texs ketik

Se_

m.taufiq

salam

Assalaamu'alaikum Warohmatullaahi Wabarokaatuh Selamat Datang Di Blog kami Semoga Allah SWT memberikan berkahnya untuk kita semua Aamiin

Senin, 15 Juni 2015

Jangan-Jangan Ilmu Tajwid Juga Dianggap bid'ah


Dr. Hj. Romlah Widayati, MA: �Jangan-Jangan Ilmu Tajwid Juga Dianggap Bid�ah�

Sekarang ini, ada sekelompok orang sekarang yang gampang mencap bid’ah orang lain yang tidak sepaham. Sedikit-sedikit bid’ah. Berbicara tentang bid’ah, sesungguhnya Ilmu Tajwid yang kita pelajari di IIQ Jakarta, itu adalah sesungguhnya juga adalah Tajwid yang kita pelajari sekarang, itu adalah penemuann para ulama kita, dan Nabi Muhammad hanya mengajarkan bahwa cara membacanya seperti ini. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Inni Uihbbu an aqraa al-Qur’an kamaa unzila” (Saya menyukai al-Qur’an dibaca sebagaimana ketika diturunkan). Ini disampaikan kepada para sahabat Nabi, agar sahabat Nabi menyampaikan apa yang ditdengarnya dari Nabi kepada sahabat lainnya, dan begitu seterusnya.
Mushaf al-Qur’an atau Ilmu Tajwid yang sekarang ini, bisa mereka bilang bid’ah, kalau itu Nabi Muhammad SAW melakukannya. Karena prosesnya ketika Nabi menerima Wahyu melalui Malaikat Jibril, kemudian Nabi menyampaikan kepada para Sahabat: “Tulislah seperti ini seperti ini...”. Sehingga kemudian, ada ulama mengatakan bahwasanya tulisan al-Qur’an itu Tauqifi (ditetapkan dari sononya, dari ketetapan Rasulnya). Karena itu tulisan al-Qur’an yang berupa rasm Utsmani itu diyakini sebagai Tauqifi. Itu karena sesuai dengan petunjuk Nabi. Meski pada awalnya, tulisan al-Qur’an dengan rasm Utsmani pada awalanya tidak ada titik-titiknya, bisa jadi kita tidak bisa membacanya.
Kemudian pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, Abu Aswad Ad-Duali diperintahkan untuk membikin tanda-tanda tambahan berupa titik-titik. Sebelum ini tulisan al-Qur’an tidak dilengkapi dengan tanda-tanda berupa titik-titik, dan hanya ditulis dengan gaya khath kufi awal saja, tidak sebagaimana yang kita kenal sekarang.
Orang yang pertama kali mengajarkan bagaimana tata cara menulis Arab, itu orang tuanya Abu Sufyan, Umayyah, dan itu yang diajarkan adalah khath kufi. Waktu itu belum ada harakatnya seperti sekarang. Pemberian harakat itu pada periode berikutnya. Dan yang menemukan harakat adalah Abu Khalil al-Farahidi. Dengan harakat-harakat itu akhirnya huruf-huruf al-Qur’an berharakat. Penciptaan atau penemuan harakat itu diawali dengan adanya kesalahan baca (lahn) dengan membaca annallaha barîun minallahi wa rasûlihi, sedangkan yang benar annallaha barîun minal musyrikîn wa rasûluhu. Atas dasar kasus salah baca ini (lahn), kemudian Abu Khalil al-Farahidi menggagas dan menciptakan harakat. Ini, di mana umat Islam telah mendunia, sampai ke Palestin dan Eropa.
Setelah harakat tercipta ternyata juga masih menyisahkan masalah. Misalnya saja ketika membaca Fawatih Suwâr, pembuka-pembuka sûrah yang berupa al-ahruf al-muqatha’ah, seperti Alif-Lam-Mim, yang dibaca secara salah dengan dibaca a-la-ma. Karena itu kemudian Abu al-Ubaid Qasim bin Salam, menggagas dan meletakkan hukum-hukum dasar Tajwid. Sehingga ketika membunyikan Alif-Lam-Mim, dibaca panjang 6 (enam) harakat, karena memang Alif-Lam-Mim itu huruf mati yang dibaca panjang (mad). Dalam Tajwid, mad yang ada pada huruf mati, maka hukumnya adalah mad lazim, yang dibaca panjang 6 (enam) harakat. Mad, izhar, ikhfa, hukum nun mati dan tanwin, hukum mim, ahkamul mad dan qashr, itu semua yang menemukan dan meletakkannya adalah Abu al-Ubaid Qasim bin Salam. Ini pada masa Abbasiyah. Kalau Abu Khalil al-Farahidi, sebelumnya. Siapa Abu Khalil al-Farahidi bisa kita lihat di kitab Fan al-Tartîl
Saya ceritakan demikian, ini hendak mengatakan bahwa tidak semua ilmu keislaman itu ada sejak zaman Nabi. Meski bagi orang atau kelompok yang suka membid’ahkan, Ilmu Tajwid juga bisa dianggap bid’ah. Nanti Ilmu Fiqih yang beragam, yang hasil ijtihad para ulama itu juga lalu dianggap barang baru (bid’ah). Inilah yang sekarang sedang marak, ada sekarang ada sekelompok yang sangat bersemangat menyatakan bahwa semua yang tidak ada dan tidak dilakukan pada zaman Nabi adalah bid’ah.
Menurut Ibnu Qoyyim al-Jauzi, bahkan pun Ibnu Taimiyah, sebenarnya membagi bid’ah itu menjadi dua, ada bid’ah hasanah dan ada bid’ah dhalalah, tetapi kemudian oleh para pengikutnya, yang bid’ah hasanah itu dianggap tidak ada alias didelete, dan dinyatakan bahwa semua bid’ah adalah bid’ah dhalalah.
Kita sekarangg mesti waspada, karena sikap gampang membid’ahkan ini, sudah menyerang anak-anak remaja kita, dan mahasiswa-mahasiswa yang kuliahh di Perguruan Tinggi non agama, alias Perguruan Tinggi umum.
Sesungguhnya, meski tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW, tetapi dicontohkan oleh para ulama kita maka itu patut dicontoh. Seperti Ulumul Qur’an, Ulumut Tafsir, Ulumul Hadits, Ushul Fiqih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya itukan disusun oleh para ulama, dan belum ada pada masa Nabi. Nah kalau semua ini dibid’ahkan juga, ini kan kita menjadi ahistoris. Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-sahwab
________________________
# Ini adalah ringkasan Kultum Dr. Hj. Romlah Widayati MA, disampaikan ba’da zhuhur di IIQ Jakarta, 26/07/2013, ditulis oleh Ali Mursyid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar