
Umar bin Khottob, kesemuanya itu masing-masing tidak bisa menimbulkan
hal-hal yang tidak masuk akal. Tetapi kalau Allah Ta’ala membisakan itu,
apakah saudara tidak dapat menghalang-halangi?
Apakah selain Nabi Allah juga mempunyai mukjizat?
Hal-hal
yang menyimpang dari adat itu kalau keluar dari Nabi Allah maka namanya
mukjizat, dan kalau timbul dari wali Allah namanya karomah.Adakah dalil
yang menunjukkan bahwa selain nabi Allah dapat dibisakan menimbulkan
hal-hal yang menyimpang dari adat atau tidak masuk akal?
Silahkan
saudara membaca cerita dalam Al-Quran tentang sahabat Nabi Allah
Sulaiman yang dapat dibisakan memindah Arsy Balqis (QS An-Naml: 40)
قَالَ
اللهُ تَعَالَى : قَالَ الَّذِى عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الكِتَابِ أَنَا
آتِيِكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ. فَلَمَّا رَآهُ
مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّى لِيَبْلُوَنِى
أَأَشْكُرُ اَمْ أَكْفُرُ. وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ
وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّى غَنِيٌّ كَرِيْمٌ.
Tetapi
di dalam manaqib Abdul Qodir al-Jilani ada juga kata-kata memanggil
kepada para roh yang suci atau kepada wali-wali yang sudah mati untuk
dimintai pertolongan, apakah itu tidak menjadikan musyrik?
Memanggil-manggil
untuk dimintai pertolongan baik kepada wali yang sudah mati atau kepada
bapak ibu saudara yang masih hidup dengan penuh i’tikad bahwa pribadi
wali atau pribadi bapak ibu saudara itu mempunyai kekuasaan untuk dapat
memberikan pertolongan yang terlepas dari kekuasaan Allah Ta’ala itu
hukumnya syirik.Akan tetapi kalau dengan i’tikad bahwa segala sesuatu
adalah dari Allah Ta’ala, maka itu tidak ada halangannya, apalagi sudah
jelas bahwa kita meminta pertolongan (ghouts) kepada para wali itu maksudnya adalah minta dimohonkan kepada Allah Ta’ala.
Manakah yang lebih baik, berdoa kepada Allah Ta’ala dengan langsung atau dengan perantaraan (tawassul)?
Langsung
boleh, dengan perantaraan pun boleh. Sebab Allah Ta’ala itu Maha
Mengetahui dan Maha Mendengar. Saudara jangan mengira bahwa tawassul
kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau wali itu, sama dengan
saudara memohon kenaikan pangkat kepada atasan dengan perantaraan Kepala
Kantor saudara. Pengertian tawassul yang demikian itu tidak
benar. Sebab berarti mengalihkan pandangan terhadap yang ditujukan
(pihak atasan), beralih kepada pihak perantara, sehingga disamping
mempunyai kepercayaan terhadap kekuasaan pihak atasan, saudara juga
percaya kepada kekuasaan pihak perantara. Tawassul kepada Allah Ta’ala tidak seperti itu.
Kalau saudara ingin contoh tawassul
kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau Wali-Wali itu, seperti orang
yang sedang membaca al Quran dengan memakai kacamata. Orang itu tetap
memandang al Quran dan tidak dapat dikatakan melihat kaca.
Bukankah Allah ta’ala berfirman dalam al Quran al Karim
وَقَالَ رَبُّكُمْ أُدْعُونِى أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Panggillah aku maka akan Aku sambut kepadamu. (Al Mukmin: 60)
فَادْعُو اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيِنَ
Maka sambutlah olehmu akan Allah ta’ala dengan memurnikan kepadanya akan agama. (Al Mukmin: 24)
وَالَّذِيْنَ لاَيَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا أَخَرَ
Dan orang-orang yang tidak menyambut bersama Allah akan tuhan yang lain. (Al Furqon: 68)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat serupa itu.
Betul
akan tetapi kesemuanya itu sama sekali tidak melarang tawassul dengan
pengertian sebagaimana yang telah saya terangkan tadi. Coba saja
perhatikan contoh di bawah ini:
Saudara
mempunyai majikan yang kaya raya mempunyai perusahaan besar, saudara
sudah kenal baik dengan beliau, bahkan termasuk buruh yang dekat
dengannya. Saya ingin diterima bekerja di perusahaannya. Untuk melamar
pekerjaan itu, saudara saya ajak menghadap kepadanya bersama-sama, dan
saya berkata, “Bapak pimpinan perusahaan yang mulia. Kedatangan saya
bersama guru saya ini, ada maksud yang ingin saya sampaikan, yaitu saya
mohon diterima menjadi pekerja di perusahaan bapak. Saya ajak guru saya
menghadap bapak karena saya pandang guru saya ini adalah orang yang baik
hati dan jujur serta juga kenal baik dengan bapak”.
Coba
perhatikan! kepada siapa saya memohon? Kemudian adakah gunanya saya
mengajak saudara menghadap majikan besar itu?Ada dua orang pengemis.
Yang satu sendirian, sedang yang satu lagi dengan membawa kedua anaknya
yang masih kecil-kecil. Anak yang satu masih menyusu dan yang satu lagi
baru bisa berjalan. Di antara dua orang yang pengemis itu, mana yang
lebih mendapat perhatian saudara? Saudara tentu akan menjawab yang
membawa anak yang kecil-kecil itulah yang lebih saya perhatikan. Kalau
begitu adakah gunanya pengemis itu membawa kedua orang anaknya yang
masih kecil? Kepada siapakah pengemis itu meminta? Kepada anak yang
masih kecil-kecil jugakah pengemis itu meminta?
Salah
satu budaya mengenang sejarah dan autobiographi wali adalah manaqib.
Manaqiban atau membaca manaqib dipercaya sebagai jalinan untuk
terus-menerus menyambung tali silaturahmi dengan Syekh Abdul Qadir al
Jailany yang dikenal dengan sultanul aulia. Bagaimana dan apa seputar
manaqib itu. Tulisan ini sekedar pendapat pribadi.
Ayat
di bawah ini bisa dijadikan landasan mengapa kita harus berada di
belakang orang-orang yang selalu berada dalam jalan kembali kepada
Allah swt.
واتبع سبيل من أناب إلي ثم إلي مرجعكم فأنبئكم بما كنتم تعملون...
"Dan
ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, Kemudian Hanya
kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang Telah kamu
kerjakan." (QS Luqman: 15)
Bersyukur
kepada Allah atas nikmat besar dimana kita masih bisa mendengar tausiah
atau nasehat para ulama yang tidak bosan-bosannya mendorong manusia
agar meningkatan kualitas iman ruhaninya. Bukan sekedar kata-kata,
prilaku dan contoh kehidupannya merupakan pelajaran yang amat berharga
yang semestinya dijadikan teladan bagi para murid-muridnya atau para
simpatisannya. Semoga upaya para ulama ini dapat kita ikuti baik yang
mengaku murid-muridnya atau yang menyukai perjalan ruhani menuju
Mahabbah kepada Allah.
Salah
satu tradisi yang dilakukan oleh dunia pesantren khususnya Buntet
Pesantren adalah mengamalkan manaqib. Manaqib yang dibaca adalah seputar
prikehidupan Syeikh Abdul Qodir al Jilany q.s.a yang dikenal dengan
Sulthanul Auliya. Karenanya manaqib yang dibaca adalah Manaqib Syeikh
Abdul Qadir al Jilany.
Dalam
pembacaan manaqib ini biasanya salah seorang memimpin bacaan yang
terdapat dalam kitab manaqib. Sementara yang lainnya dengan khusu’
mendengarkan secara aktif dengan memuji Allah dengan kalimat-kalimat
yang terdapat dalam Asmaul Husna. Bagi yang mengerti bacaannya dapat
menye¬lami lebih dalam maksud dan pelajaran-pelajaran dari isi kitab
tersebut. Sebab di dalamnya berisi perikehidupan, kebiasaan dan
kelebihan-kelebihan dari Wali Allah. Bagi yang tidak mengerti akan
diterangkan oleh gurunya.
Pembacaan
manaqib ini mempengaruhi tingkat kerohanian para pengamal thareqah.
Karena dengan membaca manaqib diharapkan dapat menda¬patkan limpahan
kebaikan dari Allah swt (berkah). Mengapa? Sebab di dalam kitab manaqib
Syeikh Abdul Qadir Al Jilani terdapat autobiographi (catatan perjalanan
kehidupan) tentu saja di dalamnya terdapat sejarah, nasihat, prilaku
yang bisa dijadikan teladan dari Syeikh Abdul Qoadir q.s.a
Pengertian dan Manfaat Manaqib
Menurut
kamus Munjib dan Kamus Lisanul ‘Arab, Manaqib adalah ungkapan kata
jama’ yang berasal dari kata Manqibah artinya Atthoriqu fi al jabal
jalan menuju gunung atau dapat diartikan dengan sebuah pengetahuan
tentang akhlaq yang terpuji, akhlaqul karimah. Dari pengertian ini
manaqib dapat diartikan sebuah upaya untuk mendapatkan limpahan
kebaik¬an dari Allah SWT dengan cara memahami kebaikan-kebaikan para
kekasih Allah yaitu para Aulia. Sebab Para wali dicintai oleh Allah dan
para wali sangat cinta kepada Allah. (Yuhibbuunallah wayubibbuhum).
Sebagaimana ditulis dalam quran:
"Hai
orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut
terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang
kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan
orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada
siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi
Maha Mengetahui. (Al Maidah (5): 54)
Ensiklopedi
Islam mengartikan manakib sebagai sebuah sejarah dan pengalaman
spiritual seorang wali Allah Swt. yang di dalamnya terdapat
cerita-cerita, ikhtisar hikayat, nasihat-nasihat serta
peristiwa-peristiwa ajaib yang pernah dialami seorang syekh. Semuanya
ditulis oleh pengikut tarekat atau para pengagumnya dan dirangkum dari
cerita yang bersumber dari murid-muridnya, orang terdekatnya, keluarga
dan sahabat-sahabatnya (Ensiklopedi Islam: 152).
Jadi,
manakib adalah kitab sejarah atau autobiographi yang bersifat
hagiografis (menyanjung) karena manaqib dibaca bertujuan dijadikan
teladan bagi pembacanya disamping juga tujuan tabarruk (mengharap
berkah) dan tawassul (membuat perantara pembaca dengan Allah).
Manaqib adalah Tawasul
Mengenai
masalah tawasul dan tabarruk, Said Ramdhan al-Buthi menyampaikan bahwa
tawassul dan tabarruk adalah dua kalimat dengan satu arti yang kalau
dalam Ushul Fiqh disebut dengan tanqihul ma¬nath, dengan menjadikan
bagian-bagian kecil (tabarruk) dari satu induk (tawassul) dimasukkan ke
dalam induk tersebut. Namun, al-Buthi dengan tegas mengata¬kan bahwa
tawassul adalah tindakan sunnah dengan bukti banyaknya dalil nash hadits
yang shahih. Al-Bukhari meriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa beliau
pernah menyimpan beberapa helai rambut Nabi. Rambut tersebut beliau
simpan sebagai obat bagi sahabat yang sakit dengan mengharap barokah
Nabi (Fiqh al-Sirah:177-178).
Pada
masa Rasulullah saw seperti tertulis dalam kitab Al Hikam dimana
Rasulullah saw pernah menyuruh Sahabat Ali kw untuk menemui Uways al
Qarny r.a untuk memintakan ampunan kepada Allah swt. Karena uways ini
menurut Nabi saw akan menjadi salah satu raja di surga.
Tawasul berupa Amal
Hadits
tentang wasilah berupa amal yang bersumber dari Ibnu Umar ra. . bahwa
Rasulullah saw bercerita dalam hadits ini yang cukup panjang salah satu
intinya adalah ada tiga orang yang tersesat di dalam gua, lalu tiba-tiba
sebuah batu besar menutupi mulut gua. Namun tiada harapan kecuali
berdoa kepada Allah agar batu bisa tersingkir. Ketika satu demi satu
orang berdoa, mereka berwasilah dengan amal sholeh masing-masing; orang
pertama berwasilah pada amal dimana ia pernah memberikan susu kepada
ibudanya padahal anaknya sangat membutuhkan; “Aku lebih menguta¬makan
ibu terlebih dahulu dari pada anak-anakku meskipun anaku merengek
meminta.”
Adapun
wasilah amal orang kedua adalah kemampuan orang kedua ini menghentikan
niat hendak mau menggauli sepupu perem¬puannya padahal sudah memberikan
uang 100 dinar, namun tidak jadi karena sepupu perempuan¬nya meminta
menikahkannya, akhirnya membatal¬kan niat jahat tersebut. Sedangkan
orang ketiga memiliki wasilah amal dima¬na dia memakan hak gaji pegawai.
Ketika ditegur “takutlah kepada Allah dan janganlah mendzalimi aku.”
Karena merasa takut kepada Allah, setelah sekian lama orang ini
memberikan ganti uang hak pegawai itu berupa peternakan lembu dan
anak-anaknya yang telah berkembang biak yang modalnya diambil dari hak
pekerja tersebut. Dari ketiga wasilah orang tersebut Allah mengge¬rakkan
batu besar yang menutupi gua sehingga mereka bertiga bisa lepas dari
musibah. (HR. Bukhari-Muslim)
Dari
hadits tersebut di atas, maka sebuah amal adalah wasilah yang dapat
mengantarkan kita kepada Allah swt. Dengan amal ini juga boleh jadi
dapat memberikan pertolongan terhadap derita seorang hamba karena
tertimpa musibah seperti derita tiga orang yang terjebak di dalam gua.
Dalil Manaqib
Mendekati
Allah dengan cara mendekati orang-orang yang dicintai Allah adalah
sesuai dengan firman Allah swt dalam Surat Luqman: 15: “.... dan
ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah
kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Tafsir
al Qurthuby mengartikan “anaba ilayya” kembali kepada-Ku (Allah swt)
yaitu kembali kepada jalan para Nabi dan orang-orang sholeh. Dengan
demikian maka mengikuti jalan orang-orang sholeh apalagi para ulama dan
aulia merupakan anjuran Allah dan Rasul-Nya. “Ingatlah, sesungguhnya
wali-wali Allah itu, tidak ada kekha¬watiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati.” (Yunus: 62)
Jadi
dengan mengikuti pembacaan manaqib Insya Allah meru¬pakan salah satu
jalan tempuh untuk memperoleh rakhmat dan karunia Allah dengan cepat.
Sebab dengan manaqib ini kita dapat mengenal, memahami, serta menyelami
karakter serta sifat-sifat wali Allah yang tujuan akhirnya dalah untuk
diteladani.
Kalau
Uwais ra hidup pada zaman Rasulullah saw maka para Waliullah yang hidup
setelahnya patut kita contoh. Salah satu¬nya adalah Syeikh Abdul Qadir
al Jilany (Allah telah mensuci¬kan sir nya) yang dikenal dengan sultanul
auliaa (Penghulu para wali).
Diantara
para pembaca manakib ada yang mengamalkan pembacaan manaqib ini secara
berkala mingguan, bulanan tahunan atau kapan saja jika dikehendaki. Atau
dalam moement-moment berkumpul seperti dalam acara syukuran lahir anak
atau acara walimahan. Tentu saja harapannya adalah agar memperoleh
keberkahan dalam kehidupan jasmani dan rohani dunia wal akhirat. Jadi
tunggu apalagi, makiban yuks! Wallahu ‘alam (MK)
Semoga kiranya risalah yang kecil ini, dapat memenuhi harapan ihwanul muslimin, terutama jamaah Nahdlatul Ulama. Semoga risalah ini bermanfaat.
16.Dalil Bolehnya Bertawasul
Banyak
pemahaman saudara-saudara kita muslimin yang perlu diluruskan tentang
tawassul, tawassul adalah berdoa kepada Allah dengan perantara amal
shalih, orang shalih, malaikat, atau orang-orang mukmin.
Tawassul kepada Rasulullah disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, misalnya, firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 64, “Dan
Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan
seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya
datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun
memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” Dalam ayat ini, dijelaskan
bahwa Allah SWT mengampuni dosa-dosa orang yang dhalim, disamping do’a
mereka tetapi ada juga wasilah (do’anya) Rasulullah SAW.
Soal
tawassul seperti itu, disebutkan pula dalam tafsir Ibnu Katsir,
“Berkata Al-Imam Al-Hafidz As-Syekh Imaduddin Ibnu Katsir, menyebutkan
segolongan ulama’ di antaranya As-Syekh Abu Manshur As-Shibagh dalam
kitabnya As-Syaamil dari Al-Ataby; berkata: saya duduk di kuburan Nabi
SAW maka datanglah seorang Badui dan ia berkata: Assalamu’alaika ya
Rasulullah! Saya telah mendengar Allah berfirman;
Walaupun
sesungguhnya mereka telah berbuat dhalim terhadap diri mereka kemudian
datang kepadamu dan mereka meminta ampun kepada Allah, dan Rasul
memintakan ampun untuk mereka, mereka pasti mendapatkan Allah Maha
Pengampun dan Maha Penyayang; dan saya telah
datang kepadamu (kekuburan Rssulullah) dengan meminta ampun akan dosaku
dan memohon syafa’at dengan wasilahmu (Nabi) kepada Allah, kemudian ia
membaca syair memuji Rasulullah, kemudian orang Badui tadi pergi, maka
saya ketiduran dan melihat Rasulullah dalam tidur saya, beliau bersabda,
“Wahai Ataby temuilah orang Badui tadi sampaikan kabar gembira bahwa Allah telah mengampuni dosanya.”
Tawassul
merupakan hal yang sunnah, dan tak pernah ditentang oleh Rasul saw, tak
pula oleh Ijma Sahabat radhiyallahuanhum, tak pula oleh Tabiin, dan
bahkan para Ulama dan Imam-Imam besar Muhadditsin, mereka berdoa tanpa
perantara atau dengan perantara, dan tak ada yang menentangnya, apalagi
mengharamkannya, atau bahkan memusyrikkan orang yang
mengamalkannya.Pengingkaran hanya muncul pada abad ke 20 ini, dengan
munculnya sekte Wahabi Salafi sesat yang memusyrikkan orang-orang yang
bertawassul, padahal Tawassul adalah sunnah Rasul saw, sebagaimana
hadits shahih dibawah ini :
"Wahai
Allah, Demi orang-orang yang berdoa kepada Mu, demi orang-orang yang
bersemangat menuju (keridhoan) Mu, dan Demi langkah-langkahku ini kepada
(keridhoan) Mu, maka aku tak keluar dengan niat berbuat jahat, dan
tidak pula berniat membuat kerusuhan, tak pula keluarku ini karena Riya
atau sumah.. hingga akhir hadits. (HR Imam Ahmad, Imam Ibn Khuzaimah,
Imam Abu Naiem, Imam Baihaqy, Imam Thabrani, Imam Ibn Sunni, Imam Ibn
Majah dengan sanad Shahih). Hadits ini kemudian hingga kini digunakan
oleh seluruh muslimin untuk doa menuju masjid dan doa safar.
Tujuh
Imam Muhaddits meriwayatkan hadits ini, bahwa Rasul saw berdoa dengan
Tawassul kepada orang-orang yang berdoa kepada Allah, lalu kepada
orang-orang yang bersemangat kepada keridhoan Allah, dan barulah
bertawassul kepada Amal shalih beliau saw (demi langkah2ku ini kepada
keridhoan Mu). Siapakah Muhaddits?, Muhaddits adalah seorang ahli hadits
yang sudah hafal 10.000 (sepuluh ribu) hadits beserta hukum sanad dan
hukum matannya, betapa jenius dan briliannya mereka ini dan betapa
Luasnya pemahaman mereka tentang hadist Rasul saw, sedangkan satu hadits
pendek, bisa menjadi dua halaman bila disertai hokum sanad dan hukum
matannya.
Lalu
hadits diatas diriwayatkan oleh tujuh Muhaddits, apakah kiranya kita
masih memilih pendapat madzhab sesat yang baru muncul di abad ke 20 ini,
dengan ucapan orang-orang yang dianggap muhaddits padahal tak satupun
dari mereka mencapai kategori Muhaddits , dan kategori ulama atau
apalagi Imam Madzhab, mereka bukanlah pencaci, apalagi memusyrikkan
orang-orang yang beramal dengan landasan hadits shahih.Masih banyak
hadits lain yang menjadi dalil tawassul adalah sunnah Rasululloh saw,
sebagaimana hadits yang dikeluarkan oleh Abu Nu'aim, Thabrani dan Ibn
Hibban dalam shahihnya,
bahwa
ketika wafatnya Fathimah binti Asad (Bunda dari Sayyidina Ali bin Abi
Thalib kw, dalam hadits itu disebutkan Rasul saw rebah/bersandar
dikuburnya dan berdoa : "Allah Yang Menghidupkan dan mematikan, dan Dia
Maha Hidup tak akan mati, ampunilah dosa Ibuku Fathimah binti Asad, dan
bimbinglah hujjah nya (pertanyaan di kubur), dan luaskanlah atasnya
kuburnya, Demi Nabi Mu dan Demi para Nabi sebelum Mu, Sungguh Engkau
Maha Pengasih dari semua pemilik sifat kasih sayang.",Maka jelas sudah
dengan hadits ini pula bahwa Rasululloh saw bertawassul di kubur, kepada
para Nabi yang telah wafat, untuk mendoakan Bibi beliau saw (Istri Abu
Thalib).
Demikian
pula tawassul Sayyidina Umar bin Khattab ra. Beliau berdoa meminta
hujan kepada Allah : Wahai Allah.. kami telah bertawassul dengan Nabi
kami (saw) dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami bertawassul dengan
Paman beliau (saw) yang melihat beliau (saw), maka turunkanlah
hujan..".
maka
hujanpun turun. (Shahih Bukhari hadits no.963 dan hadits yang sama pada
Shahih Bukhari hadits no.3508).Umar bin Khattab ra melakukannya, para
sahabat tak menentangnya, demikian pula para Imam-Imam besar itu tak
satupun mengharamkannya, apalagi mengatakan musyrik bagi yang
mengamalkannya, hanyalah pendapat sekte sesat ini yang memusyrikkan
orang yang bertawassul, padahal Rasululloh saw sendiri bertawassul.
Apakah
mereka memusyrikkan Rasululloh saw?, dan Sayyidina Umar bin Khattab ra
bertawassul, apakah mereka memusyrikkan Umar?, Naudzubillah dari
pemahaman sesat ini.
Mengenai
pendapat sebagian dari mereka yang mengatakan bahwa tawassul hanya
boleh pada orang yang masih hidup, maka entah darimana pula mereka
mengarang persyaratan tawassul itu, dan mereka mengatakan bahwa orang
yang sudah mati tak akan dapat memberi manfaat lagi, pendapat yang
jelas-jelas datang dari pemahaman yang sangat dangkal, dan pemikiran
yang sangat buta terhadap kesucian tauhid. Jelas dan tanpa syak bahwa
tak ada satu makhlukpun dapat memberi manfaat dan mudharrat terkecuali
dengan izin Allah SWT, lalu mereka mengatakan bahwa makhluk hidup bisa
memberi manfaat, dan yang mati mustahil?, lalu dimana kesucian tauhid
dalam keimanan mereka?Tak ada perbedaan dari yang hidup dan yang mati
dalam memberi manfaat kecuali dengan izin Allah,
yang
hidup tak akan mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah, dan yang
mati pun bukan mustahil memberi manfaat bila dikehendaki Allah. karena
penafian kekuasaan Allah SWT atas orang yang mati adalah kekufuran yang
jelas.Ketahuilah bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati
atau yang hidup, tetapi berperantara kepada keshalihan seseorang, atau
kedekatan derajatnya kepada Allah swt, sesekali bukanlah manfaat dari
manusia,
tetapi
dari Allah Robbil alamin, yang telah memilih orang tersebut hingga ia
menjadi shalih, hidup atau mati tak membedakan Kudrat ilahi atau
membatasi kemampuan Allah, karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka
kepada Allah tetap abadi walau mereka telah wafat.Contoh lebih mudah nya
sbb, anda ingin melamar pekerjaan, atau mengemis, lalu anda mendatangi
seorang saudagar kaya, dan kebetulan mendiang tetangga anda yang telah
wafat adalah abdi setianya yang selalu dipuji oleh si saudagar, lalu
anda saat melamar pekerjaan atau mungkin mengemis pada saudagar itu,
anda berkata : "Berilah saya tuan.. (atau) terimalah lamaran saya tuan,
saya mohon.. saya adalah tetangga dekat fulan.
Bukankah
ini mengambil manfaat dari orang yang telah mati?, bagaimana dengan
pandangan bodoh yang mengatakan orang mati tak bisa memberi manfaat??,
jelas-jelas saudagar akan sangat menghormati atau menerima lamaran
pekerjaan anda, atau memberi anda uang lebih, karena anda menyebut nama
orang yang ia cintai, walau sudah wafat, tapi kecintaan si saudagar akan
terus selama saudagar itu masih hidup., pun seandainya ia tak memberi,
Namun harapan untuk dikabulkan akan lebih besar, lalu bagaimana dengan Arrahmaan Arrhiim, Yang Maha Pemurah dan Maha Menyantuni?? dan tetangga anda yang telah wafat tak bangkit dari kubur dan tak tahu menahu tentang lamaran anda pada si saudagar,
Semoga kiranya risalah yang kecil ini, dapat memenuhi harapan ihwanul muslimin, terutama jamaah Nahdlatul Ulama. Semoga risalah ini bermanfaat.
NAMUN ANDA MENDAPAT MANFAAT BESAR DARI ORANG YANG TELAH WAFAT.
17.Hukum Maulid Nabi
Tradisi
merayakan maulid Nabi SAW 12 Rabiul Awwal (sebagian ada yang mengatakan
9 Rabiul Awwal, juga ada yang mengatakan 17 Rabiul Awwal) tidak hanya
ada di Indonesia, tapi merata di hampir semua belahan dunia Islam.
Kalangan
awam di antara mereka barangkali tidak tahu asal-usul kegiatan ini.
Tetapi mereka yang sedikit mengerti hukum agama akan tahu bahwa perkara
ini tidak termasuk bid`ah yang sesat karena tidak terkait dengan ibadah
mahdhah atau ritual peribadatan dalam syariat.
Alasan di atas dapat dilihat dari bentuk isi acara maulid Nabi yang sangat bervariasi tanpa ada aturan yang baku. Semangatnya justru pada momentum untuk menyatukan gairah ke-Islaman. Mereka yang melarang peringatan maulid Nabi SAW sulit membedakan antara ibadah dengan syi’ar Islam. Ibadah adalah sesuatu yang baku (given/tauqifi) yang datang dari Allah SWT, tetapi syi’ar adalah sesuatu yang ijtihadi, kreasi umat Islam dan situasional serta mubah. Perlu dipahami, sesuatu yang mubah tidak semuanya dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Alasan di atas dapat dilihat dari bentuk isi acara maulid Nabi yang sangat bervariasi tanpa ada aturan yang baku. Semangatnya justru pada momentum untuk menyatukan gairah ke-Islaman. Mereka yang melarang peringatan maulid Nabi SAW sulit membedakan antara ibadah dengan syi’ar Islam. Ibadah adalah sesuatu yang baku (given/tauqifi) yang datang dari Allah SWT, tetapi syi’ar adalah sesuatu yang ijtihadi, kreasi umat Islam dan situasional serta mubah. Perlu dipahami, sesuatu yang mubah tidak semuanya dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Imam as-Suyuthi mengatakan dalam menananggapi hukum perayaan maulid Nabi SAW, “Menurut
saya asal perayaan maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca
al-Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai
perjalanan hidupnya. Kemudian dihidangkan makanan yang dinikmati
bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak
lebih. Semua itu tergolong bid’ah hasanah (sesuatu yang baik). Orang
yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW,
menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhamad saw
yang mulia.” (Al- Hawi Lil-Fatawa, juz I, h. 251-252)
Terkait dengan bid’ah, Imam Syafi’i menjelaskan, “Sesuatu
yang diada-adakan (dalam agama) ada dua macam: Sesuatu yang
diada-adakan (dalam agama) bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah Nabi
SAW, prilakuk sahabat, atau kesepakatan ulama maka termasuk bid’ah yang
sesat; adapun sesuatu yang diada-adakan adalah sesuatu yang baik dan
tidak menyalahi ketentuan (al Qur’an, Hadits, prilaku sahabat atau
Ijma’) maka sesuatu itu tidak tercela (baik).” (Fathul Bari, juz XVII: 10)
Membaca Sholawat
Membaca
shalawat adalah salah satu amalan yang disenangi orang-orang NU,
disamping amalan-amalan lain. Ada shalawat “Nariyah”, ada sholawat Badr,
ada “Thibbi Qulub”. Ada shalawat “Tunjina”, dan masih banyak lagi.
Belum lagi bacaan “hizib” dan “rawatib” yang tak terhitung banyaknya.
Semua itu mendorong semangat keagamaan dan cita-cita kepada Rasulullah
sekaligus ibadah.
Salah satu hadits yang membuat kita rajin membaca shalawat ialah sabda Rasulullah, “Siapa membaca shalawat untukku, Allah akan membalasnya 10 kebaikan, diampuni 10 dosanya, dan ditambah 10 derajat baginya. Makanya, bagi orang-orang NU, setiap kegiatan keagamaan bisa disisipi bacaan shalawat dengan segala ragamnya.
Hadits Ibnu Mundah dari Jabir, ia mengatakan Rasulullah SAW bersabda, “Siapa membaca shalawat kepadaku 100 kali maka Allah akan mengabulkan 100 kali hajatnya; 70 hajatnya di akhirat, dan 30 di dunia. Sampai kata-kata … dan hadits Rasulullah yang mengatakan: Perbanyaklah shalawat kepadaku karena dapat memecahkan masalah dan menghilangkan kesedihan. Demikian seperti tertuang dalam kitab an-Nuzhah.
Hadits Ibnu Mundah dari Jabir, ia mengatakan Rasulullah SAW bersabda, “Siapa membaca shalawat kepadaku 100 kali maka Allah akan mengabulkan 100 kali hajatnya; 70 hajatnya di akhirat, dan 30 di dunia. Sampai kata-kata … dan hadits Rasulullah yang mengatakan: Perbanyaklah shalawat kepadaku karena dapat memecahkan masalah dan menghilangkan kesedihan. Demikian seperti tertuang dalam kitab an-Nuzhah.
Rasulullah
di alam barzakh mendengar bacaan shalawat dan salam dan dia akan
menjawabnya sesuai jawaban yang terkait dari salam dan shalawat tadi.
Seperti tersebut dalam hadits. Rasulullah SAW bersabda: Hidupku, juga
matiku, lebih baik dari kalian. Kalian membicarakan dan juga
dibicarakan, amal-amal kalian disampaikan kepadaku; jika saya tahu amal
itu baik, aku memuji Allah, tetapi kalau buruk aku mintakan ampun kepada
Allah. (Hadits riwayat Al-hafizh Ismail Al-Qadhi, dalam bab shalawat ‘ala an-Nabi). Imam Haitami dalam kitab Majma’ az-Zawaid
meyakini bahwa hadits di atas adalah shahih. Hal ini jelas bahwa
Rasulullah memintakan ampun umatnya (istighfar) di alam barzakh.
Istighfar adalah doa, dan doa Rasul untuk umatnya pasti bermanfaat.
18. Dalil Membaca dzikir dan syair sebelum pelaksanaan shalat berjama'ah
Amalan ini adalah baik dan dianjurkan, dengan alasan.
1.
Dari sisi dalil, membaca syair di dalam masjid bukan merupakan sesuatu
yang dilarang oleh agama. Diriwayatkan dari Abu Dawud, Nasai, dan Ahmad,
pada masa Rasulullah SAW, para sahabat juga membaca syair di Dari
Sa'id bin Musayyab, ia berkata, “Suatu ketika Umar berjalan kemudian
bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di
masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku telah
melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih
mulia darimu.’ Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan
melanjutkan perkataannya.‘Bukankah engkau telah mendengarkan sabda
Rasulullah SAW, jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau
menguatkannya dengan Ruh al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya
Allah, benar (aku telah mendengarnya). ” Mengomentari hadits ini,
Syaikh Isma’il az-Zain menjelaskan adanya kebolehan melantunkan syair
yang berisi puji-pujian, nasihat, pelajaran tata krama dan ilmu yang
bermanfaat di dalam masjid. (Irsyadul Mu'minin ila Fadha'ili Dzikri Rabbil 'Alamin, hlm. 16).
2.
Dari sisi syiar dan penanaman akidah umat. Selain menambah syiar agama,
amaliah ini merupakan strategi yang sangat jitu untuk menyebarkan
ajaran Islam di tengah masyarakat.
19. Berzikir dengan pengeras suara
Dzikir
adalah perintah Allah SWT yang harus kita laksanakan setiap saat,
dimanapun dan kapanpun. Oleh karena itu, dzikir harus dilaksanakan
dengan sepenuh hati, jiwa yang tulus, dan khusyu' penuh khidmat. Untuk
bisa berdzikir dengan hati yang khusyu' itu diperlukan perjuangan yang
tidak ringan, masing-masing orang memiliki cara tersendiri. Bisa jadi
satu orang lebih khusyu' kalau berdzikir dengan cara duduk menghadap
kiblat, sementara yang lain akan lebih khusyu' dan khidmat jika wirid
dzikir dengan cara berdiri atau berjalan, ada pula dengan cara
mengeraskan dzikir atau dengan cara dzikir pelan dan hampir tidak
bersuara untuk mendatangkan konsentrasi dan ke-khusyu'-an. Maka cara
dzikir yang lebih utama adalah melakukan dzikir pada suasana dan cara
yang dapat medatangkan ke-khusyu’-an.
Imam Zainuddin al-Malibari menegaskan: “Disunnahkan
berzikir dan berdoa secara pelan seusai shalat. Maksudnya, hukumnya
sunnah membaca dzikir dan doa secara pelan bagi orang yang shalat
sendirian, berjema’ah, imam yang tidak bermaksud mengajarkannya dan
tidak bermaksud pula untuk memperdengarkan doanya supaya diamini mereka." (Fathul Mu’in:
24). Berarti kalau berdzikir dan berdoa untuk mengajar dan membimbing
jama’ah maka hukumnya boleh mengeraskan suara dzikir dan doa.
Memang
ada banyak hadits yang menjelaskan keutamaan mengeraskan bacaan dzikir,
sebagaimana juga banyak sabda Nabi SAW yang menganjurkan untuk
berdzikir dengan suara yang pelan. Namun sebenarnya hadits itu tidak
bertentangan, karena masing-masing memiliki tempatnya sendiri-sendiri.
Yakni disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Contoh hadits yang
menganjurkan untuk mengeraskan dzikir riwayat Ibnu Abbas berikut ini, "Aku
mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dan berdoa dengan suara keras)
apabila mereka selesai melaksanakan shalat dan hendak meninggalkan
masjid.” (HR Bukhari dan Muslim). Ibnu Adra’ berkata, "Pernah
Saya berjalan bersama Rasulullah SAW lalu bertemu dengan seorang
laki-laki di Masjid yang sedang mengeraskan suaranya untuk berdzikir.
Saya berkata, wahai Rasulullah mungkin dia (melakukan itu) dalam keadaan
riya'. Rasulullah SAW menjawab, "Tidak, tapi dia sedang mencari ketenangan." Hadits lainnya justru menjelaskan keutamaan berdzikir secara pelan. Sa'd bin Malik meriwayatkan Rasulullah saw bersabda, "Keutamaan dzikir adalah yang pelan (sirr), dan sebaik rizki adalah sesuatu yang mencukupi." Bagaimana menyikapi dua hadits yang seakan-akan kontradiktif itu. berikut penjelasan Imam Nawawi:
Imam Nawawi menkompromikan (al jam’u wat taufiq)
antara dua hadits yang mensunnahkan mengeraskan suara dzikir dan hadist
yang mensunnahkan memelankan suara dzikir tersebut, bahwa memelankan
dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya', mengganggu
orang yang shalat atau orang tidur, dan mengeraskan dzikir lebih utama
jika lebih banyak mendatangkan manfaat seperti agar kumandang dzikir itu
bisa sampai kepada orang yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati
orang yang lalai, terus merenungkan dan menghayati dzikir,
mengkonsentrasikan pendengaran jama’ah, menghilangkan ngantuk serta
menambah semangat." (Ruhul Bayan, Juz III: h. 306).
20. Hukum Meng-Hadiah-kan Fatihah
Di antara tradisi umat Islam adalah membaca surat al-Fatihah dan menghadiahkan pahalanya untuk Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. Para ulama mengatakan bahwa hukum perbuatan ini adalah boleh. Ibnu 'Aqil, salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali mengatakan, "Disunnahkan menghadiahkan bacaan Al-Qur'an kepada Nabi SAW.”
Bukankah
seorang yang kamil (tinggi derajatnya) memungkinkan untuk bertambah
ketinggian derajat dan kesempurnaannya. Dalil sebagian orang yang
melarang bahwa perbuatan ini adalah tahshilul hashil (percuma) karena
semua semua amal umatnya otorrntis masuk dalam timbahan amal Rasulullah,
jawabannya adalah bahwa ini bukanlah masalah. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan
dalam Al-Qur'an bahwa Ia bershalawat terhadap Nabi SAW kemudian Allah
memerintahkan kita untuk bershalawat kepada Nabi.
Al Muhaddits Syekh Abdullah al-Ghumari dalam kitabnya Ar-Raddul Muhkam al-Matin, hhm. 270, mengatakan, "Menurut
saya boleh saja seseorang menghadiahkan bacaan Al-Qu'an atau yang lain
kepada baginda Nabi SAW, meskipun beliau selalu mendapatkan pahala semua
kebaikan yang dilakukan oleh umatnya, karena memang tidak ada yang
melarang hal tersebut. Bahwa para sahabat tidak melakukannya, hal ini
tidak menunjukkan bahwa itu dilarang.”
21.Hukum Bacaan al-Qur’an, Doa (Tahlil) dan Jamuan makan untuk orang mati
Dalam
hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an,
tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan
alasan dalilnya, sebagai berikut, “Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39). Juga hadits Nabi Muhammad SAW, “Jika
anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga
perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh
yang mendo’akan dia.”
Mereka
sepertinya, hanya secara parsial memahami kedua dalil di atas, tanpa
menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka
ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi
orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits
Rasulullah SAW beberapa di antaranya, “Dan orang-orang yang datang
setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah
saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10) Dalam hadith dijelaskan, “Bertanya
seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya
telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah
untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).
Di
dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa surat Al-Najm
ayat 39 di atas diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam
diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata, “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akhera.t”
Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang
tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah
dikerjakan, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang
lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.
Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,” mereka
itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat
manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup.
Dr. Ahmad as-Syarbashi, guru besar pada Universitas al-Azhar, dalam kitabnya, Yas`aluunaka fid Diini wal Hayaah juz
1 : 442, sebagai berikut, “Sungguh para ahli fiqh telah berargumentasi
atas kiriman pahala ibadah itu dapat sampai kepada orang yang sudah
meninggal dunia, dengan hadist bahwa sesungguhnya ada salah seorang
sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, seraya berkata: Wahai
Rasulullah, sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami yang sudah
mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi mereka;
apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada mereka? Rasulullah saw
bersabda: Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu benar-benar akan sampai
kepada mereka dan sesungguhnya mereka itu benar-benar bergembira dengan
kiriman pahala tersebut, sebagaimana salah seorang dari kamu sekalian
bergembira dengan hadiah apabila hadiah tersebut dikirimkan kepadanya!"
Sedangkan
Memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang meninggal, hukumnya
boleh (mubah), dan menurut mayoritas ulama bahwa memberi jamuan itu
termasuk ibadah yang terpuji dan dianjurkan. Sebab, jika dilihat dari
segi jamuannya termasuk sedekah yang dianjurkan oleh Islam yang
pahalanya dihadiahkan pada orang telah meninggal. Dan lebih dari itu,
ada tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu ikramud dla`if (menghormati tamu), bersabar menghadapi musibah dan tidak menampakkan rasa susah dan gelisah kepada orang lain.
22. Tahlilan/Kenduri Arwah, Mana dalilnya?
Acara
tahlilan, biasanya berisikan acara pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an,
dzikir(Tasbih, tahmid, takbir, tahlil, istighfar, dll), Sholawat dan
lain sebagainya yg bertujuan supaya amalan tsb, selain untuk yang
membacanya juga bisa bermanfaan bagi si mayit.
Berikut
kami sampaikan beberapa dalil yang menerangkan sampainya amalan tsb
(karena keterbatasan ruang & waktu maka kami sampaikan sementara
dalil yg dianggap urgen saja, Insya Alloh akan disambung karena masih
ada beberapa dalil hadits & pendapat ulama terutama ulama yang
sering dijadikan sandaran sodara kita yg tidak menyetujui adanya acara
tahlilan diantaranya pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah, Imam Ibnul
Qoyyim, Imam As-Saukani dll..
DALIL SAMPAINYA AMALIYAH BAGI MAYIT
1. Dalil Alqur’an:
Artinya:”
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor),
mereka berdo’a :” Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudar-saudar
kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami” (QS Al Hasyr: 10)
Dalam
ayat ini Allah SWT menyanjung orang-orang yang beriman karena mereka
memohonkan ampun (istighfar) untuk orang-orang beriman sebelum mereka.
Ini menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal dapat manfaat dari
istighfar orang yang masih hidup.
2. Dalil Hadits
a. Dalam hadits banyak disebutkan do’a tentang shalat jenazah, do’a setelah mayyit dikubur dan do’a ziarah kubur.
Tentang do’a shalat jenazah antara lain, Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:”
Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW –
setelah selesai shalat jenazah-bersabda:” Ya Allah ampunilah dosanya,
sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat
tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air
embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih
dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari
tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan
yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur
dan siksa neraka” (HR Muslim).
Tentang do’a setelah mayyit dikuburkan, Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:
Dari Ustman bin ‘Affan ra berkata:” Adalah Nabi SAW apabila selesai
menguburkan mayyit beliau beridiri lalu bersabda:” mohonkan ampun untuk
saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena sekarang dia
sedang ditanya” (HR Abu Dawud)
Sedangkan tentang do’a ziarah kubur antara lain diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW:
Artinya:”
bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur ?
Rasul SAW menjawab, “Ucapkan: (salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada
ahli kubur baik mu’min maupun muslim dan semoga Allah memberikan rahmat
kepada generasi pendahulu dan generasi mendatang dan sesungguhnya
–insya Allah- kami pasti menyusul) (HR Muslim).
b. Dalam Hadits tentang sampainya pahala shadaqah kepada mayyit
Artinya:
Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia
ketika ia tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW unntuk
bertanya:” Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal
sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya
bermanfaat baginya ? Rasul SAW menjawab: Ya, Saad berkata:” saksikanlah
bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya” (HR Bukhari).
c. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Saum
Artinya:
Dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:” Barang siapa yang
meninggal dengan mempunyai kewajiban shaum (puasa) maka keluarganya
berpuasa untuknya”(HR Bukhari dan Muslim)
d. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Haji
Artinya:Dari
Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi
SAW dan bertanya:” Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum
terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya ?
rasul menjawab: Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang,
apakah kamu membayarnya ? bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah
lebih berhak untuk dibayar (HR Bukhari)
3. Dalil Ijma’
a. Para ulama sepakat bahwa do’a dalam shalat jenazah bermanfaat bagi mayyit.
b.
Bebasnya utang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan
keluarga. Ini berdasarkan hadits Abu Qotadah dimana ia telah menjamin
untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah
membayarnya nabi SAW bersabda:
Artinya:” Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya” (HR Ahmad)
4. Dalil Qiyas
Pahala
itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada
saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ada halangan sebagaimana
tidak dilarang menghadiahkan harta untuk orang lain di waktu hidupnya
dan membebaskan utang setelah wafatnya.
Islam
telah memberikan penjelasan sampainya pahala ibadah badaniyah seperti
membaca Alqur’an dan lainnya diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena
puasa adalah menahan diri dari yang membatalkan disertai niat, dan itu
pahalanya bisa sampai kepada mayyit. Jika demikian bagaimana tidak
sampai pahala membaca Alqur’an yang berupa perbuatan dan niat.
Adapun
dalil yang menerangkan shadaqah untuk mayit pada hari-hari tertentu
seperti hari ke satu, dua sampai dengan ke tujuh bahkan ke-40 yaitu
hadits marfu’ mursal dari tiga orang tabi`ien yaitu Thaus, Ubaid bin
Umair dan Mujahid yang dapat dijadikan qaid kepada hadits-hadits mutlak
(tidak ada qaid hari-hari untuk bershadaqah untuk mayit) di atas:
a. Riwayat Thaus :
Bahwa
orang-orang mati itu akan dilakukan fitnah di dalam quburan mereka
tujuh hari. Maka adalah mereka itu menganjurkanuntuk memberi shadaqah
makanan atas nama mereka selama hari-hari itu.
b. Sebagai tambahan dari riwayat Ubaid bin Umair:
Dilakukan
fitnah qubur terhadap dua golongan orang yaitu orang mukmin dan orang
munafiq. Adapun terhadap orang mukmin dilakukan tujuh hari dan terhadap
orang munafiq dilakukan 40 hari.
c. Ada lagi tambahan dalam riwayat Mujahid yaitu
Ruh-ruh itu berada diatas pekuburan selamatujuh hari, sejak dikuburkan tidak memisahinya.
Kemudian
dalam beberapa hadits lain menyatakan bahwa kedua malaikat Munkar dan
Nakir itu mengulangi pertanyaan-pertanyaan tiga kali dalam satu waktu.
Lebih jelas dalam soal ini dapat dibaca dalam buku “Thulu’ ats-tsuraiya
di izhaari makana khafiya” susunan al Imam Suyuty dalam kitab “ Al-Hawi
lil fatawiy” jilid II.
Wallohu a’lam bi shawwab.
Tambahan:
Sampainya Hadiah Bacaan Al-qur’an untuk mayyit (Orang Mati)
A. Dalil-dalil Hadiah Pahala Bacaan
1. Hadits tentang wasiat ibnu umar tersebut dalam syarah aqidah Thahawiyah Hal :458 :
“
Dari ibnu umar Ra. : “Bahwasanya Beliau berwasiat agar diatas kuburnya
nanti sesudah pemakaman dibacakan awa-awal surat albaqarah dan akhirnya.
Dan dari sebagian muhajirin dinukil juga adanya pembacaan surat
albaqarah”
Hadits
ini menjadi pegangan Imam Ahmad, padaha imam Ahmad ini sebelumnya
termasuk orang yang mengingkari sampainya pahala dari orang hidup kepada
orang yang sudah mati, namun setelah mendengar dari orang-orang
kepercayaan tentang wasiat ibnu umar tersebut, beliau mencabut
pengingkarannya itu. (mukhtasar tadzkirah qurtubi halaman 25).
Oleh
karena itulah, maka ada riwayat dari imam Ahmad bin Hnbal bahwa beliau
berkata : “ Sampai kepada mayyit (pahala) tiap-tiap kebajikan karena ada
nash-nash yang dating padanya dan juga karena kaum muslimin (zaman
tabi’in dan tabiuttabi’in) pada berkumpul disetiap negeri, mereka
membaca al-qur’an dan menghadiahkan (pahalanya) kepada mereka yang sudah
meninggal, maka jadialah ia ijma . (Yasaluunaka fid din wal hayat oleh
syaikh DR Ahmad syarbasy Jilid III/423).
2. Hadits dalam sunan Baihaqi danan isnad Hasan
“ Bahwasanya Ibnu umar menyukai agar dibaca keatas pekuburan sesudah pemakaman awal surat albaqarah dan akhirnya”
Hadits
ini agak semakna dengan hadits pertama, hanya yang pertama itu adalah
wasiat seadangkan ini adalah pernyataan bahwa beliau menyukai hal
tersebut.
3. Hadits Riwayat darulqutni
“Barangsiapa
masuk kepekuburan lalu membaca qulhuwallahu ahad (surat al ikhlash) 11
kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah
mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang
mati disitu”.
4. Hadits marfu’ Riwayat Hafidz as-salafi
“
Barangsiapa melewati pekuburan lalu membaca qulhuwallahu ahad (surat al
ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang
yang telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak
orang yang mati disitu”.
(Mukhtasar Al-qurtubi hal. 26).
5. Hadits Riwayat Thabrani dan Baihaqi
“Dari
Ibnu Umar ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika mati salah seorang
dari kamu, maka janganlah menahannya dan segeralah membawanya ke kubur
dan bacakanlah Fatihatul kitab disamping kepalanya”.
6. Hadits riwayat Abu dawud, Nasa’I, Ahmad dan ibnu Hibban:
“Dari ma’qil bin yasar dari Nabi SAW., Beliau bersabda: “Bacakanlah surat yaasin untuk orang yang telah mati diantara kamu”.
B. Fatwa Ulama Tentang Sampainya Hadiah Pahala Bacaan kepada Mayyit
1. Berkata Muhammad bin ahmad al-marwazi :
“Saya
mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “Jika kamu masuk ke
pekuburan, maka bacalah Fatihatul kitab, al-ikhlas, al falaq dan an-nas
dan jadikanlah pahalanya untuk para penghuni kubur, maka sesungguhnya
pahala itu sampai kepada mereka. Tapi yang lebih baik adalah agar
sipembaca itu berdoa sesudah selesai dengan: “Ya Allah, sampaikanlah
pahala ayat yang telah aku baca ini kepada si fulan…” (Hujjatu Ahlis
sunnah waljamaah hal. 15)
2. Berkata Syaikh aIi bin Muhammad Bin abil lz :
“Adapun
Membaca Al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang mati
secara sukarela dan tanpa upah, maka pahalanya akan sampai kepadanya
sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji”. (Syarah aqidah Thahawiyah
hal. 457).
3. Berkata Ibnu taymiyah :
“sesungguhnya
mayyit itu dapat beroleh manfaat dengan ibadah-ibadah kebendaan seperti
sedekah dan seumpamanya”. (yas alunka fiddin wal hayat jilid I/442).
Di
atas adalah kitab ibnu taimiah berjudul majmuk fatawa jilid 24 pada
mukasurat 324. Ibnu taimiah ditanya mengenai seseorang yang bertahlil,
bertasbih,bertahmid,bertakbir dan menyampaikan pahala tersebut kepada
simayat muslim lantas ibnu taimiah menjawab amalan tersebut sampai
kepada si mayat dan juga tasbih,takbir dan lain-lain zikir sekiranya
disampaikan pahalanya kepada si mayat maka ianya sampai dan bagus serta
baik.
Manakala Wahhabi menolak dan menkafirkan amalan ini.
Di
atas pula adalah kitab ibnu tamiah berjudul majmuk fatawa juzuk 24 pada
mukasurat 324.ibnu taimiah di tanya mengenai seorang yang bertahlil
70000 kali dan menghadiahkan kepada si mayat muslim lantas ibnu taimiah
mengatakan amalan itu adalah amat memberi manafaat dan amat baik serta
mulia.
4. Berkata Ibnu qayyim al-jauziyah:
“sesuatu
yang paling utama dihadiahkan kepada mayyit adalah sedekah, istighfar,
berdoa untuknya dan berhaji atas nama dia. Adapun membaca al-qur’an dan
menghadiahkan pahalanya kepada mayyit secara sukarela dan tanpa imbalan,
maka akan sampai kepadanya sebagaimana pahala puasa dan haji juga
sampai kepadanya (yasaaluunaka fiddin wal hayat jilid I/442)
Berkata
Ibnu qayyim al-jauziyah dalam kitabnya Ar-ruh : “Al Khallal dalam
kitabnya Al-Jami’ sewaktu membahas bacaan al-qur’an disamping kubur”
berkata : Menceritakan kepada kami Abbas bin Muhammad ad-dauri,
menceritakan kepada kami yahya bin mu’in, menceritakan kepada kami
Mubassyar al-halabi, menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ala’ bin
al-lajlaj dari bapaku : “ Jika aku telah mati, maka letakanlah aku di
liang lahad dan ucapkanlah bismillah dan baca permulaan surat al-baqarah
disamping kepalaku karena seungguhnya aku mendengar Abdullah bin Umar
berkata demikian.
Ibnu
qayyim dalam kitab ini pada halaman yang sama : “Mengabarkan kepadaku
Hasan bin Ahmad bin al-warraq, menceritakan kepadaku Ali-Musa Al-Haddad
dan dia adalah seorang yang sangat jujur, dia berkata : “Pernah aku
bersama Ahmad bin Hanbal, dan Muhammad bin Qudamah al-juhairi menghadiri
jenazah, maka tatkala mayyit dimakamkan, seorang lelaki kurus duduk
disamping kubur (sambil membaca al-qur’an). Melihat ini berkatalah imam
Ahmad kepadanya: “Hai sesungguhnya membaca al-qur’an disamping kubur
adalah bid’ah!”. Maka tatkala kami keluar dari kubur berkatalah imam
Muhammad bin qudamah kepada imam ahmad bin Hanbal : “Wahai abu abdillah,
bagaimana pendapatmu tentang Mubassyar al-halabi?. Imam Ahmad menjawab :
“Beliau adalah orang yang tsiqah (terpercaya), apakah engkau
meriwayatkan sesuatu darinya?. Muhammad bin qodamah berkata : Ya,
mengabarkan kepadaku Mubasyar dari Abdurahman bin a’la bin al-laj-laj
dari bapaknya bahwa dia berwasiat apabila telah dikuburkan agar
dibacakan disamping kepalanya permulaan surat al-baqarah dan akhirnya
dan dia berkata : “aku telah mendengar Ibnu Umar berwasiat yang demikian
itu”. Mendengar riwayat tersebut Imam ahmad berkata : “Kembalilah dan
katakan kepada lelaki itu agar bacaannya diteruskan (Kitab ar-ruh, ibnul
qayyim al jauziyah).
5.
Berkata Sayaikh Hasanain Muhammad makhluf, Mantan Mufti negeri mesir : “
Tokoh-tokoh madzab hanafi berpendapat bahwa tiap-tiap orang yang
melakukan ibadah baik sedekah atau membaca al-qur’an atau selain
demikian daripada macam-macam kebaikan, boleh baginya menghadiahkan
pahalanya kepada orang lain dan pahalanya itu akan sampai kepadanya.
6.
Imam sya’bi ; “Orang-orang anshar jika ada diantara mereka yang
meninggal, maka mereka berbondong-bondong ke kuburnya sambil membaca
al-qur’an disampingnaya”. (ucapan imam sya’bi ini juga dikutip oleh ibnu
qayyim al jauziyah dalam kitab ar-ruh hal. 13).
7.
Berkata Syaikh ali ma’sum : “Dalam madzab maliki tidak ada khilaf dalam
hal sampainya pahala sedekah kepada mayyit. Menurut dasar madzab,
hukumnya makruh. Namun ulama-ulama mutakhirin berpendapat boleh dan
dialah yang diamalkan. Dengan demikian, maka pahala bacaan tersebut
sampai kepada mayyit dan ibnu farhun menukil bahwa pendapat inilah yang
kuat”. (hujjatu ahlisunnah wal jamaah halaman 13).
8.
Berkata Allamah Muhammad al-arobi: Sesungguhnya membaca al-qur’an untuk
orang-orang yang sudah meninggak hukumnya boleh (Malaysia : Harus) dan
sampainya pahalanya kepada mereka menurut jumhur fuqaha islam Ahlusunnah
wal-jamaah walaupun dengan adanya imbalan berdasarkan pendapat yang
tahqiq . (kitab majmu’ tsalatsi rosail).
9.
Berkata imam qurtubi : “telah ijma’ ulama atas sampainya pahala sedekah
untuk orang yang sudah mati, maka seperti itu pula pendapat ulama dalam
hal bacaan al-qur’an, doa dan istighfar karena masing-masingnya
termasuk sedekah dan dikuatkan hal ini oleh hadits : “Kullu ma’rufin
shadaqah / (setiapkebaikan adalah sedekah)”. (Tadzkirah al-qurtubi
halaman 26).
Begitu
banyaknya Imam-imam dan ulama ahlusunnah yang menyatakan sampainya
pahala bacaan alqur’an yang dihadiahkan untuk mayyit (muslim), maka
tidak lah kami bisa menuliskan semuanya dalam risalah ini karena
khawatir akan terlalu panjang.
C. Dalam Madzab Imam syafei
Untuk
menjelaskan hal ini marilah kita lihat penuturan imam Nawawi dalam
Al-adzkar halaman 140 : “Dalam hal sampainya bacaan al-qur’an para ulama
berbeda pendapat. Pendapat yang masyhur dari madzab Syafei dan
sekelompok ulama adalah tidak sampai. Namun menurut Imam ahmad bin
Hanbal dan juga Ashab Syafei berpendapat bahwa pahalanya sampai. Maka
lebih baik adalah si pembaca menghaturkan doa : “Ya Allah sampaikanlah
bacaan yat ini untuk si fulan…….”
Tersebut
dalam al-majmu jilid 15/522 : “Berkata Ibnu Nahwi dalam syarah Minhaj:
“Dalam Madzab syafei menurut qaul yang masyhur, pahala bacaan tidak
sampai. Tapi menurut qaul yang Mukhtar, adalah sampai apabila dimohonkan
kepada Allah agar disampaikan pahala bacaan terbut. Dan seyogyanya
memantapkan pendapat ini karena dia adalah doa. Maka jika boleh berdoa
untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh si pendoa, maka
kebolehan berdoa denagn sesuatu yang dimiliki oleh si pendoa adalah
lebih utama”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam madzab syafei terdapat dua qaul dalam hal pahala bacaan :
1. Qaul yang masyhur yakni pahala bacaan tidak sampai
2. Qaul yang mukhtar yakni pahala bacaan sampai.
Dalam
menanggapai qaul masyhur tersebut pengarang kitab Fathul wahhab yakni
Syaikh Zakaria Al-anshari mengatakan dalam kitabnya Jilid II/19 :
“Apa
yang dikatakan sebagai qaul yang masyhur dalam madzab syafii itu dibawa
atas pengertian : “Jika alqur’an itu tidak dibaca dihadapan mayyit dan
tidak pula meniatkan pahala bacaan untuknya”.
Dan
mengenai syarat-syarat sampainya pahala bacaan itu Syaikh Sulaiman
al-jamal mengatakan dalam kitabnya Hasiyatul Jamal Jilid IV/67 :
“Berkata
syaikh Muhammad Ramli : Sampai pahala bacaan jika terdapat salah satu
dari tiga perkara yaitu : 1. Pembacaan dilakukan disamping kuburnya, 2.
Berdoa untuk mayyit sesudah bacaan Al-qur’an yakni memohonkan agar
pahalanya disampaikan kepadanya, 3. Meniatkan samapainya pahala bacaan
itu kepadanya”.
Hal senada juga diungkapkan oleh Syaikh ahmad bin qasim al-ubadi dalam hasyiah Tuhfatul Muhtaj Jilid VII/74 :
“Kesimpulan
Bahwa jika seseorang meniatkan pahala bacaan kepada mayyit atau dia
mendoakan sampainya pahala bacaan itu kepada mayyit sesudah membaca
Al-qur’an atau dia membaca disamping kuburnya, maka hasilah bagi mayyit
itu seumpama pahala bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang
membacanya”.
Namun Demikian akan menjadi lebih baik dan lebih terjamin jika ;
1. Pembacaan yang dilakukan dihadapan mayyit diiringi pula dengan meniatkan pahala bacaan itu kepadanya.
2.
Pembacaan yang dilakukan bukan dihadapan mayyit agar disamping
meniatkan untuk simayyit juga disertai dengan doa penyampaian pahala
sesudah selesai membaca.
Langkah
seperti ini dijadikan syarat oleh sebagian ulama seperti dalam kitab
tuhfah dan syarah Minhaj (lihat kitab I’anatut Tahlibin Jilid III/24).
D. Dalil-dalil orang yang membantah adanya hadiah pahala dan jawabannya
1. Hadis riwayat muslim :
“Jika
manusia, maka putuslah amalnya kecuali tiga : sedekah jariyah, ilmu
yang bermanfaat atau anak shaleh yang selalu mendoakan orang tuanya”
Jawab
: Tersebut dalam syarah Thahawiyah hal. 456 bahwa sangat keliru
berdalil dengan hadist tersebut untuk menolak sampainya pahala kepada
orang yang sudah mati karena dalam hadits tersebut tidak dikatakan : “inqata’a intifa’uhu (terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat). Hadits itu hanya mengatakan “inqatha’a ‘amaluhu (terputus amalnya)”. Adapun
amal orang lain, maka itu adalah milik (haq) dari amil yakni orang yang
mengamalkan itu kepadanya maka akan sampailah pahala orang yang
mengamalkan itu kepadanya. Jadi sampai itu pahala amal si mayyit itu.
Hal ini sama dengan orang yang berhutang lalu dibayarkan oleh orang
lain, maka bebaslah dia dari tanggungan hutang. Akan tetapi bukanlah
yang dipakai membayar utang itu miliknya. Jadi terbayarlah hutang itu
bukan oleh dia telah memperoleh manfaat (intifa’) dari orang lain.
2. Firman Allah surat an-najm ayat 39 :
“ Atau belum dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang diusahakannya”.
Jawab
: Banyak sekali jawaban para ulama terhadap digunakannya ayat tersebut
sebagai dalil untuk menolak adanya hadiah pahala. Diantara
jawaban-jawaban itu adalah :
a. Dalam syarah thahawiyah hal. 1455 diterangkan dua jawaban untuk ayat tersebut :
1.
Manusia dengan usaha dan pergaulannya yang santun memperoleh banyak
kawan dan sahabat, melahirkan banyak anak, menikahi beberapa isteri
melakukan hal-hal yang baik untuk masyarakat dan menyebabkan orang-orang
cinta dan suka padanya. Maka banyaklah orang-orang itu yang
menyayanginya.
Merekapun
berdoa untuknya dan mengahadiahkan pula pahala dari ketaatan-ketaatan
yang sudah dilakukannya, maka itu adalah bekas dari usahanya sendiri.
Bahkan masuknya seorang muslim bersama golongan kaum muslimin yang lain
didalam ikatan islam adalah merupakan sebab paling besar dalam hal
sampainya kemanfaatan dari masing-masing kaum muslimin kepada yang
lainnya baik didalam kehidupan ini maupun sesudah mati nanti dan doa
kaum muslimin yang lain.
Dalam
satu penjelasan disebutkan bahwa Allah SWT menjadikan iman sebagai
sebab untuk memperoleh kemanfaatan dengan doa serta usaha dari kaum
mukminin yang lain. Maka jika seseorang sudah berada dalam iman, maka
dia sudah berusaha mencari sebab yang akan menyampaikannya kepada yang
demikian itu. (Dengan demikian pahala ketaatan yang dihadiahkan
kepadanya dan kaum mukminin sebenarnya bagian dari usahanya sendiri).
2.
Ayat al-qur’an itu tidak menafikan adanya kemanfaatan untuk seseorang
dengan sebab usaha orang lain. Ayat al-qur’an itu hanya menafikan
“kepemilikan seseorang terhadap usaha orang lain”. Allah SWT hanya
mengabarkan bahwa “laa yamliku illa sa’yah (orang itu tidak akan
memiliki kecuali apa yang diusahakan sendiri).
Adapun
usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang
mengusahakannya. Jika dia mau, maka dia boleh memberikannya kepada orang
lain dan pula jika ia mau, dia boleh menetapkannya untuk dirinya
sendiri. (jadi huruf “lam” pada lafadz “lil insane” itu adalah “lil
istihqaq” yakni menunjukan arti “milik”).
Demikianlah dua jawaban yang dipilih pengarang kitab syarah thahawiyah.
b. Berkata pengarang tafsir Khazin :
“Yang
demikian itu adalah untuk kaum Ibrahin dan musa. Adapun ummat islam
(umat Nabi Muhammad SAW), maka mereka bias mendapat pahala dari usahanya
dan juga dari usaha orang lain”.
Jadi
ayat itu menerangkan hokum yang terjadi pada syariat Nabi Musa dan Nabi
Ibrahim, bukan hukum dalam syariat nabi Muhammad SAW. Hal ini
dikarenakan pangkal ayat tersebut berbunyi :
“ Atau belum dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang diusahakannya”.
c. Sahabat Nabi, Ahli tafsir yang utama Ibnu Abbas Ra. Berkata dalam menafsirkan ayat tersebut :
“
ayat tersebut telah dinasakh (dibatalkan) hukumnya dalam syariat kita
dengan firman Allah SWT : “Kami hubungkan dengan mereka anak-anak
mereka”, maka dimasukanlah anak ke dalam sorga berkat kebaikan yang
dibuat oleh bapaknya’ (tafsir khazin juz IV/223).
Firman
Allah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas Ra sebagai penasakh surat an-najm
ayat 39 itu adalah surat at-thur ayat 21 yang lengkapnya sebagai berikut
:
“Dan
orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dengan
iman, maka kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka dan
tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap orang terikat
dengan apa yang dikerjakannya”.
Jadi menurut Ibnu abbas, surat an-najm ayat 39 itu sudah terhapus hukumnya, berarti sudah tidak bias dimajukan sebagai dalil.
d. Tersebut dalam Nailul Authar juz IV ayat 102 bahwa kata-kata : “Tidak
ada seseorang itu…..” Maksudnya “tidak ada dari segi keadilan (min
thariqil adli), adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka ada
bagi seseorang itu apa yang tidak dia usahakan.
Demikianlah
penafsiran dari surat An-jam ayat 39. Banyaknya penafsiran ini adalah
demi untuk tidak terjebak kepada pengamalan denganzhahir ayat
semata-mata karena kalau itu dilakukan, maka akan banyak sekali
dalil-dalil baik dari al-qur’an maupun hadits-hadits shahih yang
ditentang oleh ayat tersebut sehingga menjadi gugur dan tidak bias
dipakai sebagai dalil.
3. Dalil mereka dengan Surat al-baqarah ayat 286 :
“Allah
tidak membebani seseorang kecuali dengan kesanggupannya. Baginya apa
yang dia usahakan (daripada kebaikan) dan akan menimpanya apa yang dia
usahakan (daripada kejahatan)”.
Jawab : Kata-kata “laha maa kasabat” menurut ilmu balaghah tidak mengandung unsur hasr (pembatasan). Oleh karena itu artinya cukup dengan : “Seseorang mendapatkan apa yang ia usahakan”.
Kalaulah artinya demikian ini, maka kandungannya tidaklah menafikan
bahwa dia akan mendapatkan dari usaha orang lain. Hal ini sama dengan
ucapan : “Seseorang akan memperoleh harta dari usahanya”. Ucapan
ini tentu tidak menafikan bahwa seseorang akan memperoleh harta dari
pusaka orang tuanya, pemberian orang kepadanya atau hadiah dari sanak
familinya dan para sahabatnya. Lain halnya kalau susunan ayat tersebut
mengandung hasr (pembatasan) seperti umpamanya :
“laisa laha illa maa kasabat”
“Tidak ada baginya kecuali apa yang dia usahakan atau seseorang hanya mendapat apa yang ia usahakan”.
4. Dalil mereka dengan surat yasin ayat 54 :
“ Tidaklah mereka diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”.
Jawab : Ayat ini tidak menafikan hadiah pahala terhadap orang lain karena pangkal ayat tersebut adalah :
“Pada
hari dimana seseorang tidak akan didhalimi sedikitpun dan seseorang
tidak akan diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”
Jadi
dengan memperhatikan konteks ayat tersebut dapatlah dipahami bahwa yang
dinafikan itu adalah disiksanya seseorang sebab kejahatan orang lain,
bukan diberikannya pahala terhadap seseorang dengan sebab amal kebaikan
orang lain (Lihat syarah thahawiyah hal. 456).
(ringkasan
dari Buku argumentasi Ulama syafi’iyah terhadap tuduhan bid’ah,Al
ustadz haji Mujiburahman, halaman 142-159, mutiara ilmu)
Semoga menjadi asbab hidayah bagi Ummat
23.Hukum Membaca Al-Barzanji
Di Indonesia, peringatan Maulid Nabi (orang banjar menyebutnya *Ba-Mulud’an*)
sudah melembaga bahkan ditetapkan sebagai hari libur nasional. Setiap
memasuki Rabi’ul Awwal, berbagai ormas Islam, masjid, musholla, institusi
pendidikan, dan majelis taklim bersiap memperingatinya dengan beragam cara
dan acara; dari sekadar menggelar pengajian kecil-kecilan hingga seremoni
akbar dan bakti sosial, dari sekadar diskusi hingga ritual-ritual yang sarat
tradisi (lokal).
sudah melembaga bahkan ditetapkan sebagai hari libur nasional. Setiap
memasuki Rabi’ul Awwal, berbagai ormas Islam, masjid, musholla, institusi
pendidikan, dan majelis taklim bersiap memperingatinya dengan beragam cara
dan acara; dari sekadar menggelar pengajian kecil-kecilan hingga seremoni
akbar dan bakti sosial, dari sekadar diskusi hingga ritual-ritual yang sarat
tradisi (lokal).
Di antara yang berbasis tradisi adalah:
*Manyanggar Banua, Mapanretasi di Pagatan, Ba’Ayun Mulud (Ma’ayun anak) di Kab. Tapin, Kalimantan Selatan
*Sekaten, di Keraton Yogyakarta dan Surakarta,
*Gerebeg Mulud di Demak,
*Panjang Jimat *di Kasultanan Cirebon,
*Mandi Barokah *di Cikelet Garut, dan sebagainya.
*Manyanggar Banua, Mapanretasi di Pagatan, Ba’Ayun Mulud (Ma’ayun anak) di Kab. Tapin, Kalimantan Selatan
*Sekaten, di Keraton Yogyakarta dan Surakarta,
*Gerebeg Mulud di Demak,
*Panjang Jimat *di Kasultanan Cirebon,
*Mandi Barokah *di Cikelet Garut, dan sebagainya.
Tradisi lain yang tak kalah populer adalah pembacaan Kitab al-Barzanji. Membaca Barzanji seolah menjadi sesi yang tak boleh ditinggalkan dalam setiap peringatan
Maulid Nabi. Pembacaannya dapat dilakukan di mana pun, kapan pun dan dengan
notasi apa pun, karena memang tidak ada tata cara khusus yang mengaturnya.
Maulid Nabi. Pembacaannya dapat dilakukan di mana pun, kapan pun dan dengan
notasi apa pun, karena memang tidak ada tata cara khusus yang mengaturnya.
Al-Barzanji adalah karya tulis berupa prosa dan sajak yang isinya bertutur
tentang biografi Muhammad, mencakup *nasab*-nya (silsilah), kehidupannya
dari masa kanak-kanak hingga menjadi rasul. Selain itu, juga mengisahkan
sifat-sifat mulia yang dimilikinya, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan
teladan manusia.
tentang biografi Muhammad, mencakup *nasab*-nya (silsilah), kehidupannya
dari masa kanak-kanak hingga menjadi rasul. Selain itu, juga mengisahkan
sifat-sifat mulia yang dimilikinya, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan
teladan manusia.
Judul aslinya adalah *’Iqd al-Jawahir *(Kalung Permata). Namun, dalam
perkembangannya, nama pengarangnyalah yang lebih masyhur disebut, yaitu
Syekh Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad al-Barzanji. Dia seorang
sufi yang lahir di Madinah pada 1690 M dan meninggal pada 1766 M.
perkembangannya, nama pengarangnyalah yang lebih masyhur disebut, yaitu
Syekh Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad al-Barzanji. Dia seorang
sufi yang lahir di Madinah pada 1690 M dan meninggal pada 1766 M.
*Relasi Berjanji dan Muludan
*Ada catatan menarik dari Nico Captein, seorang orientalis dari Universitas
Leiden, dalam bukunya yang berjudul *Perayaan Hari Lahir Nabi Muhammad
SAW *(INIS,
1994).
*Ada catatan menarik dari Nico Captein, seorang orientalis dari Universitas
Leiden, dalam bukunya yang berjudul *Perayaan Hari Lahir Nabi Muhammad
SAW *(INIS,
1994).
Menurutnya, Maulid Nabi pada mulanya adalah perayaan kaum Syi’ah
Fatimiyah (909-117 M) di Mesir untuk menegaskan kepada publik bahwa dinasti
tersebut benar-benar keturunan Nabi. Bisa dibilang, ada nuansa politis di
balik perayaannya.
Fatimiyah (909-117 M) di Mesir untuk menegaskan kepada publik bahwa dinasti
tersebut benar-benar keturunan Nabi. Bisa dibilang, ada nuansa politis di
balik perayaannya.
Dari kalangan Sunni, pertama kali diselenggarakan di Suriah oleh Nuruddin
pada abad XI. Pada abad itu juga Maulid digelar di Mosul Irak, Mekkah dan
seluruh penjuru Islam. Kendati demikian, tidak sedikit pula yang menolak
memperingati karena dinilai *bid’ah *(mengada-ada dalam beribadah).
pada abad XI. Pada abad itu juga Maulid digelar di Mosul Irak, Mekkah dan
seluruh penjuru Islam. Kendati demikian, tidak sedikit pula yang menolak
memperingati karena dinilai *bid’ah *(mengada-ada dalam beribadah).
Di Indonesia, tradisi Berjanjen bukan hal baru, terlebih di kalangan Nahdliyyin
*(sebutan untuk warga NU). Berjanjen tidak hanya dilakukan pada peringatan
Maulid Nabi, namun kerap diselenggarakan pula pada tiap malam Jumat, pada
upacara kelahiran, *akikah *dan potong rambut, pernikahan, syukuran, dan
upacara lainnya. Bahkan, pada sebagian besar pesantren, Berjanjen telah
menjadi kurikulum wajib.
*(sebutan untuk warga NU). Berjanjen tidak hanya dilakukan pada peringatan
Maulid Nabi, namun kerap diselenggarakan pula pada tiap malam Jumat, pada
upacara kelahiran, *akikah *dan potong rambut, pernikahan, syukuran, dan
upacara lainnya. Bahkan, pada sebagian besar pesantren, Berjanjen telah
menjadi kurikulum wajib.
Selain al-Barzanji, terdapat pula kitab-kitab sejenis yang juga bertutur
tentang kehidupan dan kepribadian Nabi. Misalnya, kitab
*Shimthual-Durar, karya al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi (Syair Maulud Al-Habsy),
*al-Burdah, karya al-Bushiri dan
*al-Diba, karya Abdurrahman al-Diba’iy.
tentang kehidupan dan kepribadian Nabi. Misalnya, kitab
*Shimthual-Durar, karya al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi (Syair Maulud Al-Habsy),
*al-Burdah, karya al-Bushiri dan
*al-Diba, karya Abdurrahman al-Diba’iy.
*Inovasi Baru
*Esensi Maulid adalah penghijauan sejarah dan penyegaran ketokohan Nabi
sebagai satu-satunya idola teladan yang seluruh ajarannya harus dibumikan.
Figur idola menjadi miniatur dari idealisme, kristalisasi dari berbagai
falsafah hidup yang diyakini. Penghijauan sejarah dan penyegaran ketokohan
itu dapat dilakukan kapan pun, termasuk di bulan Rabi’ul Awwal.
*Esensi Maulid adalah penghijauan sejarah dan penyegaran ketokohan Nabi
sebagai satu-satunya idola teladan yang seluruh ajarannya harus dibumikan.
Figur idola menjadi miniatur dari idealisme, kristalisasi dari berbagai
falsafah hidup yang diyakini. Penghijauan sejarah dan penyegaran ketokohan
itu dapat dilakukan kapan pun, termasuk di bulan Rabi’ul Awwal.
Kaitannya dengan kebangsaan, identitas dan nasionalisme seseorang akan lahir
jika ia membaca sejarah bangsanya. Begitu pula identitas sebagai penganut
agama akan ditemukan (di antaranya) melalui sejarah agamanya. Dan, dibacanya
Kitab al-Barzanji merupakan salah satu sarana untuk mencapai tujuan esensial
itu, yakni ‘menghidupkan’ tokoh idola melalui teks-teks sejarah.
jika ia membaca sejarah bangsanya. Begitu pula identitas sebagai penganut
agama akan ditemukan (di antaranya) melalui sejarah agamanya. Dan, dibacanya
Kitab al-Barzanji merupakan salah satu sarana untuk mencapai tujuan esensial
itu, yakni ‘menghidupkan’ tokoh idola melalui teks-teks sejarah.
Permasalahannya sekarang, sudahkah pelaku Berjanjen memahami bait-bait indah
al-Barzanji sehingga menjadikannya ispirator dan motivator keteladanan?
Barangkali, bagi kalangan santri, mereka dapat dengan mudah memahami makna
tiap baitnya karena (sedikit banyak) telah mengerti bahasa Arab. Ditambah
kajian khusus terhadap referensi penjelas *(syarh) *dari al-Barzanji, yaitu
kitab *Madarij al-Shu’ud *karya al-Nawawi al-Bantani, menjadikan pemahaman
mereka semakin komprehensif.
al-Barzanji sehingga menjadikannya ispirator dan motivator keteladanan?
Barangkali, bagi kalangan santri, mereka dapat dengan mudah memahami makna
tiap baitnya karena (sedikit banyak) telah mengerti bahasa Arab. Ditambah
kajian khusus terhadap referensi penjelas *(syarh) *dari al-Barzanji, yaitu
kitab *Madarij al-Shu’ud *karya al-Nawawi al-Bantani, menjadikan pemahaman
mereka semakin komprehensif.
Bagaimana dengan masyarakat awam? Tentu mereka tidak bisa seperti itu.
Karena mereka memang tidak menguasai bahasa Arab. Yang mereka tahu, kitab
itu bertutur tentang sejarah Nabi tanpa mengerti detail isinya. Akibatnya,
penjiwaan dan penghayatan makna al-Barzanji sebagai inspirator dan motivator
hidup menjadi tereduksi oleh rangkaian ritual simbolik yang tersakralkan.
Barangkali, kita perlu berinovasi agar pesan-pesan profetik di balik bait
al-Barzanji menjadi tersampaikan kepada pelakunya (terutama masyarakat awam)
secara utuh menyeluruh. Namun, ini tidaklah mudah. Dibutuhkan penerjemah
yang andal dan sastrawan-sastrawan ulung untuk mengemas bahasa al-Barzanji
ke dalam konteks bahasa kekinian dan kedisinian. Selain itu, juga
mempertimbangkan kesiapan masyarakat menerima inovasi baru terhadap
aktivitas yang kadung tersakralkan itu.
Karena mereka memang tidak menguasai bahasa Arab. Yang mereka tahu, kitab
itu bertutur tentang sejarah Nabi tanpa mengerti detail isinya. Akibatnya,
penjiwaan dan penghayatan makna al-Barzanji sebagai inspirator dan motivator
hidup menjadi tereduksi oleh rangkaian ritual simbolik yang tersakralkan.
Barangkali, kita perlu berinovasi agar pesan-pesan profetik di balik bait
al-Barzanji menjadi tersampaikan kepada pelakunya (terutama masyarakat awam)
secara utuh menyeluruh. Namun, ini tidaklah mudah. Dibutuhkan penerjemah
yang andal dan sastrawan-sastrawan ulung untuk mengemas bahasa al-Barzanji
ke dalam konteks bahasa kekinian dan kedisinian. Selain itu, juga
mempertimbangkan kesiapan masyarakat menerima inovasi baru terhadap
aktivitas yang kadung tersakralkan itu.
Inovasi dapat diimplementasikan dengan menerjemahkan dan menekankan aspek
keteladan. Dilakukan secara gradual pasca-membaca dan melantunkan syair
al-Barzanji. Atau mungkin dengan kemasan baru yang tidak banyak menyertakan
bahasa Arab, kecuali lantunan shalawat dan ayat-ayat suci, seperti
dipertunjukkan W.S. Rendra, Ken Zuraida (istri Rendra), dan kawan-kawan pada
Pentas Shalawat Barzanji pada 12-14 Mei 2003 di Stadion Tennis Indoor,
Senayan, Jakarta.
keteladan. Dilakukan secara gradual pasca-membaca dan melantunkan syair
al-Barzanji. Atau mungkin dengan kemasan baru yang tidak banyak menyertakan
bahasa Arab, kecuali lantunan shalawat dan ayat-ayat suci, seperti
dipertunjukkan W.S. Rendra, Ken Zuraida (istri Rendra), dan kawan-kawan pada
Pentas Shalawat Barzanji pada 12-14 Mei 2003 di Stadion Tennis Indoor,
Senayan, Jakarta.
Sebagai pungkasan, semoga Barzanji tidak hanya menjadi ‘lagu wajib’ dalam
upacara, tapi (yang penting) juga mampu menggerakkan pikiran, hati,
pandangan hidup serta sikap kita untuk menjadi lebih baik sebagaimana Nabi.
Dan semoga, Maulid dapat mengentaskan kita dari keterpurukan sebagaimana
Shalahuddin Al-Ayubi sukses membangkitkan semangat tentaranya hingga menang
dalam pertempuran. Garis Keturunannya:
upacara, tapi (yang penting) juga mampu menggerakkan pikiran, hati,
pandangan hidup serta sikap kita untuk menjadi lebih baik sebagaimana Nabi.
Dan semoga, Maulid dapat mengentaskan kita dari keterpurukan sebagaimana
Shalahuddin Al-Ayubi sukses membangkitkan semangat tentaranya hingga menang
dalam pertempuran. Garis Keturunannya:
Sayyid
Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul
Syed ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Syed ibn Isa ibn Husain ibn
Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul
Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam
Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin
ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali r.a. dan Sayidatina Fatimah binti
Rasulullah saw.
Dinamakan
Al-Barjanzy karena dinisbahkan kepada nama desa pengarang yang terletak
di Barjanziyah kawasan Akrad (kurdistan). Kitab tersebut nama aslinya
‘Iqd al-Jawahir (Bahasa Arab, artinya kalung permata) sebagian ulama
menyatakan bahwa nama karangannya adalah “I’qdul Jawhar fi mawlid
anNabiyyil Azhar”. yang disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi
Muhammad saw, meskipun kemudian lebih terkenal dengan nama penulisnya.
Beliau
dilahirkan di Madinah Al Munawwarah pada hari Kamis, awal bulan
Zulhijjah tahun 1126 H (1960 M) (1766 beliau menghafal Al-Quran 30 Juz
kepada Syaikh Ismail Alyamany dan Tashih Quran (mujawwad) kepada syaikh
Yusuf Asho’idy kemudian belajar ilmu naqliyah (quran Dan Haditz) dan
‘Aqliyah kepada ulama-ulama masjid nabawi Madinah Al Munawwarah dan
tokoh-tokoh qabilah daerah Barjanzi kemudian belajar ilmu nahwu, sharaf,
mantiq, Ma’ani, Badi’, Faraidh, Khat, hisab, fiqih, ushul fiqh,
falsafah, ilmu hikmah, ilmu teknik, lughah, ilmu mustalah hadis, tafsir,
hadis, ilmu hukum, Sirah Nabawi, ilmu sejarah semua itu dipelajari
selama beliau ikut duduk belajar bersama ulama-ulama masjid nabawi. Dan
ketika umurnya mencapai 31 tahun atau bertepatan 1159 H barulah beliau
menjadi seorang yang ‘Alim wal ‘Allaamah dan Ulama besar.
Kitab
“Mawlid al-Barzanji” ini telah disyarahkan oleh al-’Allaamah al-Faqih
asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan
panggilan Ba`ilisy yang wafat tahun 1299H dengan satu syarah yang
memadai, cukup elok dan bermanfaat yang dinamakan “al-Qawl al-Munji ‘ala
Mawlid al-Barzanji” yang telah banyak kali diulang cetaknya di Mesir.
Di
samping itu, kitab Mawlid Sidi Ja’far al-Barzanji ini telah disyarahkan
pula oleh para ulama kenamaan umat ini. Antara yang masyhur
mensyarahkannya ialah Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy al-Maaliki
al-’Asy’ari asy-Syadzili al-Azhari dengan kitab “al-Qawl al-Munji ‘ala
Mawlid al-Barzanji”. Beliau ini adalah seorang ulama besar keluaran
al-Azhar asy-Syarif, bermazhab Maliki lagi Asy`ari dan menjalankan
Thoriqah asy-Syadziliyyah. Beliau lahir pada tahun 1217H (1802M) dan
wafat pada tahun 1299H (1882M).
Selain
itu ulama kita kelahiran Banten, Pulau Jawa, yang terkenal sebagai
ulama dan penulis yang produktif dengan banyak karangannya, yaitu
Sayyidul ‘Ulama-il Hijaz, an-Nawawi ats-Tsani, Syaikh Muhammad Nawawi
al-Bantani al-Jawi turut menulis syarah yang lathifah bagi “Mawlid
al-Barzanji” dan karangannya itu dinamakannya “Madaarijush Shu`uud ila
Iktisaa-il Buruud”. Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid Isma`il bin
Sayyid Zainal ‘Abidin bin Sayyid Muhammad al-Hadi bin Sayyid Zain yang
merupakan suami kepada satu-satunya anak Sayyid Ja’far al-Barzanji,
telah juga menulis syarah bagi “Mawlid al-Barzanji” tersebut yang
dinamakannya “al-Kawkabul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jawhar fi Mawlidin Nabiyil
Azhar”.
Sayyid
Ja’far ini juga adalah seorang ulama besar keluaran al-Azhar
asy-Syarif. Beliau juga merupakan seorang Mufti Syafi`iyyah.
Karangan-karangan beliau banyak, antaranya: “Syawaahidul Ghufraan ‘ala
Jaliyal Ahzan fi Fadhaa-il Ramadhan”, “Mashaabiihul Ghurar ‘ala Jaliyal
Kadar” dan “Taajul Ibtihaaj ‘ala Dhau-il Wahhaaj fi Israa` wal Mi’raaj”.
Beliau juga telah menulis sebuah manaqib yang menceritakan perjalanan
hidup dan ketinggian nendanya Sayyid Ja’far al-Barzanji dalam kitabnya
“ar-Raudhul A’thar fi Manaqib as-Sayyid Ja’far”.
Kembali
kepada Sidi Ja’far al-Barzanji, selain dipandang sebagai mufti, beliau
juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang
mulia tersebut. Beliau terkenal bukan sahaja kerana ilmu, akhlak
dan taqwanya, tapi juga dengan kekeramatan dan kemakbulan doanya.
Penduduk Madinah sering meminta beliau berdoa untuk hujan pada
musim-musim kemarau. Diceritakan bahawa satu ketika di musim kemarau,
sedang beliau sedang menyampaikan khutbah Jumaatnya, seseorang telah
meminta beliau beristisqa` memohon hujan. Maka dalam khutbahnya itu
beliau pun berdoa memohon hujan, dengan serta merta doanya terkabul dan
hujan terus turun dengan lebatnya sehingga seminggu, persis sebagaimana
yang pernah berlaku pada zaman Junjungan Nabi s.a.w. dahulu. Menyaksikan
peristiwa tersebut, maka sebahagian ulama pada zaman itu telah memuji
beliau dengan bait-bait syair yang berbunyi:-
سقى الفروق بالعباس قدما * و نحن بجعفر غيثا سقينا
فذاك و سيلة لهم و هذا * وسيلتنا إمام العارفينا
Dahulu al-Faruuq dengan al-’Abbas beristisqa` memohon hujan
Dan kami dengan Ja’far pula beristisqa` memohon hujan
Maka yang demikian itu wasilah mereka kepada Tuhan
Dan ini wasilah kami seorang Imam yang ‘aarifin
Dan kami dengan Ja’far pula beristisqa` memohon hujan
Maka yang demikian itu wasilah mereka kepada Tuhan
Dan ini wasilah kami seorang Imam yang ‘aarifin
Sidi
Ja’far al-Barzanji wafat di Kota Madinah dan dimakamkan di Jannatul
Baqi`, sebelah bawah maqam beliau dari kalangan anak-anak perempuan
Junjungan Nabi s.a.w. Karangannya membawa umat ingatkan Junjungan Nabi
s.a.w., membawa umat kasihkan Junjungan Nabi s.a.w., membawa umat
rindukan Junjungan Nabi s.a.w. Setiap kali karangannya dibaca, pasti
sholawat dan salam dilantunkan buat Junjungan Nabi s.a.w. Juga umat
tidak lupa mendoakan Sayyid Ja’far yang telah berjasa menyebarkan
keharuman pribadi dan sirah kehidupan makhluk termulia keturunan Adnan. Allahu … Allah.
اللهم اغفر لناسج هذه البرود المحبرة المولدية
سيدنا جعفر من إلى البرزنج نسبته و منتماه
و حقق له الفوز بقربك و الرجاء و الأمنية
و اجعل مع المقربين مقيله و سكناه
و استرله عيبه و عجزه و حصره و عيه
و كاتبها و قارئها و من اصاخ إليه سمعه و اصغاه
Ya Allah ampunkan pengarang jalinan mawlid indah nyata
Sayyidina Ja’far kepada Barzanj ternisbah dirinya
Kejayaan berdamping denganMu hasilkan baginya
Juga kabul segala harapan dan cita-cita
Jadikanlah dia bersama muqarrabin berkediaman dalam syurga
Tutupkan segala keaiban dan kelemahannya
Segala kekurangan dan kekeliruannya
Seumpamanya Ya Allah harap dikurnia juga
Bagi penulis, pembaca serta pendengarnya
Sayyidina Ja’far kepada Barzanj ternisbah dirinya
Kejayaan berdamping denganMu hasilkan baginya
Juga kabul segala harapan dan cita-cita
Jadikanlah dia bersama muqarrabin berkediaman dalam syurga
Tutupkan segala keaiban dan kelemahannya
Segala kekurangan dan kekeliruannya
Seumpamanya Ya Allah harap dikurnia juga
Bagi penulis, pembaca serta pendengarnya
و صلى الله على سيدنا محمد و على اله و صحبه و سلم
و الحمد لله رب العالمين
Dalam
bukunya, Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan terhadap Nabi
SAW dalam Islam (1991), sarjana Jerman peneliti Islam, Annemarie
Schimmel, menerangkan bahwa teks asli karangan Ja’far al-Barzanji, dalam
bahasa Arab, sebetulnya berbentuk prosa. Namun, para penyair kemudian mengolah kembali teks itu menjadi untaian syair, sebentuk eulogy bagi Sang Nabi.
Untaian
syair itulah yang tersebar ke berbagai negeri di Asia dan Afrika, tak
terkecuali Indonesia. Tidak tertinggal oleh umat Islam penutur bahasa
Swahili di Afrika atau penutur bahasa Urdu di India, kita pun dapat
membaca versi bahasa Indonesia dari syair itu, semisal hasil terjemahan
HAA Dahlan atau Ahmad Najieh, meski kekuatan puitis yang terkandung
dalam bahasa Arab kiranya belum sepenuhnya terwadahi dalam bahasa kita
sejauh ini.
Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa karya Ja’far al-Barzanji merupakan biografi puitis Nabi Muhammad SAW. Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua: “Natsar” dan “Nadhom”. Bagian “Natsar” terdiri atas 19 subbagian yang memuat 355 untaian syair, dengan mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi Muhammad SAW, mulai dari saat-saat menjelang paduka dilahirkan hingga masa-masa tatkala paduka mendapat tugas kenabian. Sementara, bagian “Nadhom” terdiri atas 16 subbagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir “nun”.
Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa karya Ja’far al-Barzanji merupakan biografi puitis Nabi Muhammad SAW. Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua: “Natsar” dan “Nadhom”. Bagian “Natsar” terdiri atas 19 subbagian yang memuat 355 untaian syair, dengan mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi Muhammad SAW, mulai dari saat-saat menjelang paduka dilahirkan hingga masa-masa tatkala paduka mendapat tugas kenabian. Sementara, bagian “Nadhom” terdiri atas 16 subbagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir “nun”.
Dalam
untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa betul adanya
keterpukauan sang penyair oleh sosok dan akhlak Sang Nabi. Dalam bagian
“Nadhom”, misalnya, antara lain diungkapkan sapaan kepada Nabi pujaan:
Engkau mentari, engkau bulan/ Engkau cahaya di atas cahaya.
Di
antara idiom-idiom yang terdapat dalam karya ini, banyak yang dipungut
dari alam raya seperti matahari, bulan, purnama, cahaya, satwa, batu,
dan lain-lain. Idiom-idiom seperti itu diolah sedemikian rupa, bahkan
disenyawakan dengan shalawat dan doa, sehingga melahirkan sejumlah besar
metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi sendiri, misalnya, dilukiskan
sebagai “untaian mutiara”.
Namun,
bahasa puisi yang gemerlapan itu, seringkali juga terasa rapuh. Dalam
karya Ja’far al-Barzanji pun, ada bagian-bagian deskriptif yang mungkin
terlampau meluap. Dalam bagian “Natsar”, misalnya, sebagaimana yang
diterjemahkan oleh HAA Dahlan, kita mendapatkan lukisan demikian: Dan
setiap binatang yang hidup milik suku Quraisy memperbincangkan kehamilan
Siti Aminah dengan bahasa Arab yang fasih.
Betapapun,
kita dapat melihat teks seperti ini sebagai tutur kata yang lahir dari
perspektif penyair. Pokok-pokok tuturannya sendiri, terutama menyangkut
riwayat Sang Nabi, terasa berpegang erat pada Alquran, hadis, dan sirah
nabawiyyah. Sang penyair kemudian mencurahkan kembali rincian kejadian
dalam sejarah ke dalam wadah puisi, diperkaya dengan imajinasi puitis,
sehingga pembaca dapat merasakan madah yang indah.
Salah
satu hal yang mengagumkan sehubungan dengan karya Ja’far al-Barzanji
adalah kenyataan bahwa karya tulis ini tidak berhenti pada fungsinya
sebagai bahan bacaan. Dengan segala potensinya, karya ini kiranya telah
ikut membentuk tradisi dan mengembangkan kebudayaan sehubungan dengan
cara umat Islam di berbagai negeri menghormati sosok dan perjuangan Nabi
Muhammad SAW.
Sifatnya:
Wajahnya tampan, perilakunya sopan, matanya luas, putih giginya, hidungnya mancung,jenggotnya yang tebal,Mempunyai akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakkur, mendahului dalam membuat kebajikan bersedekah,dan sangat pemurah.
Wajahnya tampan, perilakunya sopan, matanya luas, putih giginya, hidungnya mancung,jenggotnya yang tebal,Mempunyai akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakkur, mendahului dalam membuat kebajikan bersedekah,dan sangat pemurah.
Seorang
ulama besar yang berdedikasi mengajarkan ilmunya di Masjid Kakeknya
(Masjid Nabawi) SAW sekaligus beliau menjadi seorang mufti Mahzhab
Syafiiyah di kota madinah Munawwarah.
“Al-’Allaamah
al-Muhaddits al-Musnid as-Sayyid Ja’far bin Hasan al-Barzanji adalah
MUFTI ASY-SYAFI`IYYAH di Kota Madinah al-Munawwarah. Banyak perbedaan
tentang tanggal wafatnya, sebagian menyebut beliau meninggal pada tahun
1177 H. Imam az-Zubaidi dalam “al-Mu’jam al-Mukhtash” menulis bahwa
beliau wafat tahun 1184 H, dimana Imam az-Zubaidi pernah berjumpa dengan
beliau dan menghadiri majelis pengajiannya di Masjid Nabawi yang mulia.
Maulid
karangan beliau ini adalah kitab maulid yang paling terkenal dan paling
tersebar ke pelosok negeri ‘Arab dan Islam, baik di Timur maupun di
Barat. Bahkan banyak kalangan ‘Arab dan ‘Ajam (luar Arab) yang
menghafalnya dan mereka membacanya dalam waktu-waktu tertentu.
Kandungannya merupakan khulaashah (ringkasan) sirah nabawiyyah yang
meliputi kisah lahir baginda, perutusan baginda sebagai rasul, hijrah,
akhlak, peperangan sehingga kewafatan baginda.
Wafat:
Beliau telah kembali ke rahmatullah pada hari Selasa, setelah Asar,4 Sya’ban, tahun 1177 H (1766 M). Jasad beliau makamkan di Baqi’ bersama keluarga Rasulullah saw.
Kitab
maulid Barzanji sendiri telah disyarah (dijelaskan) oleh ulama-ulama
besar seperti Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy al-Maaliki al-’Asy’ari
asy-Syadzili al-Azhari yang mengarang kitab “al-Qawl al-Munji ‘ala
Mawlid al- Barzanji” dan Sayyidul ‘Ulama-il Hijaz, Syeikh Muhammad
Nawawi al-Bantani al-Jawi “Madaarijush Shu`uud ila Iktisaa-il Buruud”.
Beliau telah kembali ke rahmatullah pada hari Selasa, setelah Asar,4 Sya’ban, tahun 1177 H (1766 M). Jasad beliau makamkan di Baqi’ bersama keluarga Rasulullah saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar