Dari al-‘Irbadh bin Sâriah radhiallahu 'anhu, dia berkata :
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan wejangan
kepada kami yang membuat hati ciut dan air mata berlinang, maka kami
lantas berkata: sepertinya ini wejangan seorang yang
berpamitan/meninggalkan (kami selamanya), lantas (aku berkata)
wasiatilah kami !, beliau bersabda : “Aku wasiatkan kepada kalian
agar bertakwa kepada Allah dan bersikap mendengar dan ta’at (loyal)
meskipun orang yang memerintah (menjadi Amir/penguasa) adalah seorang
budak. Sesungguhnya siapa saja yang nanti hidup setelahku maka dia akan
melihat terjadinya perselisihan yang banyak; oleh karena itu,
berpeganglah kalian kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafaur Rasyidin
yang mendapat petunjuk (al-Mahdiyyin), gigitlah ia(sunnahku tersebut)
dengan gigi geraham, dan tinggalkanlah oleh kalian urusan-urusan baru
(mengada-ada dalam urusan agama) karena sesungguhnya setiap bid’ah itu
adalah sesat”. (H.R. Abu Daud dan at-Turmuzi, dia berkata : hadits ini hadits hasan shahih).
Catatan : Demikian naskah asli dari kitab “Jami’ul ‘Ulum wal
hikam” karya Syaikh Ibnu Rajab al-Hanbali (II/109) yang menyatakan bahwa
hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud dan at-Turmuzi, dan setelah
diteliti kembali ternyata matan yang ada di kedua sumber yang disebutkan
oleh beliau (sunan Abu Daud dan at-Turmuzi) tidak persis seperti
naskah/matan diatas ; barangkali naskah hadits tersebut diriwayatkan
secara makna oleh Mushannif(pengarang), Syaikh Ibnu Rajab al-Hanbali.
Oleh karena itu, disini kami lampirkan juga naskah sebagaimana terdapat
dalam kedua sunan tersebut :
عَنِ الْعِرْبَاضِ : صَلَّى بِنَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ
أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا
الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ
اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا
فَقَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ
عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى
اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ . رواه أبو داود .
عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ
قَالَ وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَوْمًا بَعْدَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا
الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ رَجُلٌ إِنَّ هَذِهِ
مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ
قَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ
عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا
كَثِيرًا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ
فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ . رواه الترمذي ، قَالَ: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيح.
Takhrij hadits secara global
Hadits tersebut ditakhrij oleh Imam Ahmad, Abu Daud, at-Turmuzi,
Ibnu Majah, Ibnu ‘Ashim, ad-Darimi, ath-Thahawi, al-Baghawi, al-Baihaqi
dan lain-lain.
Makna hadits secara global
Dalam hadits tersebut, Rasulullah memberikan wasiat yang merupakan wasiat perpisahan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
dengan para shahabatnya, karenanya para shahabat tidak membuang-buang
kesempatan tersebut untuk meminta wasiat beliau maka beliau pun
berwasiat agar mereka bertakwa kepada Allah dan loyal terhadap pemimpin meskipun yang memimpin itu adalah seorang budak.
Disamping itu beliau juga mengingatkan agar mereka berpegang teguh
kepada sunnahnya dan sunnah para khulafaur Rasyidin dan menyampaikan
bahwa nanti akan terjadi perselisihan yang amat banyak antar mereka
setelah beliau wafat ; oleh karenanya, beliau melukiskan sikap mereka
terhadap sunnah beliau dan sunnah para khulafaur Rasyidun itu haruslah
seperti orang yang sedang menggigit(sesuatu) dengan gerahamnya. Beliau
juga tidak lupa mengingatkan mereka agar meninggalkan bid’ah dalam
urusan agama karena semua bid’ah itu adalah sesat .
Penjelasan tambahan
Terdapat tambahan dalam matan hadits tersebut dari riwayat-riwayat
yang lain namun para ulama menolak adanya tambahan tersebut dan
menganggapnya sebagai “idraj” (sisipan) dari perawi yang dalam ilmu
hadits disebut hadits Mudraj.
Penjelasan hadits kali ini akan dibuat perpenggalan matan hadits diatas :
Kalimat وعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم موعظة (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan wejangan kepada kami); Terdapat tambahan dalam riwayat Ahmad, Abu Daud dan at-Turmuzi dengan kata : بليغة yang
menambah pengertian hadits yang kita bahas diatas yaitu bahwa wejangan
sekaligus wasiat tersebut sangat ringkas menyentuh sekali dan penuh
dengan nuansa balaghah sehingga enak didengar. Dan dalam riwayat
tersebut juga dijelaskan bahwa wasiat/wejangan tersebut beliau sampaikan
setelah shalat shubuh sebab beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam banyak
sekali menyampaikan wejangan selain dalam khuthbah-khuthbah yang rutin
seperti khuthbah ‘id dan jum’at. Hal ini juga sama seperti perintah
Allah dalam AlQuran : “..Dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataaan yang berbekas pada jiwa mereka”.
(Q.s. 4/an-Nisa’ : 63). Namun, suatu hal yang perlu dicermati bahwa
beliau tidak mau melakukan hal itu secara kontinyu sehingga tidak
membuat mereka bosan. Memberikan suatu wejangan diperlukan kecakapan
dalam mengungkapkannya yaitu retorika dalam berpidato (balaghah)
sehingga materi yang disampaikan enak didengar dan dapat diterima oleh
hati pendengarnya. Diantara ciri khuthbah Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam adalah ringkas/simple, tidak panjang namun sangat bernuansa
balaghah (berbekas di hati/menyentuh) dan îjaz (ringkas dan padat). Ada
beberapa hadits yang menunjukkan hal itu, diantaranya : hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir bin Samurah, dia berkata : Aku
shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam maka aku (dapati)
shalatnya begitu ringkas dan khuthbahnya juga demikian. Begitu juga
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, yang lafaznya :”bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memanjangkan
mau’izhah/wejangan/khuthbah pada hari Jum’at namun hanya berupa
kata-kata yang amat simple”.
Kalimat وجلت منها القلوب وذرفت منها العيون (yang membuat hati ciut dan air mata berlinang);
terdapat beberapa penjelasan : bahwa demikianlah kondisi para shahabat
dalam mendengarkan khuthbah/wasiat terakhir beliau tersebut. Kedua
sifat/kondisi yang disebutkan dalam hadits tersebut, juga merupakan dua
sifat/kondisi yang disifatkan oleh Allah kepada kaum Mukminin manakala
mereka mendengar zikrullah, sebagaimana dalam firman Allah : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka…”.
(Q.s. 8/al-Anfal : 2). Begitu juga hal yang sama dalam ayat yang lain
seperti Q.S. al-Hajj : 34-35; al-Hadid : 16; az-Zumar : 23. Dalam ayat
yang lain Allah berfirman,artinya,“ Dan apabila mereka mendengarkan
apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammmad), kamu lihat mata mereka
mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka
ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri)…”. (Q.s. 5/al-Maidah : 83).
Dalam kaitan ini, kita melihat bahwa betapa khuthbah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut sangat membekas dan menyentakkan,
dan ini juga mengingatkan kita kepada hadits-hadits yang menyifati
bagaimana kondisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam saat
berkhuthbah, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dari Jabir, dia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bila
berkhutbah dan mengingatkan tentang hari Kiamat, maka emosinya
meluap-luap, suaranya kencang meninggi, sedangkan matanya memerah
seakan-akan beliau tengah memberikan komandonya kepada pasukan kaum
Muslimin, lantas beliau bersabda : صَبٌَحَكُمْ وَمَسٌَاكُمْ (semacam
ucapan seorang komandan kepada prajuritnya yang akan berperang,
maksudnya: musuh datang pada waktu pagi, musuh datang pada waku sore).
Diantara indikasi lain bahwa khutbah tersebut sangat lain daripada
biasanya dan terasa sekali akan dekatnya perpisahan para shahabat dengan
beliau adalah ketika beliau naik ke mimbar dan menyinggung masalah hari
Kiamat dan hal-hal yang maha penting lainnya, beliau mengucapkan suatu
ucapan yang belum pernah dilakukannya sebelum itu, sebagaimana dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim dan lain-lain
dari Anas bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika keluar
saat matahari tergelincir dan kemudian shalat Zhuhur dan salam, beliau
naik ke mimbar dan menyinggung tentang hari Kiamat, dan hal-hal yang
sangat penting, lalu beliau bersabda : “Barangsiapa yang ingin
bertanya tentang sesuatu maka tanyakanlah hal itu, demi Allah! Tiadalah
sesuatu yang kalian tanyakan kepadaku melainkan akan aku beritahukan
kepadanya saat ini juga (di tempat ini juga)”. Anas berkata : para hadirin malah tambah menangis tersedu-sedu sedangkan Rasulullah malah memperbanyak bersabda : tanyakanlah kepadaku !,
lalu kemudian berdirilah seorang laki-laki dan bertanya : dimana tempat
(masuk) ku (nanti) wahai Rasulullah ?, beliau menjawab : “di neraka”.
Demikianlah, dalam hadits-hadits yang lain berkenaan dengan hal itu,
beliau banyak mengingatkan tentang hari Kiamat dan siksaan neraka dimana
hal itu juga mengungkapkan betapa khutbah beliau tersebut membuat
pendengarnya akan berlinang air mata dan hati mereka tersayat-sayat
karena takut akan azab akhirat.
Kalimat كأنها موعظة مودع (sepertinya ini wejangan seorang yang berpamitan/meninggalkan (kami selamanya) ;
menunjukkan bahwa beliau memang sangat berlebihan dan berbeda dari
khutbah beliau pada hari-hari sebelumnya karenanya para shahabat
memahami bahwa hal itu adalah mau’izhah/wasiat/wejangan seorang yang
akan berpisah dengan mereka dan meninggalkan mereka selama-lamanya (موعظة مودع) sebab
orang yang akan berpamitan dan berpisah tentu akan sangat mendetail dan
mendalam dalam ucapan dan tindakannya melebihi dari apa yang akan
dilakukan oleh orang yang tidak dalam keadaan demikian dan karena itu
pula beliau pernah memerintahkan agar dalam melakukan shalat hendaknya
dilakukan seperti shalatnya orang yang akan pamitan sebab orang yang
membuat suatu nuansa perasaan yang amat menyentuh/menghayati shalatnya
seakan dia akan berpamitan dan meninggalkan tempat itu, tentu ia akan
melakukan sholatnya sesempurna mungkin. Barangkali juga, dalam
wejangannya tersebut, terdapat semacam sindiran bahwa beliau berpamitan
dan akan meninggalkan mereka untuk selamanya, sebagaimana hal itu sangat
terasa dalam khutbah beliau pada haji wada’, dalam riwayat Imam Muslim
dari hadits Jabir; beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “..Aku
tidak tahu, barangkali aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian
setelah tahun (keberadaanku di tengah-tengah kalian) ini”. Dan
beliau lantas kemudian berpamitan dengan para jemaah ketika itu, maka
para shahabat serta merta menyeletuk : inilah haji wada’/haji
perpisahan!. Sebab, ternyata tatkala beliau kembali dari hajinya menuju
Madinah, beliau mengumpulkan khalayak di suatu tempat mata air antara
Mekkah dan Madinah yang bernama “khum” dan di situ beliau berkhutbah
lagi di hadapan mereka, dan bersabda : “Wahai sekalian manusia!,
sesungguhnya aku adalah manusia biasa yang sebentar lagi akan datang
kepadaku utusan Tuhanku lantas aku tentu akan menyambut/memenuhi
(panggilan)nya”. Kemudian beliau mengajak agar senantiasa berpegang
teguh kepada Kitabullah dan berwashiat agar memperhatikan dan
menghormati Ahlul Bait beliau.
Dan banyak lagi hadits-hadits yang lain yang mengindikasikan
perpisahan beliau dengan para shahabatnya, dan khutbah yang diriwayatkan
oleh al-‘Irbadh bin Sâriah dalam hadits yang kita bahas di atas adalah
sebagian dari khutbah-khutbah beliau yang berisi tentang hal itu, atau
mirip dengan itu yang mengindikasikan perpisahan.
Ucapan para shahabat dalam hadits diatas فأوصنا (washiatilah kami);
maksudnya adalah mereka menginginkan washiat yang komplit dan valid,
sebab manakala mereka tahu bahwa hal itu adalah wejangan perpisahan maka
mereka minta diwashiatkan dengan washiat yang bermanfaat bagi mereka
kelak untuk selalu dipegang setelah beliau wafat. Dengan begitu, wasiat
tersebut cukup sebagai pedoman hidup dan kebahagiaan di dunia dan
akhirat.
Sabda beliau أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة [“Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah dan bersikap mendengar dan ta’at (loyal)];
Dalam hal ini, dua kata inilah yang merupakan kunci kebahagiaan dunia
dan akhirat ; Ketaqwaan merupakan jaminan kebahagiaan Akhirat bagi orang
yang berpegang teguh kepadanya. Ketaqwaan juga merupakan wasiat Allah
kepada orang-orang terdahulu dan datang kemudian, sebagaimana firman
Allah Ta’ala : “…Dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada
orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu:
bertakwalah kepada Allah…”. (Q.s. 4/an-Nisa’ : 231).
Sedangkan as-sam’u waththâ’ah (loyalitas) kepada para
penguasa/pemimpin kaum Muslimin, merupakan kunci kebahagiaan dunia,
sebab dengan itu pula kehidupan manusia akan teratur dan dapat membantu
dalam menyemarakkan ajaran agama serta perbuatan-perbuatan ta’at
terhadap Rabb mereka. Dalam hal ini, al-Hasan al-Bashri berkata
(berkaitan dengan para umara’): “ Mereka memimpin urusan kita dalam lima
hal :pertama, (shalat) Jum’at. Kedua, (shalat) jama’ah. Ketiga,
(shalat) ‘Id. Keempat, dalam berjihad. Kelima, dalam menegakkan hukum
hudud. Demi Allah! Tidak akan beres urusan dunia ini kecuali oleh mereka
meskipun mereka berbuat zhalim. Demi Allah! Sungguh adanya kemaslahatan
yang Allah anugerahkan bersama mereka lebih banyak ketimbang perbuatan
merusak yang mereka lakukan. Meskipun, demi Allah!, mena’ati mereka
(dalam hal ini) adalah sesuatu yang membuat murka (dibenci oleh jiwa)
sedangkan memusuhi/menyelisihi mereka dapat membawa kepada kekufuran”.
Dalam banyak hadits, Rasulullah senantiasa mengingatkan urgensi dari
kedua hal tersebut (ketaqwaan dan loyalitas), diantaranya ; hadits yang
dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan at-Turmuzi dari Abu Umamah, dia berkata :
aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah pada
haji wada’, beliau bersabda : “Bertaqwalah kepada Allah, shalatlah
lima waktu, berpuasalah pada bulan Ramadhan, tunaikanlah zakat harta
serta ta’atlah kepada orang yang memimpin kalian, niscaya kalian akan
masuk surga”.
Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : وإن تأمر عليكم عبد (meskipun yang memerintahkan (menjadi Amir/penguasa) adalah seorang budak) ; dalam riwayat yang lain terdapat tambahan حبشي (seorang
hamba dari Habasyah/Ethiopia). Penyebutan semacam ini, menurut
Mushannif (Ibnu Rajab al-Hanbali) terdapat dalam banyak riwayat dari
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan hal ini merupakan sesuatu yang
diinformasikan oleh beliau kepada umatnya terhadap apa yang akan terjadi
setelah beliau wafat nanti dan akan adanya kekuasaan kaum budak
terhadap mereka. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dari Anas radhiallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, beliau bersabda : “Dengarkanlah dan ta’atlah kalian (loyal)
meskipun kalian akan dipimpin oleh seorang budak dari Habasyah/Ethiopia
yang diatas kepalanya seakan terdapat anggur kering/kismis”.
Sinkronisasi dua versi hadits yang seakan bertentangan
Terdapat dua versi hadits, berkaitan dengan hal diatas yang
nampaknya saling bertentangan (ta’arudh) yaitu hadits seperti
diatas/yang kita bahas dengan hadits-hadits yang menyatakan bahwa
kepemimpinan/imamah harus berada di tangan orang Quraisy. Diantara
hadits yang menyatakan hal itu ; hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad, Bukhari, dan lain-lain . Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda : “orang-orang (kaum Muslimin) adalah pengikut suku Quraisy”. Dalam hadits yang lain : “para pemimpin/imam (harus berasal) dari suku Quraisy”.
Dalam menyinkronkan pertentangan dua versi tersebut, Mushannif
mengatakan bahwa bisa saja kekuasaan para budak tersebut masih dibawah
kendali seorang pemimpin/imam dari suku Quraisy. Sebagai buktinya adalah
hadits yang dikeluarkan oleh al-Hakim dari ‘Ali radhiallahu 'anhu dari
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda : “para
pemimpin/imam (harus berasal) dari suku Quraisy; orang-orang baik dari
mereka adalah umara’ bagi orang-orang baik dari mereka pula, sedangkan
orang-orang fajir dari mereka juga menjadi umara’ bagi orang-orang fajir
dari mereka, masing-masing memiliki hak, oleh karenanya berikanlah
setiap empunya hak akan haknya, dan jika aku jadikan sebagai
Amir/pemimpin kalian dari kalangan suku Quraisy (yang kedudukannya
sebagai) budak, dari Habasyah/Ethiopia serta (fisiknya) cacat (pada
ujung-ujung anggota badannya), maka hendaklah kalian dengarkan dia dan
mena’atinya”. (Mushannif menegaskan bahwa sanadnya adalah jayyid
akan tetapi diriwayatkan dari ‘Ali secara mauquf). Ada juga pendapat
yang mengatakan (dalam menyinkronkan kedua versi tersebut) bahwa adanya
penyebutan hamba dari Habasyah/Ethiopia hanyalah sebagai perumpamaan
meskipun dalam kaitannya dengan nash tersebut ungkapan semacam ini
tidak dapat dibenarkan secara kaidah; yaitu (bahwa hal itu sebagai
perumpamaan saja) sebagaimana sabda Nabi : “ …Orang yang membangun masjid meskipun seperti galian burung Qathah (sejenis burung)”. (Hadits yang dishahihkan oleh Ibnu Hibban).
Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam:
وإنه من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافا كثيرا ، فعليكم بستي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين ، عضوا عليها بالنواجذ
[Sesungguhnya siapa-siapa yang nanti hidup setelahku maka dia
akan melihat terjadinya perselisihan yang banyak; oleh karena itu,
berpeganglah kalian kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafaur Rasyidin
yang mendapat petunjuk (al-Mahdiyyin), gigitlah ia(sunnahku tersebut)
dengan gigi taring (kinayah ; agar berpegang teguh dan tidak
melepaskannya)]
Hadits ini merupakan informasi dari beliau tentang apa yang akan
terjadi terhadap umatnya nanti setelah beliau wafat, yaitu terjadinya
banyak perselisihan dalam masalah-masalah agama yang prinsipil
(ushuluddin) dan yang tidak prinsipil (furu’), begitu juga
perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan serta
keyakinan-keyakinan/aliran-aliran. Dan apa yang beliau informasikan
tersebut sangat sinkron dengan hadits-hadits yang mengingatkan akan
adanya perpecahan umat ini menjadi tujuh puluh-an aliran dimana semuanya
masuk neraka kecuali satu yaitu orang-orang yang berjalan diatas manhaj
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Begitu juga,
hal ini sinkron dengan hadits-hadits yang mengajak berpegang teguh
kepada manhaj yang telah digariskan oleh Rasulullah dan para
shahabatnya, terutama al-Khulafaur Rasyidun yaitu dalam
keyakinan-keyakinan, perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan. Inilah
yang dimaksud dengan as-Sunnah secara sempurna, oleh karena itu para
Salaf hanya menyebut kata as-Sunnah terhadap hal yang mengandung semua
makna tersebut. Pendapat ini diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri,
al-Auza’i dan al-Fudhail bin ‘Iyadh.
Sehubungan dengan itu, banyak diantara ulama-ulama al-Muta-akhkhirin
(yang hidup kemudian) hanya mengkhususkan sebutan “as-Sunnah” kepada
hal yang berkaitan dengan masalah-masalah keyakinan (I’tiqâdât) karena
ia merupakan pokok agama sedangkan penentangnya tentu akan mengalami
bahaya yang amat besar yaitu kesengsaraan di dunia dan akhirat. Adapun
penyebutan hal ini (tentang keharusan berpegang teguh kepada Sunnah
Rasul dan al-Khulafaur Rasyidun) setelah perintah loyal (as-sam’u
waththâ’ah) kepada para pemimpin/umara’ mengisyaratkan bahwa tiada
keta’atan terhadap mereka kecuali selama mereka mengajak berbuat ta’at
kepada Allah, sebagaimana dalam hadits yang shahih dikatakan dalam sabda
beliau : “Sesungguhnya keta’atan hanya berlaku dalam berbuat ta’at”.
Dan banyak sekali hadits-hadits lain yang memerintahkan demikian.
Dalam kaitannya dengan penggalan hadits diatas, juga dibahas masalah
kenapa diperintahkan agar loyal terhadap al-Khulafaur Rasyidun,
mengingat banyak sekali hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan mereka.
Disamping itu, Mushannif juga menyinggung pengertian ar-Rasyid, serta
dikategorikannya khalifah Umar bin ‘Abdul ‘Aziz sebagai khalifah
ar-Rasyid kelima.
Masalah Ijma’ para Khalifah yang Empat sebagai hujjah
Masalah ini sebenarnya secara luas dibahas dalam ushul fiqh, namun
Mushannif juga menyinggung hal ini. Diantaranya; apakah ijma’ mereka
dapat dipakai sebagai hujjah meskipun ada diantara shahabat yang lain
menyalahi/menentang mereka ?.. Maka dalam hal ini, terdapat dua riwayat
dari Imam Ahmad. Begitu juga masalah ; bila sebagian dari mereka
berempat mengemukakan pendapat sedangkan yang lainnya tidak
menyalahi/menentang mereka tetapi justru shahabat lain yang menentangnya
; manakah yang didahulukan, pendapat sebagian mereka tersebut atau
shahabat selain mereka?.. Dalam hal ini juga terdapat dua pendapat
ulama; sedangkan Imam Ahmad menyatakan secara tertulis bahwa dia lebih
mendahulukan pendapat sebagian dari shahabat yang empat daripada
pendapat shahabat selain mereka. Begitu juga, mayoritas Salaf
berpendapat demikian, terutama pendapat Umar bin al-Khaththab
radhiallahu 'anhu berdasarkan hadits-hadits yang menyebut keutamaan Umar
dan ketajaman pendapatnya yang telah terbukti di kemudian hari.
Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : “ المهديين “ (yang mendapat petunjuk);
maksudnya adalah bahwa Allah menunjuki mereka kepada kebenaran dan
tidak menyesatkan mereka. Manusia diklasifikasikan kepada tiga :
pertama, Râsyid. Kedua, Ghâwin. Ketiga, Dhâllun. Ar- Râsyid artinya
orang yang mengetahui kebenaran dan mengikutinya. Al-Ghâwi artinya orang
yang mengetahuinya tetapi tidak mengikutinya. Sedangkan adh-Dhâllu
artinya orang yang tidak mengetahuinya sama sekali. Jadi, setiap Râsyid
sudah pasti Muhtadun (orang yang mendapat hidayah) sementara setiap
Muhtadun (orang yang mendapat hidayah) secara sempurna maka dia sudah
pasti Râsyid sebab hidayah hanya akan sempurna bilamana mengetahui
kebenaran dan mengamalkannya.
Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : عضوا عليها بالنواجذ (gigitlah ia(sunnahku tersebut) dengan gigi geraham). Ungkapan tersebut merupakan kinayah yang maksudnya agar berpegang teguh dan tidak melepaskannya).
Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :
وإياكم ومحدثات الأمور ، فإن كل بدعة ضلالة
(..dan tinggalkanlah oleh kalian urusan-urusan baru
(mengada-ada dalam urusan agama) karena sesungguhnya setiap bid’ah itu
adalah sesat)
Disini, umat diingatkan akan bahaya bid’ah dan diperintahkan agar
tidak mengikuti hal-hal yang berbau bid’ah, dengan mempertegasnya bahwa “
setiap bid’ah itu adalah sesat”. Yang dimaksud dengan bid’ah adalah
sesuatu yang diada-adakan yang tidak memiliki asal yang mendukungnya
dalam syari’at. Sedangkan sesuatu yang memiliki asal yang mendukungnya
dalam syara’ maka hal itu bukanlah bid’ah, meskipun bisa disebut bid’ah
secara lughah/bahasa.
Banyak sekali hadits-hadits yang melarang kita melakukan bid’ah dan
mengecamnya serta mengancamnya. Diantaranya, hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim, dari Jabir dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam,beliau bersabda, “sesungguhnya sebaik-baik hadits/ucapan
adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sejelek-jelek perkara adalah sesuatu
yang diada-adakan, dan setiap sesuatu yang diada-adakan (dalam agama)
maka hal itu adalah sesat”.
Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : كل بدعة ضلالة (setiap bid’ah adalah sesat);
ungkapan ringkas/simple ini termasuk dalam kategori “jawami’ul kalim”
(Himpunan sabda yang amat ringkas/simple namun padat), ungkapan seperti
ini hampir mirip dengan sabda beliau yang lain, yaitu yang berbunyi :”barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kami ini sesuatu yang bukan darinya maka hal itu adalah ditolak”.
Setiap sesuatu yang diada-adakan dan mengatasnamakan agama sedangkan
tidak ada dasar/asalnya dalam syara’ yang mendukung dan bisa dirujuk
kepadanya maka hal itu adalah sesat dan agama berlepas diri darinya,
baik sesuatu itu berkaitan dengan masalah keyakinan/’aqidah, perbuatan
maupun perkataan secara lahir atau bathin.
Masalah klasifikasi bid’ah
Dalam hal ini muncul beberapa ungkapan dari Salaf yang
mengindikasikan istihsan (memandang baik) sebagian bid’ah, sehingga
terciptalah suatu asumsi bahwa bid’ah itu terbagi dua. Maka semata-mata
maksud mereka adalah bid’ah lughawiyyah (secara bahasa) bukan secara
agama/syar’i.
Diantara dalil yang sering dipakai oleh orang-orang yang berpendapat
demikian adalah perkataan Umar :”jika hal ini (perbuatan ini) adalah
bid’ah, maka ia lah sebaik-baik bid’ah”. Ucapan ini berkaitan dengan
tindakannya mengumpulkan orang-orang dengan seorang imam saja di masjid
untuk mengimami shalat dalam bulan Ramadhan. Namun sebenarnya apa yang
dikatakan oleh Umar tersebut adalah bid’ah secara bahasa, dan ketika itu
beliau seperti disebutkan oleh suatu riwayat, ditegur oleh Ubai bin
Ka’ab, dia berkata kepadanya : sesungguhnya apa yang engkau lakukan ini
belum pernah ada. Umar menjawab : aku tahu itu, tetapi hal ini adalah
baik. Dalam hal ini, Mushannif mengatakan; maksud Umar tersebut adalah
bahwa perbuatan ini belum pernah dilakukan seperti ini sebelumnya tetapi
asalnya ada dalam syari’at yang dapat dirujuk yaitu bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat menganjurkan sekali agar
orang-orang shalat malam di bulan Ramadhan sehingga orang-orang pun
melakukannya di masjid baik secara jama’ah, berpencar-pencar, atau pun
sendiri-sendiri.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat bersama para
shahabatnya di bulan Ramadhan dan hal itu dilakukan bukan satu malam
saja, kemudian beliau menghentikannya dengan alasan takut menjadi suatu
kewajiban bagi mereka nantinya sedangkan mereka tentu tidak akan mampu
melakukannya, namun setelah beliau wafat (Umar) melihat hal itu bila
dilakukan tidak akan menjadi kewajiban lagi alias alasannya sudah tidak
ada sebab Rasulullah telah wafat. Rasulullah juga, seperti banyak
riwayat melakukan hal itu terutama di malam sepuluh terakhir bulan
Ramadhan.
Banyak hal yang dilakukan oleh para shahabat yang sebelumnya tidak
ada pada zaman Rasul namun hal itu semua memiliki asal yang bisa dirujuk
dan mendukungnya dalam syari’at, seperti azan kedua pada hari Jum’at
yang dibuat oleh ‘Utsman dengan alasan orang-orang saat itu memerlukan
hal itu dan hal itu juga disetujui oleh ‘Ali . Begitu juga, dengan
masalah kodifikasi mushhaf yang semula tidak mau dilakukan oleh Zaid bin
Tsabit, dan banyak lagi yang lain.
Sebagaimana dikutip oleh al-Hafizh Abu Na’im, bahwa Harmalah bin
Yahya mendengar Syafi’i berkata : “Bid’ah terbagi dua; bid’ah mahmudah
(yang dipuji) dan bid’ah mazmumah (yang dicela); maka apa yang sesuai
dengan sunnah maka ia termasuk yang dipuji sedangkan yang bertentangan
dengan sunnah maka ia termasuk yang dicela. Dan beliau berhujjah dengan
ucapan Umar :” sebaik-baik bid’ah, adalah ini (perbuatan ini)”. Maksud
dari ucapan Imam asy-Syafi’i tersebut adalah sebagaimana apa yang
disinggung sebelumnya yaitu bahwa bid’ah mazmumah adalah sesuatu yang
tidak memiliki asal dari syari’at yang bisa dirujuk dan mendukungnya.
Dan bid’ah inilah yang dimaksud ketika hal itu terdapat dalam
terminologi Syari’ah. Sedangkan bid’ah mahmudah adalah sesuatu yang
bersesuaian dengan sunnah, artinya sesuatu yang memiliki asal dari
sunnah yang dapat dijadikan rujukan. Inilah pada dasarnya apa yang
dinamakan dengan bid’ah secara bahasa bukan secara syara’ karena
bersesuaian dengan sunnah.
Sehubungan dengan itu, ada riwayat lain dari ucapan Syafi’i yang
mendukung interpretasi ini yaitu ucapan beliau : “dan sesuatu yang
diada-adakan (muhdatsat) terbagi kepada dua : yang diada-adakan tetapi
menyalahi kitabullah, sunnah, atsar atau ijma’ dan ini dinamakan
(bid’ah) yang sesat, dan yang diada-adakan tetapi ia adalah baik dan
tidak ada yang bertentangan dengan perbuatan semacam ini, maka inilah
yang dinamakan sebagai (bid’ah) yang tidak dicela itu”.
Dan memang kemudian, sejarah membuktikan bahwa apa yang disinyalir
oleh Rasulullah akan terjadi memang terjadi, diantaranya adalah
munculnya Ahlur Ra’yi, al-Mutakallimun, Khawarij, Rawafidh, Murjiah,
Ahli Tasawuf dan lain-lain.
Demikian pula, terdapat hal-hal yang para ulama tidak berselisih
pendapat mengenai apakah ia termasuk bid’ah hasanah hingga harus dirujuk
kembali kepada as-Sunnah atau tidak ?, diantaranya adalah masalah
penulisan hadits dimana Umar dan sebagian shahabat melarang hal itu,
sementara yang lainnya memberikan keringanan dengan berargumentasi
kepada hadits-hadits.
Pada masa ini dimana keilmuan orang sangat jauh dari ilmu para
Salaf, maka sudah semestinya dilakukan suatu pengecekan dan kaidah
khusus terhadap hal-hal yang memang berasal dari mereka hingga dapat
dibedakan antara ilmu yang berkembang pada masa mereka dengan masa
sesudah mereka.
Mari kita renungi ucapan Ibnu Mas’ud yang diucapkannya ketika pada masa al-Khulafaur Rasyidun : “Sesungguhnya
kalian hari ini masih hidup dalam kondisi yang sesuai dengan fithrah,
sungguh kalian nanti akan mengada-ada (melakukan suatu hal yang baru
dalam urusan agama) dan akan dibuat pula (oleh orang lain) buat kalian
hal semacam itu ; jika kalian melihat sesuatu yang diada-adakan tersebut
(muhdatsah), maka hendaklah kalian berpegang teguh kepada petunjuk yang
pertama (Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat).
Intisari Hadits
1- Diantara ciri wejangan/khuthbah Rasulullah adalah ringkas/simple dan padat yang dinamakan dengan “jawami’il kalim”.
2- Rasulullah telah mengingatkan umatnya akan adanya perselisihan
pendapat diantara mereka, oleh karena itu beliau memerintahkan mereka
agar berpegang teguh kepada sunnahnya dan sunnah al-Khulafaur Rasyidun
setelahnya.
3- Umat Islam diperintahkan agar loyal terhadap pemimpinnya, meskipun harus dipimpin oleh seorang budak.
4- Rasulullah melarang kita melakukan suatu perbuatan dalam urusan
agama yang tidak pernah beliau ataupun para shahabatnya melakukannya dan
bahwa hal itu adalah mengada-ada dalam agama atau disebut dengan
bid’ah.
5- Semua bid’ah adalah sesat, dan apa yang disebut dengan bid’ah
terbagi-bagi adalah tidak benar dan kalaupun ada maka yang dimaksud
adalah bid’ah secara bahasa.
Wallâhu a'lam.
(Disarikan dari kitab “Jami’ul ‘Ulum wal hikam, karya Syaikh Ibnu Rajab al-Hanbali, II/ 109-133, hadits ke-28).
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar