- SHALAT ‘ID DI MASJID ATAU LAPANGAN? (JILID 2)
- SHALAT ‘ID DI MASJID ATAU LAPANGAN? (JILID 1)
- MENGHILANGKAN RASA IRI
- NIKAH MUT’AH ATAU KAWIN KONTRAK
- NIKAH SIRI DAN NIKAH DIAM-DIAM
- APAKAH SAH SHALAT BERJAMAAH DENGAN SHAF TERPUTUS (JILID 2) ?
- APAKAH SAH SHALAT BERJAMAAH DENGAN SHAF TERPUTUS (JILID 1)?
- SHALAT SAMBIL MENGGENDONG BAYI BOLEHKAH?
- MENOLEH DALAM SHALAT BOLEHKAH??
- NIAT DI DALAM HATI ATAU DIUCAPKAN??
- DZIKIR DIKERASKAN APAKAH BID’AH? (JILID 2)
- DZIKIR DIKERASKAN APAKAH BID’AH? (JILID 1)
- PUASA SYAWAL DAN QODHO PUASA WAJIB
- BOLEHKAH SHALAT ‘ID DUA KALI ?
- SHALAT JAHRIYAH DAN SIRRIYAH
- CIRI CIRI ISTIDRAJ
- MENGAPA ORANG KAFIR DIBERI REZEKI ?
- PENYEBAB TERJADINYA ISTIDRAJ
- APAKAH MUSIBAH TANDA MURKA ALLAH ?
- ISTIDRAJ
- MENG-QADHA SHOLAT
- DONOR DARAH DAN TRANSFUSI DARAH KETIKA PUASA
- DAUN QOT ATAU KHAT
- EUTANASIA DALAM PANDANGAN ISLAM
- HUKUM KB DAN ALAT KONTRASEPSI DALAM PANDANGAN ISLAM (JILID 4)
- HUKUM KB DAN ALAT KONTRASEPSI DALAM PANDANGAN ISLAM (JILID 3)
- HUKUM KB DAN ALAT KONTRASEPSI DALAM PANDANGAN ISLAM (JILID 2)
- HUKUM KB DAN ALAT KONTRASEPSI DALAM PANDANGAN ISLAM (JILID 1)
- TRADISI NYADRAN
- PUASA TANPA NIAT SEBELUMNYA
- BOLEHKAH TIDUR DI DALAM MASJID?
- MENGANGKAT TANGAN SAAT TAKBIR
- PUASA BULAN SYA’BAN (JILID 2)
- PUASA BULAN SYA’BAN (JILID 1)
- NISFU SYA’BAN
- BENARKAH BAJU WANITA HARUS POLOS DAN TIDAK BOLEH BERCORAK BUNGA-BUNGA?
- AQIQAH SUNNAH ATAU BID’AH ?
- APAKAH ORANG KAFIR ITU NAJIS?
- ISYARAT JARI KETIKA DUDUK TASYAHUD
- PUASA SUNAH BULAN RAJAB BID’AH ATAU SUNNAH ? (JILID 2)
- PUASA SUNAH BULAN RAJAB BID’AH ATAU SUNNAH? (JILID 1)
- APAKAH MAYAT DISIKSA KARENA TANGISAN KELUARGANYA?? Oleh :
- BENARKAH MENCIUM TANGAN DAN SUNGKEMAN BID’AH? (JILID 1)
- BENARKAH MENCIUM TANGAN DAN SUNGKEMAN BID’AH? (JILID 2)
- PEMBAHASAN MASALAH BID’AH (JILID 11)
- PEMBAHASAN MASALAH BID’AH (JILID 10)
- PEMBAHASAN MASALAH BID’AH (JILID 9)
- PEMBAHASAN MASALAH BID’AH (JILID 8)
- PEMBAHASAN MASALAH BID’AH (JILID 7)
- PEMBAHASAN MASALAH BID’AH (JILID 6)
Anda akan menjumpai berbagai tulisan di dunia maya dari sebagian orang yang bersikeras bahwa makna bid’ah pada hadits “kullu bid’atin dlolalah” bersifat umum tanpa kecuali. Orang sulit untuk beranjak dari pemahaman dan kesan yang kuat bahwa perkataan “kullu bid’atin dlolalah” adalah “semua bid’ah itu sesat: bersifat umum karena memahami kata “kullu” berarti “setiap” atau “semua”. Sehingga mereka berkata “semua ya semua” kok pake ada yang dlolalah (sesat) dan ada yang hasanah (baik). Oleh karena itu kita akan bahas bahwa tidak setiap kata “kullu” menunjukkan hal yang umum.
Dan seandainya kata “kullu” ini pun bermakna umum, maka kata “bid’ah” di sini bukanlah dalam makna asal / makna hakiki yaitu “hal yang baru” melainkan adalah hal yang definitif setelah di-takhsish (dikhususkan). Terlebih lagi jika ternyata kata “kullu” nya tidak bermakna umum dan kata “bid’ah” nya juga tidak bermakna umum.
Orang Salah Paham Dengan Keumuman Makna Bid’ah Karena Ada Kata “Kullu”
Salah satu akar permasalahan yang membuat kebanyakan orang salah paham adalah adanya kata “kullu”
yang berarti “setiap” atau “semua”. Sehingga kalimat kullu bid’atin
dlolalah artinya menjadi setiap bid’ah itu sesat atau semua bid’ah itu
sesat.Padahal semua itu tidak bisa disama-samakan. Sebuah kata kadang di sini maknanya beda dengan di sana. Sebagaimana kata bid’ah di sini beda dengan bid’ah di sana. Maka kata kullu di sini juga beda dengan kullu di sana. Memang kata kullu artinya “setiap” atau “semua” tapi tidak setiap “kullu” artinya sungguh-sungguh “semua”. Hal ini memang suatu hal yang biasa dalam gaya bahasa Arab (lihat tulisan kami yang menjelaskan hal ini) Maka terkadang kata “kufur” tidak bermaksud sungguh-sungguh kafir, kata fasiq tidak sungguh-sungguh fasik, maka ada pula “semua” yang tidak sungguh-sungguh “semua”.
Kaidah ini dalam ushul fiqih dikatakan bahwa hampir semua lafadz ‘aam (perkataan yang bermakna umum) menuntut adanya pengecualian (takkhsish) sehingga tidak ada suatu perkataan umum yang benar-benar umum (lihat tulisan kami yang membahas masalah lafadz ‘am dan lafadz khas).
Masalah ini telah aku (Nawawi) jelaskan dengan
dalil-dalilnya yang luas dalam kitab “Tahziibul Asma’ wa-Lughat”.
Apabila dimengerti apa yang telah aku sebutkan itu niscaya diketahuilah
bahwa hadist Nabi itu termasuk hadist yang ‘am makshush (yang
dikhususkan maknanya) dan begitu juga hadist-hadist yang serupa
dengannya. Dalam keadaan hadist itu sebagai hadist yang ‘am makhsush
(lafadznya umum namun maknanya khusus) tidaklah tercegah oleh sabda Nabi
“kullu bid’atin” yang diperkuat dengan kata “kullu” melainkan tetap hal
umum itu dimasuki oleh takhsis (ada pengecualian) walaupun bersama
“kullu” seperti firman Allah : “Tudammiru kulla syai’in yang berarti
“Angin taufan itu menghancurkan segala sesuatu” (namun kenyataannya
tidak semua dihancurkan oleh angin topan) “(Tahziibul Asma’ wa-Lughat)”.
Tidak Semua Kata “Kullu” Sungguh-Sungguh Bermakna Semua (Umum)
Apakah kata “kullu” yang tidak sungguh-sungguh bermakna “semua” itu
hanya ada pada hadits “kullu bid’atin dlaolalah?” Tentu tidak. Banyak
sekali kalimat “kullu” baik pada ayat Al-Qur’an maupun hadits yang
tidak bermakna umum.Misalnya pada firman Allah SWT berikut ini :
“Wa ja’alna minal maa’i KULLA syai’in hayyin” (Dan dari air kami ciptakan segala sesuatu yang hidup) (Q.S. Al-Anbiya [21]:30)
Dari ayat ini kata kulla memiliki makna umum yaitu semua bahkan ditambah lagi kata syai’in yang artinya segala sesuatu, sehingga maknanya benar-benar umum dan tanpa kecuali. Namun kenyatannya keumuman ayat di atas di-takhshish (dikecualikan / dibatasi) oleh ayat-ayat lainnya :
“Dan Dia menjadikan Jin dari nyala api” (Q.S. Ar-Rahman [55] : 15)
“Dan Kami ciptakan Al-Jan sebelum (adam) dari api yang sangat panas (Q.S. Al-Hijr :27)
Dari Urwah dari Aisyah Rasulullah SAW bersabda : malaikat diciptakan dari cahaya (nur) sedang kan jin diciptakan dari nyala api (mariij) dan Adam diciptakan dari sesuatu yang telah disebutkan pada kalian (H.R. Muslim)
Maka dari ayat dan hadits di atas jelas kita pahami bahwa jin dan malaikat walau bukan makhluk kasat mata namun tergolong makluk yang hidup, namun mereka tidak terbuat dari air melainkan jin terbuat dari api dan malaikat terbuat dari cahaya. Maka ayat dan hadits ini men-takhshish (mengecualikan) keumuman dari ayat Q.S. Al-Anbiya [21]:30
Contoh lainnya adalah firman Allah tentang jawaban Nabi Khidir a.s. ketika ditanya oleh Nabi Musa a.s. mengapa ia melubangi perahu yang mereka tumpangi
“Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: “Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?” (Q.S. Al-Kahfi [18]:71)
Maka Nabi Khidir a.s. menjawab :
“Karena di hadapan Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas semua bahtera (kulla safiinah)” (Q.S. Al-Kahfi [18]:79)
Tapi kenyataannya raja itu tidak merampas semua bahtera melainkan hanya bahtera yang masih bagus saja. Jika tidak, maka untuk apa Nabi Khidir a.s. melubangi perahu itu. Jika benar-benar kata “kulla” bermakna umum, maka semua perahu termasuk yang bocor pun akan dirampas oleh raja itu. Maka perkataan “kulla safiinah” (semua bahtera) pada ayat tersebut tidak sungguh-sungguh bermakna “semua”
Contoh lainnya lagi pada ayat :
“(Angin) yang menghancurkan segala sesuatu karena perintah Rabbnya, maka jadilah mereka tidak ada yang tersisa lagi kecuali tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa” (Q.S. Al Ahqaf [46] : 25).
Ayat ini berbicara tentang kaum Nabi Hud a.s. yaitu kerabat kaum ‘Ad dan Tsamud. Namun kenyataannya tidak demikian, sisa-sisa peradaban kaum ‘Ad dan Tsamud yang dibinasakan Allah masih bisa dilihat sisa bangunannya dan menjadi pelajaran bagi umat yang kemudian
Dan apakah tidak menjadi petunjuk bagi mereka, berapa banyak umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan sedangkan mereka sendiri berjalan di tempat-tempat kediaman mereka itu.” (Q.S. As-Sajadah [32] : 26)
Sebagian ulama ada yang mengajukan dalil bahwa kata “kulla” bermakna umum pada kalimat
Kullu nafsin dzaiqotul maut (Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati) )” (Q.S. Ali-Imran [3] : 185)
Namun kenyataannya tetap saja ada yang dikecualikan yaitu pada ayat :
Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing). (Q.S. Az-Zumar [39] : 68)
Dan (ingatlah) hari (ketika) ditiup sangkakala, maka terkejutlah segala yang di langit dan segala yang di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Dan semua mereka datang menghadap-Nya dengan merendahkan diri. (Q.S. An-Naml [27] : 87 )
Maka pada ayat itu ternyata ada beberapa makhluk hidup (yang pasti adalah malaikat yang meniup sangsakala dimana ia tidak ikut mati) padahal malaikat adalah makhluk yang berjiwa juga karena ia adalah makhluk yang hidup.
Kadang kala kalimat umum itu tidak mesti menggunakan kata kullu, misalnya pada ayat :
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai…” (Q.S. Al-Maidah [5] : 5)
Ayat di atas bermakna umum artinya bangkai apapun itu haram tanpa kecuali. Namun kenyataannya bangkai binatang dari laut tidak haram
Rasulullah s.a.w. bersabda : “Laut itu suci dan bangkainyapun halal” (H.R. Tirmidzi)
Contoh lain kalimat umum yang tidak menggunakan kata “kullu” misalnya pada ayat :
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”.(Q.S. Al-Baqarah [2] :228).
Pada ayat di atas lafadz al-mutholaqotu adalah isim
jamak yang diikuti alif lam sehingga maknanya adalah umum (lafadz ‘am)
sehingga artinya wanita manapun dalam kondisi bagaimanapun.
Namun lafadz ‘am ini di-takhshish (dibatasi / dikecualikan) dengan ayat lainnya yaitu :
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (Q.S. At-Thalaq [ 65]:4)
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum
kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah bagimu
yang kamu minta menyempurnakannya.(Q.S.Al-Ahzab [33]:49).
Maka keumuman ayat Al-Baqarah [2]:228 bahwa wanita yang dicerai harus
beriddah tiga kali suci, itu dikecualikan untuk wanita yang sedang
hamil dan yang dicerai dalam keadaan belum pernah digauli.Maka dari sini para ulama mengatakan bahwa hampir tak ada lafadz umum yang bebas dari pengecualian, kecuali ayat-ayat yang berkaitan dengan kekuasaan Allah yang memang bersifat mutlak dan tanpa kecuali.
Wahbah Zuhaili mengatakan : “Jumhur ulama berhujjah bawah setiap yang umum memiliki kecenderungan takhshish (pengecualian / pembatasan) sehingga telah tersebar di kalangan ulama (anggapan) bahwa tak ada yang umum kecuali telah dikhususkan (dari keumumannya) maka takhshish memang banyak tersebar pada hal-hal yang umum. Artinya bahwa tak ada yang bebas (suatu dalil umum) dari adanya takhshish melainkan sedikit saja” (Ushul Al-Fiqih Al-Islami Juz 1 Hal 245)
Demikian pula Muhammad bin Ali Asy Syaukani mengatakan : “Telah sepakat ahli ilmu baik salaf maupun kholaf bahwa takhshish bagi keumuman-keumuman itu adalah sesuatu yang ja’iz (boleh) dan tidak ada seorangpun dari orang-orang yang dipandang keilmuannya yang menentangnya, dan hal ini sudah diketahui termasuk bagian dari syari’at yang suci ini, tidak tersembunyi bahkan dari orang yang memiliki komitmen yang rendah terhadap syari’at sekalipun, sehingga dikatakan tidak ada dalil yang umum melainkan sudah dikhususkan kecuali firman Allah Ta’ala “dan Dia Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu” (Irsyadul Fuhuul Hal 246)
Demikian pula lah dalam pembahasan masalah hadits bid’ah :
kullu muhdatsatin bid’ah, wa kullu bid’atin dlolalah (setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat (H.R. Ibnu Majah)
Bahwa perkataan kullu pada hadits di atas tidak sungguh sungguh bermakna “semua” atau “setiap” melainkan hal itu telah dikecualikan (ada takhshish nya)
Qorinah (Petunjuk) Tentang Adanya Sunnah Hasanah dan Sunnah Sayyi’ah
Mereka yang bersikeras dengan keumuman bahwa semua bid’ah tanpa kecuali adalah dlolal, juga berkata bahwa pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah adalah tanpa dasar / dalil yang jelas kecuali hadits dari Umar bin Khattab r.a. ketika menyelenggarakan tarawih berjamaah dan berkata “hadza ni’matil bid’ah” (ini adala bid’ah yang nikmat / bid’ah hasanah).
Orang-orang yang bersikeras dengan keumuman makna “kullu bid’atin dlolalah” juga berkata bahwa takhshish (pengkhsususan / pembatasan) makna yang ‘aam (umum) tidak boleh sembarangan dilakukan beradasarkan akal-akal-an, melainkan harus berdasarkan qarinah (petunjuk / indikasi) yang jelas yang didukung nash / dalil naqli.
Kami sepakat dengan mereka bahwa : walaupun para ulama mengatakan telah masyhur di kalangan ulama adanya kaidah setiap yang ‘aam (umum) menuntut adanya takhshish, kecuali hal-hal yang berkaitan dengan kuasa Allah, namun takhshish (pengkhsususan / pembatasan) makna yang ‘aam (umum) tadi harus berdasarkan qarinah (petunjuk / indikasi) yang jelas yang didukung nash / dalil naqli. Dan sama sekali tidak terbersit niat untuk akal-akal-an di sini. Demikian pula Imam Syafi’i, Ibnu Hajar Asqolani, Ibnu Atsir Jaziri dan ulama-ulama besar salafus sholih sejak jaman dahulu tak pernah akal-akal-an mencari-cari celah untuk melegal-kan perkara bid’ah.
Jika mereka berpendapat bahwa pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah tanpa dasar / dalil yang jelas kecuali hadits dari Umar bin Khattab r.a. ketika menyelenggarakan tarawih berjamaah maka jelas itu adalah pendapat yang salah besar. Karena sesungguhnya qorinah (petunjuk / indikasi) adanya pembagian bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah itu nyata benar adanya dari hadits-hadits Nabi s.a.w. sendiri sebagai berikut :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdul Malik bin Abu Syawarib berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin Umair dari Al-Mundzir bin Jarir dari Bapaknya ia berkata Rasulullah s.a.w. bersabda : “man sanna sunnatan hasanatan fa’mila biha kaa na lahu ajruha (Barang siapa merintis sunnah yang baik kemudian sunnah itu dikerjakan, maka ia akan mendapatkan pahalanya) dan pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Wa man sanna sunnatan sayyi-a-tan fa’mila biha kaa na ‘alaihi wizruhaa wa wizru man ‘amila biha (Dan barang siapa merintis suatu sunnah yang buruk kemudian dikerjakan maka ia menanggung dosa dan dosa orang-orang yang mengikutinya) tanpa mengurangi dosa mereka (yang mengikuti itu) sedikitpun” (H.R Ibnu Majah)
Perhatikanlah hadits di atas, bukankah jelas-jelas dalam redaksi hadits tersebut ada perkataan sunnatan hasanatan (sunnah yang baik) dan sunnatan sayyi-a-tan (sunnah yang baik) ? Hadits ini dengan redaksi yang sama diriwayatkan dari jalur yang lain sebagai berikut :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim berkata telah menceritakan kepada kami Isma’il dari Al-Hakam dari Abu Juhaifah ia berkata Rasulullah s.a.w. bersabda : “man sanna sunnatan hasanatan fa’mila biha ba’dahu (Barang siapa merintis sunnah yang baik kemudian dikerjakan oleh orang-orang setelahnya), maka ia akan mendapatkan seperti pahala mereka tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Wa man sanna sunnatan sayyi-a-tan fa’mila biha ba’dahu kaa na ‘alaihi wizruha wa mitslu (Dan barang siapa merintis suatu sunnah yang buruk kemudian dikerjakan oleh orang-orang setelahnya) maka ia menanggung dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka (yang mengikuti itu) sedikitpun” (H.R Abu Daud dan Ibnu Majah)
Maka jelas dalam hadits di atas bahwa orang yang merintis sunnah yang baik akan mendapat pahala atas kebaikan tersebut dan pahala dari orang-orang yang mengikutinya. Kriteria membedakan apakah rintisan-nya itu baik atau buruk tentu adalah dari timbangan syari’at yaitu kesesuaian dengan Al-Qur’an, hadits, atsar sahabat, ijtihad sahabat atau ijma ulama.
Imam Syafi’i berkata : “Segala perbuatan baru yang memiliki dasar dalil-dalil syara’ maa bukan termasuk bid’ah (maksudnya bi’ah secara istilah) meskipun belum pernah dilakukan pada masa salaf. Karena sikap mereka yang meninggalkan hal tersebut terkadang karena suatu udzur yang terjadi saat itu (situasi kondisi yang tidak memungkinkan) atau karena ada amaliah lain yang lebih utama, atau barangkali hal itu (perkara baru yang baik itu) belum terlintas di dalam pengetahuan mereka (sahabat nabi, tabi’in, para salaf)” (Al-Hafizh Ghumari, Itqon fii Tahqiiq Ma’ani Bid’ah Hal 5)
Orang Yang Mengatakan Bahwa “Sunnah” Di Situ Maksudnya Adalah Sunnah Nabi s.a.w. Yang Sudah Ada Di Jaman Nabi dan Bukannya Perkara Baru
Lagi-lagi orang-orang yang terlalu bersemangat ini (atau mungkin didorong oleh fanatisme kepada kelompoknya) menolak adanya qorinah (petunjuk) yang jelas tentang adanya bid’ah hasanah berupa hadits-hadits di atas. Mereka berargumen bahwa sunnah di situ adalah sunnah Nabi s.a.w. yaitu menghidupkan sunnah Nabi s.a.w. yang sudah lama ditinggalkan orang dan bukannya perkara baru yang diadakan orang. maka barang siapa yang menghidupkannya tentu akan mendapat pahala orang-orang yang mengikutinya.
Ada juga yang mengatakan bahwa hadits di atas asbabul wurudnya (latar belakang peristiwa timbulnya hadits) adalah anjuran untuk bersedekah. Maka maksud perkataan “sunnatan“ di situ adalah sunnah Rasulullah s.a.w. dan bukannya perkara baru.
Dalam menanggapi penyangkalan di atas, kami berusaha untuk husnu dzhon (berprasangka baik) dalam hal ini, mungkin saja mereka (yang menolak qorinah / petunju dalam hadits itu) terpengaruh dengan hadits dengan redaksi yang sangat mirip namun berbeda maknanya yatu :
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah berkata telah menceritakan kepada kami Zain bin Hulab berkata telah menceritakan kepada kami Katsur bin Amru bin Auf Al-Muzani berkata telah menceritakan kepdaku Bapakku dari Kakekku bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda : “Man ahyaa sunnatan min sunnatii fa’mila biha annaas kaa na lahu mistlu ajri min ‘amila biha (Barang siapa menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku kemudian orang-orang mengerjakannya maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya) tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka. Wa man abtada’a bid’atan fa’mila biha kaa na ‘alaihi au zaaru man ‘amila biha (Dan barang siapa membuat bid’ah kemudian bid’ah itu dikerjakan oleh orang-orang maka ia mendapatkan dosa sebagaimana dosa orang yang mengerjakannya)” (H.R. Ibnu Majah)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya berkata telah menceritakan kepada kami Ismail bin Abu Uwais berkata telah menceitakan kepadaku Katsur bin Abdullah dari Bapaknya dari Kakeknya ia berkata : Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda : “Man ahya sunnatan min sunnati qod amiitat ba’dii fainnalahu min ajri mitsli ajri man ‘amila biha minannaas (Barang siapa menghidupkan sunnahku yang telah ditinggalkan sepeninggalku maka ia akan mendapat pahala sebagaimana pahala orang yang mengamalkannya) tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Wa man abtada’a bid’atan laa yardlohaa Allah wa Rosuluhu fa inna ‘alaihi mitsla itsmi man ‘amila biha minannaas (Dan barang siapa membuat bid’ah yang Allah dan RasulNya tidak meridlainya, maka ia akan mendapatkan dosa orang yang melakukannya) tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun (H.R. Ibnu Majah)
Pada kedua hadits di atas sunnah di sini memang sunnah Nabi Muhammad s.a.w. yang ditinggalkan orang, hal ini ditandai dengan perkataan sunnatan min sunnati (sunnah dari sunnahku) maka akhiran “i” adalah kata ganti yang berarti “ku” dimana “ku” disini adalah Nabi Muhammad s.a.w. Oleh karena sunnah di sini adalah sunnah Nabi Muhammad s.a.w. yang sudah ada sebelumnya namun ditinggalkan oleh orang (tidak diamalkan lagi) maka yang melakukannya dikatakan dengan kata “man ahya” (barang siapa menghidupkan kembali).
Sedangkan pada hadits yang sebelumnya, perkataan sunnatan hasanatan (sunnah yang baik) dan sunnatan sayyi-a-tan (sunnah yang buruk) bukanlah sunnah Nabi s.a.w. yang sudah ada, melainkan “perkara baru dalam agama yang diadakan”. Untuk itulah redaksi hadits tersebut tidak diawali dengan kata man ahya (barang siapa menghidupkan) melainkan “man sanna” yang artinya barang siapa merintis. Maka kata “man sanna” ini menunjukkan bahwa ini adalah perkara baru dalam agama yang belum ada sebelumnya atau tidak dicontohkan oleh Nabi s.a.w.
Selain itu jika perkataan sunnatan di sini adalah sunnah Nabi Muhammad s.a.w. yang sudah ada sebelumnya maka apakah sunnah yang diajarkan Nabi s.a.w. itu ada sunnatan hasanatan (sunnah yang baik) dan ada sunnatan sayyi-a-tan (sunnah yang buruk)?? Sehingga barang siapa yang melaksanakan sunnah Nabi s.a.w. yang buruk akan mendapat dosa?? Tentu menjadi kacau pengertian hadits ini jika perkataan sunnatan di sini diartikan sebagai sunnah Nabi Muhammad s.a.w. yang sudah ada sebelumnya.
Kesalahpahaman Makna Sunnah
Kami juga ber-husnudzhon bahwa mungkin saja ke-salah-paham-an dalam memahami makna sunnatan dalam hadits “man sanna sunnatan hasanatan (Barang siapa merintis sunnah yang baik) timbul karena ada dua pengertian sunnah dalam pembicaraan umum dan pembicaraan ilmu fiqih. Dua pengetian ini bisa saling tertukar atau sekilas membingungkan.
Secara pembicaraan umum, pengertian “sunnah” adalah sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan atau diterima orang untuk dilaksanakan. Secara makna bahasa atau makna lughoh dikatakan bahwa sunnah ialah : “at-thoriqoh mardhiyyatan kanat au ghoiro mardhiyyah” (perilaku yang diterima umum baik itu perbuatan baik yang diridhoi maupun yang tidak diridhoi). Maka pengertian “sunnah” dalam pembicaraan umum tidak hanya perbuatan yang baik saja melainkan juga bisa meliputi perbuatan buruk yang sudah melembaga di masyarakat atau menjadi konsensus bersama untuk dilaksanakan.
Sedangkan dalam ilmu fiqih, definisi “sunnah” adalah : “ma ja’a ‘annin nabiyy shalallahu alaihi wa salam min qoulin au fi’lin au taqriir” (segala sesuatu yang datang dari Nabi s.a.w. baik itu perkataan, perbuatan maupun pengakuan). Sebagian ulama ada yang menambahkan pada definisi sunnah dengan “diamnya Nabi s.a.w.” artinya meliputi perkara-perkara yang didiamkan oleh Nabi s.a.w. karena hal itu menunjukkan adanya persetujuan Nabi s.a.w. atas perilaku tersebut. Nah pengertian sunnah dalam ilmu fiqih inilah yang lebih sering kita pegang ketika membahas masalah agama. Namun dalam pembicaraan hadits “man sanna sunnatan hasanatan (Barang siapa merintis sunnah yang baik) di atas, mengambil makna sunnah secara pembicaraan umum meliputi perbuatan baik dan perbuatan buruk yang telah diterima atau disepakati untuk dilaksanakan oleh masyarakat. Maka dari itulah ada sunnatan hasanatan (sunnah yang baik) dan ada sunnatan sayyi-a-tan (sunnah yang buruk).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar