( كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ) BENARKAH SEMUA BID,AH SESAT
Hadits “KULLU BIDH’ATIN DHOLALAH”, ini
adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maka para ulama
membagi bid’ah menjadi dua, BID’AH HASANAH (baik) dan BID’AH SYAIYI’AH
(buruk).
Lebih rinci bid’ah terbagi menjadi lima bagian sesuai dengan jumlah hukum islam, yaitu wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah.
Menyangkut bid'ah yang sering
dituduhkan oleh Seabagian kecil Umat islam terhadap amalan kaum muslimin
di berbagai belahan dunia, ada hadits Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa
sallam yg sering mereka kemukakan, yaitu:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
(رواه مسلم)
"Adapun sesudahnya: Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan ialah Kitab Allah (al-Qur'an) dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad
Saw., dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang
diada-adakan), dan setiap bid'ah itu kesesatan"
(HR. Muslim).
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
(رواه النسائي)
"Barang siapa yang diberi
petunjuk oleh
Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang
disesatkan oleh Allah maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitab Allah (al-Qur'an), dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., dan seburuk-buruk
perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan setiap
yang baru diada-adakan adalah bid'ah, setiap bid'ah itu kesesatan, dan
setiap kesesatan itu (tempatnya) di dalam neraka" (HR. Nasa'i)
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:
عليكم
بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي، تمسكوا بها، وعضوا عليها
بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة.
Sesungguhnya
Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian
berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rosyidin.
Gigitlah sunnah itu dengan geraham kalian (yakni; peganglah jangan
sampai terlepas). Dan berhati-hatilah terhadap persoalan yang
diada-adakan, maka sesungguhnya setiap perkara baru adalah bid’ah, dan
setiap bid’ah adalah sesat.”
Metodologi pembahasan dalil umum seperti ini tampaknya tidak digunakan oleh kaum Wahabi yang mengaku salafy dalam berfatwa terutama mengenai bid'ah, tentunya karena pola pikir "kasuistik" atau terlalu tekstual (harfiah) dalam memahami dalil. Maka
Metodologi pembahasan dalil umum seperti ini tampaknya tidak digunakan oleh kaum Wahabi yang mengaku salafy dalam berfatwa terutama mengenai bid'ah, tentunya karena pola pikir "kasuistik" atau terlalu tekstual (harfiah) dalam memahami dalil. Maka
tidak
heran bila fatwa-fatwa mereka tentang bid'ah dihiasi oleh dalil-dalil
umum atau yang berisi lafaz-lafaz umum yang maknanya dipaksakan mengarah
pada kasus-kasus tertentu yang tidak pernah disebutkan secara khusus di
dalam al-Qur'an atau hadits.
Terbukti, dari
ratusan perkara yang mereka fatwakan sebagai bid'ah yang dilarang di
dalam agama, mereka hanya mengandalkan 5 sampai 7 dalil yang kesemuanya
bersifat umum. Dapat dibayangkan, bila fatwa-fatwa mereka tentang bid'ah
ada 300 jumlahnya, maka dalil yang sama akan selalu disebutkan secara
berulang-ulang sampai lebih dari 100 kali. Anda bisa buktikan itu di
dalam buku "Ensiklopedia Bid'ah" karya Hammud bin Abdullah al-Mathar
diterbitkan oleh Darul Haq Jakarta. Ini baru dari segi pengulangan
dalil, belum lagi dari segi penyebutan dalil-dalil pendukung yang
digunakan secara serampangan dan bukan pada tempatnya.
Tanpa
metodologi yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul, mustahil dapat
dibedakan antara yang wajib dan yang tidak wajib di dalam agama,
sebagaimana mustahil dapat dibedakan antara perkara yang prinsip
(ushul/pokok) dan yang tidak prinsip (furu'/cabang). Luar biasanya, dari
metodologi atau rumusan para ulama ushul tersebut, umat Islam di
seluruh dunia telah merasakan manfaat yang sangat besar di mana Islam
dapat diterima di berbagai wilayah dan kalangan meski berbeda-beda adat
dan budayanya (misalnya seperti Wali Songo yang sukses berdakwah di Indonesia).
Prinsip dasar argumentasi akal ini tentu bukan untuk memudah-mudahkan
syari'at atau menetapkan syari'at baru, tetapi untuk mengambil
kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang ada, agar ajaran Islam dapat
dipahami dan diamalkan dengan baik oleh umat Islam.
Kaum Wahabi
yang mengaku salafy bahkan ada yang menganggap metodologi para ulama
berupa ta'wil (penafsiran terhadap dalil) hanya membuat agama ini
menjadi semakin tercemar dan tidak murni lagi karena dianggap sudah
terkontaminasi oleh pendapat-pendapat manusia yang tidak memiliki
wewenang untuk menetapkan syari'at, seperti halnya Nabi Shollallohu
‘alaihi wa sallam atau para Shahabat beliau. Jadi, segala urusan di
dalam beragama harus dirujuk langsung kepada al-Qur'an & hadis apa
adanya seperti yang tersebut secara tekstual. Maka, apa saja yang
diamalkan di dalam agama yang secara tekstual (harfiah) tidak terdapat
di dalam al-Qur'an atau hadis, otomatis dianggap tertolak dan dinyatakan
sebagai sebuah penyimpangan atau kesesatan.
Di sinilah
pangkalnya, kenapa kaum Wahabi yang mengaku salafy ini selalu
mempermasalahkan amalan atau keyakinan orang lain, padahal amalan orang
yang disalahkan itu hanyalah masalah furu' (cabang/tidak prinsip). Ini
adalah akibat dari pemahaman mereka terhadap dalil secara harfiyah atau
tekstual apa adanya, sehingga semua urusan dan amalan "berbau agama"
dipandang oleh kaum Salafy Wahabi sebagai perkara ushul (pokok/prinsip)
yang jika tidak ada dalilnya dapat mengakibatkan sesat, syirik, atau
kufur.
Sholeh
Al-Utsaimin dalam Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, hal: 639-640).
Al-Utsaimin mengatakan, “Hukum asal dari perbuatan-perbuatan baru dalam
urusan dunia adalah HALAL. Jadi bid’ah dalam urusan-urusan dunia itu
HALAL, kecuali ada dalil yang menunjukan akan keharamannya. Tetapi hukum
asal dari perbuatan-perbuatan baru dalam urusan agama adalah DILARANG,
jadi bid’ah dalam urusan-urusan agama adalah HARAM dan BID’AH, kecuali
adal dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan
keberlakuannya.”
Melalui
tulisannya yang lain Al-Utsaimin telah melanggar hukum yang dibuatnya
sendiri dalam Al-Ibda’ fi Kamal Al-Syar’i wa Khathar Al-Ibtida’, hal 13.
Dia mengatakan tentang hadits Nabi, ”(Semua bid’ah adalah sesat) adalah
bersifat general, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan dipagari
dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat
yaitu kata-kata “kull (seluruh)”. Apakah setelah ketetapan menyeluruh
ini kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya ini tidak akan pernah benar.”
Dalam
pernyataannya diatas Al-Utsaimin menegaskan bahwa “SEMUA BID’AHadalah
SESAT”, bersifat general, umum, dan menyeluruh terhadap seluruh bid’ah,
tanpa terkecuali, sehingga tidak ada bid’ah yang disebut BID’AH HASANAH.
Namun mengapa dalam pernyataannya yang pertama dia membagi bid’ah ada
yang HALAL dan yang HARAM..?
Ko Plin plan ya......!
Berbeda sekali ke’arifan dan
kebijakannya dalam menetapkan hukum jika dibandingkan dengan ulama-ulama
yang masyhur seperti Imam Nawawi misalnya, dalam memahami hadits Nabi
“SEMUA BID’AH ADALAH SESAT”, dalam Syarah Shahih Muslim, jilid 6 hal:
154, beliau sangat hati-hati dengan kata-kata “SEBAGIAN BID’AH ITU
SESAT, BUKAN SELURUHNYA.” Hadits “KULLU BIDH’ATIN DHOLALAH”, ini adalah
kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maka para ulama membagi
bid’ah menjadi dua, BID’AH HASANAH (baik) dan BID’AH SYAIYI’AH (buruk).
Lebih rinci bid’ah terbagi menjadi lima bagian sesuai dengan jumlah hukum islam, yaitu wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah.
Mari kita tinjau masalah Bid,ah ini sebagai berikut :
1.
DARI SISI BALAGHAH
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu masuk neraka”.
Dengan membandingkan hadist tersebut serta QS Al Kahfi 79 yang sama-sama dihukumkan ke kullu majmu akan kita dapati sebagai berikut :
Bid’ah itu kata benda, tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits di atas; dalam Ilmu Balaghah dikatakan,
حدف الصفة على الموصوف
“membuang sifat dari benda yang bersifat”.
Seandainya kita tulis sifat bid’ah maka terjadi dua kemungkinan:
a. Kemungkinan pertama :
كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah yang baik sesat, dan semua yang sesat masuk neraka”.
Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil.
b. Kemungkinan kedua :
كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى
النَّاِر
“Semua bid’ah yang jelek itu sesat, dan semuakesesatan itu masuk neraka”.
Jelek dan sesat sejalan tidak bertentangan, hal ini terjadi pula dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya:
وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّسَفِيْنَةٍ غَصْبَا
(الكهف: 79)
“Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa”. (Al-Kahfi: 79).
Dalam ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal jelek; karena yang jelek tidak akan diambil oleh raja.
Maka lafadh كل سفينة sama dengan كل بد عة tidak disebutkan sifatnya, walaupun pasti punya sifat, ialah kapal yang baik كل سفينة حسنة .
2. DARI SISI NAHWU
"kullu muhdatsin bid'ah, wa kullu bid'atin dholalah, wa kullu dholalatin fin naar"
Dalam hadits tersebut rancu sekali kalau kita maknai SETIAP bid'ah dengan makna KESELURUHAN, bukan SEBAGIAN. Untuk membuktikan adanya dua macam makna ‘kullu’ ini, dalam kitab mantiq ‘Sullamul Munauruq’ oleh Imam Al-Akhdhori yang telah diberi syarah oleh Syeikh Ahmad al-Malawi dan diberi Hasyiah oleh Syeikh Muhamad bin Ali as-Shobban tertulis:
الَكُلّ حكمنَا عَلَى الْمجْموْع ككل ذَاكَ لَيْسَ ذَا وقَوْع
حيْثمَا لكُلّ فَرْد حُكمَا فَإنَّهُ كُلّيّة قَدْ علمَا
Kullu itu kita hukumkan untuk majmu’ (sebagian atau sekelompok) seperti ‘Sebagianitu tidak pernah terjadi’. Dan jikakita hukumkan untuk tiap-tiap satuan, maka dia adalah kulliyyah (jami’atau keseluruhan) yang sudah dimaklumi.
Mari perhatikan dengan seksama & cermat kalimat hadits tersebut.Jika memang maksud Rosululloh shalallahu 'alayhi wa aalihi wa sallam adalah SELURUH kenapa beliau BERPUTAR-PUTAR dalam haditsnya?
Kenapa tidak langsung saja "Kullu muhdatsin fin naar (setiap yg baru itu di neraka) ?
Kullu Bid'atin fin naar (setiap bid'ah itu di neraka)"?
Kenapa Rosululloh Saw menentukanyang akhir, yakni "kullu dholalatin fin naar" bahwa yg SESAT itulah yang masuk NERAKA ?
Selanjutnya,
Kalimat bid'ah (بدعة) di sini adalah bentuk ISIM (kata benda) bukan FI'IL (kata kerja).
Dalam ilmu nahwu menurut kategorinya Isim terbagi 2 yakni Isim Ma'rifat (tertentu) dan Isim Nakirah (umum).
Nah.. kata BID'AH ini bukanlah
1. Isim dhomir
2. Isim alam
3. Isim isyaroh
4. Isim maushul
5. Ber alif lam
yang merupakan bagian dari isim ma'rifat. Jadi kalimat bid'ah di sini adalah isim nakiroh
Dan KULLU di sana berarti tidak bridhofah (bersandar) kepada salah satu dari yang 5 diatas.
Seandainya KULLU beridhofah kepada salah 1 yg 5 diatas, maka ia akan menjadi ma'rifat. Tapi pada 'KULLU BID'AH', ia beridhofah kepada nakiroh. Sehingga dalalah -nya adalah bersifat ‘am (umum).
Sedangkan setiap hal yang bersifat umum pastilah menerima pengecualian.
Ini sesuai dengan pendapat imam nawawi ra.
قَوْلُهُ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَاعَامٌّ مَخْصٍُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ .
“Sabda Nabi SAW, “semua bid’ahadalah sesat”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud “semua bid’ah itu sesat”, adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).
Lalu apakah SAH di atas itu dikatakan MUBTADA (awal kalimat)? Padahal dalam kitabAlfiah (salah 1 kitab rujukan ilmu nahwu), tertulis :
لايجوز المبتدأ بالنكراة
Tidak boleh mubtada itu dengan nakiroh..
KECUALI ada beberapa syarat, di antaranya adalah dengan sifat.
Andaipun mau dipaksakan untuk mensahkan mubtada dengan ma'rifah agar tidak bersifat UMUM pada 'kullu bid'atin di atas, maka ada sifat yang di buang (lihat DARI SISI BALAGHAH).
Dan pilihannya cuma 2 yakni: BID'AH HASANAH atau BID'AH SAYYI'AH.
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu masuk neraka”.
Dengan membandingkan hadist tersebut serta QS Al Kahfi 79 yang sama-sama dihukumkan ke kullu majmu akan kita dapati sebagai berikut :
Bid’ah itu kata benda, tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits di atas; dalam Ilmu Balaghah dikatakan,
حدف الصفة على الموصوف
“membuang sifat dari benda yang bersifat”.
Seandainya kita tulis sifat bid’ah maka terjadi dua kemungkinan:
a. Kemungkinan pertama :
كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah yang baik sesat, dan semua yang sesat masuk neraka”.
Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil.
b. Kemungkinan kedua :
كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى
النَّاِر
“Semua bid’ah yang jelek itu sesat, dan semuakesesatan itu masuk neraka”.
Jelek dan sesat sejalan tidak bertentangan, hal ini terjadi pula dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya:
وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّسَفِيْنَةٍ غَصْبَا
(الكهف: 79)
“Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa”. (Al-Kahfi: 79).
Dalam ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal jelek; karena yang jelek tidak akan diambil oleh raja.
Maka lafadh كل سفينة sama dengan كل بد عة tidak disebutkan sifatnya, walaupun pasti punya sifat, ialah kapal yang baik كل سفينة حسنة .
2. DARI SISI NAHWU
"kullu muhdatsin bid'ah, wa kullu bid'atin dholalah, wa kullu dholalatin fin naar"
Dalam hadits tersebut rancu sekali kalau kita maknai SETIAP bid'ah dengan makna KESELURUHAN, bukan SEBAGIAN. Untuk membuktikan adanya dua macam makna ‘kullu’ ini, dalam kitab mantiq ‘Sullamul Munauruq’ oleh Imam Al-Akhdhori yang telah diberi syarah oleh Syeikh Ahmad al-Malawi dan diberi Hasyiah oleh Syeikh Muhamad bin Ali as-Shobban tertulis:
الَكُلّ حكمنَا عَلَى الْمجْموْع ككل ذَاكَ لَيْسَ ذَا وقَوْع
حيْثمَا لكُلّ فَرْد حُكمَا فَإنَّهُ كُلّيّة قَدْ علمَا
Kullu itu kita hukumkan untuk majmu’ (sebagian atau sekelompok) seperti ‘Sebagianitu tidak pernah terjadi’. Dan jikakita hukumkan untuk tiap-tiap satuan, maka dia adalah kulliyyah (jami’atau keseluruhan) yang sudah dimaklumi.
Mari perhatikan dengan seksama & cermat kalimat hadits tersebut.Jika memang maksud Rosululloh shalallahu 'alayhi wa aalihi wa sallam adalah SELURUH kenapa beliau BERPUTAR-PUTAR dalam haditsnya?
Kenapa tidak langsung saja "Kullu muhdatsin fin naar (setiap yg baru itu di neraka) ?
Kullu Bid'atin fin naar (setiap bid'ah itu di neraka)"?
Kenapa Rosululloh Saw menentukanyang akhir, yakni "kullu dholalatin fin naar" bahwa yg SESAT itulah yang masuk NERAKA ?
Selanjutnya,
Kalimat bid'ah (بدعة) di sini adalah bentuk ISIM (kata benda) bukan FI'IL (kata kerja).
Dalam ilmu nahwu menurut kategorinya Isim terbagi 2 yakni Isim Ma'rifat (tertentu) dan Isim Nakirah (umum).
Nah.. kata BID'AH ini bukanlah
1. Isim dhomir
2. Isim alam
3. Isim isyaroh
4. Isim maushul
5. Ber alif lam
yang merupakan bagian dari isim ma'rifat. Jadi kalimat bid'ah di sini adalah isim nakiroh
Dan KULLU di sana berarti tidak bridhofah (bersandar) kepada salah satu dari yang 5 diatas.
Seandainya KULLU beridhofah kepada salah 1 yg 5 diatas, maka ia akan menjadi ma'rifat. Tapi pada 'KULLU BID'AH', ia beridhofah kepada nakiroh. Sehingga dalalah -nya adalah bersifat ‘am (umum).
Sedangkan setiap hal yang bersifat umum pastilah menerima pengecualian.
Ini sesuai dengan pendapat imam nawawi ra.
قَوْلُهُ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَاعَامٌّ مَخْصٍُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ .
“Sabda Nabi SAW, “semua bid’ahadalah sesat”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud “semua bid’ah itu sesat”, adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).
Lalu apakah SAH di atas itu dikatakan MUBTADA (awal kalimat)? Padahal dalam kitabAlfiah (salah 1 kitab rujukan ilmu nahwu), tertulis :
لايجوز المبتدأ بالنكراة
Tidak boleh mubtada itu dengan nakiroh..
KECUALI ada beberapa syarat, di antaranya adalah dengan sifat.
Andaipun mau dipaksakan untuk mensahkan mubtada dengan ma'rifah agar tidak bersifat UMUM pada 'kullu bid'atin di atas, maka ada sifat yang di buang (lihat DARI SISI BALAGHAH).
Dan pilihannya cuma 2 yakni: BID'AH HASANAH atau BID'AH SAYYI'AH.
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam tentu tidak pernah mengatakan bahwa
“seluruh bid’ah
adalah sesat”.
Beliau mengatakan “Kullu Bid’ah dlalalah” sedangkan berdasarkan
ilmu atau secara tata bahasa sudah dapat dipahami dengan mudah seperti apa yang
disampaikan oleh ulama yang sanad ilmunya tersambung kepada Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam seperti Al-Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih
Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm
Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian
maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat
(bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn
al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154)
Hadits “Kullu Bid’ah dlalalah” berdasarkan ilmu yakni menurut tata bahasanya ialah ‘Amm Makhshush, artinya “makna bid’ah lebih luas dari makna sesat” sehingga “setiap sesat adalah bid’ah akan tetapi tidak setiap bid’ah adalah sesat”.
Bid'ah yang sesat adalah mengada-ada dalam urusan agama atau mengada-ada dalam perkara syariat atau mengada-ada dalam urusan yang merupakan hak Allah ta'ala menetapkannya yakni melarang sesuatu yang tidak dilarangNya, mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya, mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkanNya atau melakukan sunnah sayyiah yakni mencontohkan atau meneladankan sesuatu di luar perkara syariat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Bid'ah yang tidak sesat adalah melakukan sunnah hasanah yakni mencontohkan atau meneladankan sesuatu di luar perkara syariat yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan baik atau buruk perkara baru di luar perkara syariat ke dalam sunnah hasanah atau sunnah sayyiah.
Hadits “Kullu Bid’ah dlalalah” berdasarkan ilmu yakni menurut tata bahasanya ialah ‘Amm Makhshush, artinya “makna bid’ah lebih luas dari makna sesat” sehingga “setiap sesat adalah bid’ah akan tetapi tidak setiap bid’ah adalah sesat”.
Bid'ah yang sesat adalah mengada-ada dalam urusan agama atau mengada-ada dalam perkara syariat atau mengada-ada dalam urusan yang merupakan hak Allah ta'ala menetapkannya yakni melarang sesuatu yang tidak dilarangNya, mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya, mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkanNya atau melakukan sunnah sayyiah yakni mencontohkan atau meneladankan sesuatu di luar perkara syariat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Bid'ah yang tidak sesat adalah melakukan sunnah hasanah yakni mencontohkan atau meneladankan sesuatu di luar perkara syariat yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan baik atau buruk perkara baru di luar perkara syariat ke dalam sunnah hasanah atau sunnah sayyiah.
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ مُوسَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ وَأَبِي الضُّحَى عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ هِلَالٍ الْعَبْسِيِّ عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ جَاءَ نَاسٌ مِنْ الْأَعْرَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ الصُّوفُ فَرَأَى سُوءَ حَالِهِمْ قَدْ أَصَابَتْهُمْ حَاجَةٌ فَحَثَّ النَّاسَ عَلَى الصَّدَقَةِ فَأَبْطَئُوا عَنْهُ حَتَّى رُئِيَ ذَلِكَ فِي وَجْهِهِ قَالَ ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ جَاءَ بِصُرَّةٍ مِنْ وَرِقٍ ثُمَّ جَاءَ آخَرُ ثُمَّ تَتَابَعُوا حَتَّى عُرِفَ السُّرُورُ فِي وَجْهِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
Telah
menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Jarir bin
'Abdul Hamid dari Al A'masy dari Musa bin 'Abdullah bin Yazid dan Abu Adh Dhuha
dari 'Abdurrahman bin Hilal Al 'Absi dari Jarir bin 'Abdullah dia berkata; Pada
suatu ketika, beberapa orang Arab badui datang menemui Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam dengan mengenakan pakaian dari bulu domba (wol). Lalu
Rasulullah memperhatikan kondisi mereka yang menyedihkan. Selain itu, mereka
pun sangat membutuhkan pertolongan. Akhirnya, Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam menganjurkan para sahabat untuk memberikan sedekahnya kepada mereka.
Tetapi sayangnya, para sahabat sangat lamban untuk melaksanakan anjuran
Rasulullah itu, hingga kekecewaan terlihat pada wajah beliau. Jarir berkata;
'Tak lama kemudian seorang sahabat dari kaum Anshar datang memberikan bantuan
sesuatu yang dibungkus dengan daun dan kemudian diikuti oleh beberapa orang
sahabat lainnya. Setelah itu, datanglah beberapa orang sahabat yang turut serta
menyumbangkan sedekahnya (untuk diserahkan kepada orang-orang Arab badui
tersebut) hingga tampaklah keceriaan pada wajah Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam.' Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Siapa
yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya
dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa
mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu
sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang
yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka
sedikitpun.” (HR Muslim 4830)
Hadits di atas diriwayatkan juga dalam Sunan An-Nasa‘i no.2554, Sunan At-Tirmidzi no. 2675, Sunan Ibnu Majah no. 203, Musnad Ahmad 5/357, 358, 359, 360, 361, 362 dan juga diriwayatkan oleh yang lainnya.
Arti kata sunnah dalam sunnah hasanah atau sunnah sayyiah adalah contoh atau suri tauladan atau perkara baru, sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang lain sebelumnya
Kesimpulannya,
Sunnah hasanah adalah contoh atau suri tauladan atau perkara baru di luar perkara syariat yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits , termasuk ke dalam bid’ah hasanah
Sunnah sayyiah adalah contoh atau suri tauladan atau perkara baru di luar perkara syariat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits , termasuk ke dalam bid’ah dholalah
Imam Mazhab yang empat yang bertalaqqi (mengaji) dengan Salaf Sholeh, contohnya Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan
Hadits di atas diriwayatkan juga dalam Sunan An-Nasa‘i no.2554, Sunan At-Tirmidzi no. 2675, Sunan Ibnu Majah no. 203, Musnad Ahmad 5/357, 358, 359, 360, 361, 362 dan juga diriwayatkan oleh yang lainnya.
Arti kata sunnah dalam sunnah hasanah atau sunnah sayyiah adalah contoh atau suri tauladan atau perkara baru, sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang lain sebelumnya
Kesimpulannya,
Sunnah hasanah adalah contoh atau suri tauladan atau perkara baru di luar perkara syariat yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits , termasuk ke dalam bid’ah hasanah
Sunnah sayyiah adalah contoh atau suri tauladan atau perkara baru di luar perkara syariat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits , termasuk ke dalam bid’ah dholalah
Imam Mazhab yang empat yang bertalaqqi (mengaji) dengan Salaf Sholeh, contohnya Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan
قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ
( حاشية إعانة 313
ص 1الطالبين -ج)
Artinya
; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal yang baru (tidak terdapat di masa
Rasulullah) dan bertentangan dengan Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama)
dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan
segala kebaikan yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak
bertentangan dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah
mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin
–Juz 1 hal. 313).
KITAB-KITAB YG MEMBAHAS KHUSUS BID’AH
1. AL-I’THISHOM
Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Asy-Syathibi Al-Gharnathi
ابتدأ طريقة لم يسبقه إليها سابق
فالبدعة إذن عبارة عن طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه
Bid’ah secara bahasa berarti mencipta dan mengawali sesuatu.Kitab Al-‘Itisham, I/36
Sedangkan menurut istilah, bid’ah berarti cara baru dalam agama, yg belum ada contoh sebelumnya
yg menyerupai syariah dan bertujuan untuk dijalankan & berlebihan dalam beribadah kepada الله سبحانه وتعال .
Kitab Al-‘Itisham, I/37
Imam Syafi’i membagi perkara baru menjadi dua:
1. Perkara baru yg bertentangan dgn Al-Kitab & As-Sunnah atau atsar sahabat & ijma’. Ini adalah bidah dholalah.
2. Perkara baru yg baik tetapi tidak bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar sahabat & ijma’. Ini adalah bidah yg tidak tercela. Inilah yg dimaksud dgn perkataan Imam Syafi’i yg membagi bid’ah menjadi dua yaitu bid’ah mahmudah terpuji & bid’ah mazmumah tercela/buruk.
Bidah yg sesuai dgn sunnah adalah terpuji & baik, sedangkan yg bertentangan dgn sunnah ialah tercela & buruk”.
Sedangkan menurut istilah, bid’ah berarti cara baru dalam agama, yg belum ada contoh sebelumnya
yg menyerupai syariah dan bertujuan untuk dijalankan & berlebihan dalam beribadah kepada الله سبحانه وتعال .
Kitab Al-‘Itisham, I/37
Imam Syafi’i membagi perkara baru menjadi dua:
1. Perkara baru yg bertentangan dgn Al-Kitab & As-Sunnah atau atsar sahabat & ijma’. Ini adalah bidah dholalah.
2. Perkara baru yg baik tetapi tidak bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar sahabat & ijma’. Ini adalah bidah yg tidak tercela. Inilah yg dimaksud dgn perkataan Imam Syafi’i yg membagi bid’ah menjadi dua yaitu bid’ah mahmudah terpuji & bid’ah mazmumah tercela/buruk.
Bidah yg sesuai dgn sunnah adalah terpuji & baik, sedangkan yg bertentangan dgn sunnah ialah tercela & buruk”.
Hilyah al-Auliya’, 9/113, & Al-Ba’its ‘ala Inkar Al-Bida’, hal. 15.
Ini kelengkapan kalimatnya:
حدثنا ابوبكر الاجرى ثنا عبد الله بن محمد العطش ثنا ابراهيم بن الجنيد ثنا حرملة بن يحيى قال سمعت محمد بن ادريس الشافعى يقول: البدعة بدعتان، بدعة محمودة، وبدعة مذمومة. فما وفق السنة فهو محمودة، وما خالف السنة فهو مذمومة. واحتج يقول عمروبن الخطاب فى قيام رمضان: نعمة البدعة هي. جز: 9 ص: 113
[حلية الاولياء وطبقات الاصفياء للحافظ أبى نعيم احمد بن عبدالله الاصفهانى]
وفي الحد ايضا معنى آخر مما ينظر فيه وهو ان البدعة من حيث قيل فيها انها طريقة في الدين مخترعة إلى آخره يدخل في عموم لفظها البدعة التركية كما يدخل فيه البدعة غير التركية فقد يقع الابتداع بنفس الترك تحريما للمتروك أو غير تحريم فان الفعل مثلا قد يكون حلالا بالشرع فيحرمه الانسان على نفسه أو يقصد تركه قصدا
فبهذا الترك اما ان يكون لأمر يعتبر مثله شرعا اولا فان كان لأمر يعتبر فلا حرج فيه اذ معناه انه ترك ما يجوز تركه أو ما يطلب بتركه كالذي يحرم على نفسه الطعام الفلاني من جهة أنه يضره في جسمه أو عقله أو دينه وما اشبه ذلك فلا مانع هنا من الترك بل ان قلنا بطلب التداوي للمريض فان الترك هنا مطلوب وان قلنا باباحة التداوي فالترك مباح
Batasan Arti Bid'ah
Dalam pembatasan arti bid'ah juga terdapat pengertian lain jika dilihat lebih saksama. yaitu: bid'ah sesuai dgn pengertian yg telah diberikan padanya, bahwa ia adalah tata cara di dalam agama yg baru diciptakan (dibuat-buat) & seterusnya. Termasuk dalam keumuman lafazhnya adalah bid'ah tarkiyyah (meninggalkan perintah agama), demikian halnya dengan bid'ah yg bukan tarkiyyah. Hal-hal yg dianggap bid'ah terkadang ditinggalkan karena hukum asalnya adalah haram. Namun terkadang hukum asalnya adalah halal, tetapi karena dianggap bid'ah maka ia ditinggalkan. Suatu perbuatan misalnya menjadi halal karena ketentuan syar'i, namun ada juga manusia yg mengharamkannya atas dirinya karena ada tujuan tertentu, atau sengaja ingin meninggalkannya.
Meninggalkan suatu hukum; mungkin karena perkara tersebut dianggap telah disyariatkan seperti sebelumnya, karena jika perkaranya telah disyariatkan, maka tidak ada halangan dalam hal tersebut, sebab itu sama halnya dgn meninggalkan perkara yg dibolehkan untuk ditinggalkan atau sesuatu yg diperintahkan untuk ditinggalkan. Jadi di sini tidak ada penghalang untuk meninggalkannya. Namun jika beralasan untuk tujuan pengobatan bagi orang sakit, maka meninggalkan perbuatan hukumnya wajib. Namun jika kita hanya beralasan untuk pengobatan, maka meninggalkannya hukumnya mubah. Kitab Al-‘Itisham, I/42]
ITQON ASH-SHUN’AH FI TAHQIQ MA’NA AL-BID’AH
Sayyid Al-'Allamah Abdullah bin Shodiq Al-Ghumari Al-Husaini..
قال النووي: قوله صلى الله عليه وسلم: "وكل بدعة ضلالة" هذا عام مخصوص والمراد غالب البدع، قال أهل اللغة: هي كل شيء عمل غير مثال سابق. قال العلماء البدعة خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرّمة ومكروهة والمباح
في حديث العرباض بن سارية، قول النبي صلى الله عليه وسلم: "وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل بدعة ضلالة" رواه أحمد وأبو داود والترمذي وابن ماجه، وصححه الترمذي وابن حبان والحاكم.
قال الحافظ بن رجب في شرحه: "والمراد بالبدعة ما أحدث مما لا أصل له في الشريعه يدل عليه، وأما ما كان له أصل من الشرع يدل عليه فليس ببدعة شرعا، وإن كان بدعة لغة" اهـ.
Imam Nawawi berkata:
Sabda Nabi Muhammad SAW
Setiap bid’ah itu sesat ini adalah umum yg dikhususkan & maksudnya pengertian secara umum. Ahli bahasa mengatakan: Bid’ah yaitu segala sesuatu amal perbuatan yg tdk ada contoh sebelumnya. Ulama mengatakan bahwa bid’ah terbagi menjadi lima macam yaitu wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.
Dalam hadits Uryadh bin Sariyah tentang sabda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Takutlah kamu akan perkara-perkara baru, maka setiap bid’ah adalah sesat.
HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Al-Hakim
Al-Hafizh Ibnu Rojab berkata dlm penjelasannya: Yang dimaksud bid’ah adalah sesuatu yg baru yg tdk ada asalnya [contohnya] dlm syari’at yg menunjukkan atasnya. Adapun sesuatu yg ada asalnya dlm syari’at yg menunjukkan atasnya, maka bukan termasuk bid’ah menurut syara’ meski secara bahasa itu adalah bid’ah.
Sabda Nabi Muhammad SAW
Setiap bid’ah itu sesat ini adalah umum yg dikhususkan & maksudnya pengertian secara umum. Ahli bahasa mengatakan: Bid’ah yaitu segala sesuatu amal perbuatan yg tdk ada contoh sebelumnya. Ulama mengatakan bahwa bid’ah terbagi menjadi lima macam yaitu wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.
Dalam hadits Uryadh bin Sariyah tentang sabda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Takutlah kamu akan perkara-perkara baru, maka setiap bid’ah adalah sesat.
HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Al-Hakim
Al-Hafizh Ibnu Rojab berkata dlm penjelasannya: Yang dimaksud bid’ah adalah sesuatu yg baru yg tdk ada asalnya [contohnya] dlm syari’at yg menunjukkan atasnya. Adapun sesuatu yg ada asalnya dlm syari’at yg menunjukkan atasnya, maka bukan termasuk bid’ah menurut syara’ meski secara bahasa itu adalah bid’ah.
وفي صحيح البخاري عن ابن مسعود قال: "إن أحسن الحديث كتاب الله وأحسن الهدى هدى محمد صلّى الله عليه وسلم وشر الأمور محدثاتها".
قال الحافظ بن حجر والمحدثات بفتح الدال جمع محدثه، والمراد بها ما أحدث وما ليس له أصل في الشرع، ويسمى في عرف الشرع بدعة، وما كان له أصل يدل عليه الشرع، فليس ببدعة، فالبدعة في عرف الشرع مذمومة، بخلاف اللغة، فإن كل شيء أحدث على غير مثال، يسمى بدعة سواء كان محمودا او مذموما اهـ.
Dalam shohih Bukhori dari Ibnu Mas’ud
berkata. Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah kitabulloh AlQur’an
& sebaik2 petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW , & sejelek2nya
perkara adalah yg baru dlm agama-pent.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata.
Lafadz muhdatsat dgn di fathah huruf dal-nya” kata jama’ plural dari Muhdatsah, maksudnya sesuatu yg baru yg tdk ada asal dasarnya dlm syari’at.
Dan diketahui dalam hukum agama sebagai bid’ah.
Dan sesuatu yg memiliki asal landasan yg menunjukkan atasnya maka tdk termasuk bid’ah. Bid’ah sesuai pemahaman syar’i itu tercela sebab berlawanan dgn pemahaman secara bahasa.
Maka jika ada perkara baru yg tdk ada contohnya dinamakan bid’ah, baik bid’ah yg mahmudah maupun yg madzmumah.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata.
Lafadz muhdatsat dgn di fathah huruf dal-nya” kata jama’ plural dari Muhdatsah, maksudnya sesuatu yg baru yg tdk ada asal dasarnya dlm syari’at.
Dan diketahui dalam hukum agama sebagai bid’ah.
Dan sesuatu yg memiliki asal landasan yg menunjukkan atasnya maka tdk termasuk bid’ah. Bid’ah sesuai pemahaman syar’i itu tercela sebab berlawanan dgn pemahaman secara bahasa.
Maka jika ada perkara baru yg tdk ada contohnya dinamakan bid’ah, baik bid’ah yg mahmudah maupun yg madzmumah.
وروى أبو نعيم عن ابراهيم بن الجنيد، قال: سمعت الشافعي يقول: البدعة بدعتان بدعة محمودة، وبدعة مذمومة. فما وافق السنة فهو محمود وما خالف السنة فهو مذموم.
وروى البيهقي في مناقب الشافعي عنه، قال: المحدثات ضربان: ما أحدث مما يخالف كتابا أو سنةً أو أثرا أو إجماعا، فهذه بدعة الضلالة.
وما أحدث من الخير لا خلاف فيه في واحد من هذا، فهذه محدثة غير مذمومة وقد قال عمر في قيام رمضان: نعمة البدعة هذه يعني أنها محدثة لم تكن، وإذا كانت، ليس فيها رد لما مضى.
Diriwayatkan Abu Na’im dari Ibrahim
bin Al-Janid berkata: Aku mendengar Imam Syafi’i berkata: “Bid’ah itu
ada dua macam yaitu bid’ah mahmudah & bid’ah madzmumah. Maka perkara
baru yg sesuai sunnah, maka itu bid’ah terpuji. Dan perkara baru yg
berlawanan dgn sunnah itu...bid’ah..tercela.”
Al-Baihaqi meriwayatkan dlm Manaqib Syafi’i biografi Syafi’i....Imam Syafi’i berkata:
Perkara baru itu ada dua macam, yaitu perkara baru yg bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar sahabat & ijma’. Ini adalah bidah dholalah.
Perkara baru yg baik tetapi tidak bertentangan dgn Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar Sahabat & ijma’. Ini adalah bidah yg tidak tercela.
Dan Umar bin Khathab ra. berkata tentang qiyamu Romadhon sholat tarawih.
Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Yakni sholat tarawih adalah perkara baru yg tdk ada sebelumnya, & ketika ada itu bukan berarti menolak apa yg sdh berlalu.
Al-Baihaqi meriwayatkan dlm Manaqib Syafi’i biografi Syafi’i....Imam Syafi’i berkata:
Perkara baru itu ada dua macam, yaitu perkara baru yg bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar sahabat & ijma’. Ini adalah bidah dholalah.
Perkara baru yg baik tetapi tidak bertentangan dgn Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar Sahabat & ijma’. Ini adalah bidah yg tidak tercela.
Dan Umar bin Khathab ra. berkata tentang qiyamu Romadhon sholat tarawih.
Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Yakni sholat tarawih adalah perkara baru yg tdk ada sebelumnya, & ketika ada itu bukan berarti menolak apa yg sdh berlalu.
والمراد بقوله: "كل بدعة ضلالة" ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام اهـ.
وقال النووي في تهذيب الأسماء واللغات: البدعة بكسر الباء، في الشرع، هي إحداث ما لم يكن في عهد الرسول صلى الله عليه وسلم، وهي منقسمه إلى حسنة وقبيحة.
قال الامام الشافعي: "كل ما له مستند من الشرع، فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف، لأن تركهم للعمل به، قد يكون لعذر قام لهم في الوقت، أو لِما هو أفضل منه، أو لعله لم يبلغ جميعهم علم به" اهـ.
Dan yg dimaksud dgn sabda Rosul,
Setiap bid’ah adalah sesat,” adalah sesuatu yg baru dlm agama yg tdk ada dalil syar’i [al-Qur’an dan al-Hadits secara khusus maupun secara umum.
Imam Nawawi berkata dlm At-Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughot bahwa kalimat “Al-Bid’ah” itu dibaca kasror hurup “ba’-nya” di dalam pemahaman agama yaitu perkara baru yg tdk ada dimasa Nabi Muhammad SAW , & dia terbagi menjadi dua baik & buruk.
Imam Syafi'i berkata.
Setiap sesuatu yg mempunyai dasar dari dalil2 syara' maka bukan termasuk bid'ah, meskipun blm pernah dilakukan oleh salaf.
Karena sikap mereka meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada uzur yg terjadi saat itu (belum dibutuhkan -pent) atau karena ada amaliah lain yg lebih utama, & atau hal itu barangkali belum diketahui oleh mereka
Setiap bid’ah adalah sesat,” adalah sesuatu yg baru dlm agama yg tdk ada dalil syar’i [al-Qur’an dan al-Hadits secara khusus maupun secara umum.
Imam Nawawi berkata dlm At-Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughot bahwa kalimat “Al-Bid’ah” itu dibaca kasror hurup “ba’-nya” di dalam pemahaman agama yaitu perkara baru yg tdk ada dimasa Nabi Muhammad SAW , & dia terbagi menjadi dua baik & buruk.
Imam Syafi'i berkata.
Setiap sesuatu yg mempunyai dasar dari dalil2 syara' maka bukan termasuk bid'ah, meskipun blm pernah dilakukan oleh salaf.
Karena sikap mereka meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada uzur yg terjadi saat itu (belum dibutuhkan -pent) atau karena ada amaliah lain yg lebih utama, & atau hal itu barangkali belum diketahui oleh mereka
(belum dikenal formatnya-pent).
والله أعلم بالصواب
Tidak ada komentar:
Posting Komentar