texs ketik

Se_

m.taufiq

salam

Assalaamu'alaikum Warohmatullaahi Wabarokaatuh Selamat Datang Di Blog kami Semoga Allah SWT memberikan berkahnya untuk kita semua Aamiin

Jumat, 10 Juli 2015

Kisah Taubatnya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Ulama Wahabi dan Guru Dari Syekh Utsaimin (Ul

Kisah Taubatnya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Ulama Wahabi dan Guru Dari Syekh Utsaimin (Ul

Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin”ulama Wahhabi kontemporer yang sangat populer-, mempunyai seorang guru yang sangat alim dan kharismatik di kalangan kaum Wahhabi , yaitu Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di, yang dikenal dengan julukan Syaikh Ibnu Sa’di.
Ia memiliki banyak karangan, di antaranya yang paling populer adalah karyanya yang berjudul, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, kitab tafsir setebal 5 jilid, yang mengikuti manhaj pemikiran Wahhabi. Meskipun Syaikh Ibnu Sa’di, termasuk ulama Wahhabi yang ekstrim, ia juga seorang ulama yang mudah insyaf dan mau mengikuti kebenaran, dari manapun kebenaran itu datangnya.

Suatu ketika, al-Imam al-Sayyid ‘Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani (ayahanda Abuya al-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki) sedang duduk-duduk di serambi Masjid al-Haram bersama halqah pengajiannya. Sementara di bagian lain serambi Masjidil Haram tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di juga duduk-duduk. Sementara orang-orang di Masjidil Haram larut dalam ibadah shalat dan thawaf yang mereka lakukan.
Pada saat itu, langit di atas Masjidil Haram penuh dengan mendung yang menggelantung, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan yang sangat lebat. Tiba-tiba air hujan itu pun turun dengan lebatnya. Akibatnya, saluran air di atas Ka’bah mengalirkan airnya dengan derasnya. Melihat air begitu deras dari saluran air di atas kiblat kaum Muslimin yang berbentuk kubus itu, orang-orang Hijaz seperti kebiasaan mereka, segera berhamburan menuju saluran itu dan mengambil air tersebut, dan kemudian mereka tuangkan ke baju dan tubuh mereka, dengan harapan mendapatkan berkah dari air itu.
Melihat kejadian tersebut, para polisi pamong praja Kerajaan Saudi Arabia, yang sebagian besar berasal dari orang Baduwi daerah Najd itu, menjadi terkejut dan mengira bahwa orang-orang Hijaz tersebut telah terjerumus dalam lumpur kesyirikan dan menyembah selain Allah SWT.
Akhirnya para polisi pamong praja itu berkata kepada orang-orang Hijaz yang sedang mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air Ka’bah itu, “Jangan kalian lakukan wahai orang-orang musyrik. Itu perbuatan syirik. Itu perbuatan syirik.”
Mendengar teguran para polisi pamong praja itu, orang-orang Hijaz itu pun segera berhamburan menuju halqah al-Imam al-Sayyid ‘Alwi al-Maliki al-Hasani dan menanyakan prihal hukum mengambil berkah dari air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka’bah itu. Ternyata Sayyid ‘Alwi membolehkan dan bahkan mendorong mereka untuk melakukannya.
Akhirnya untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu pun berhamburan lagi menuju saluran air di Ka’bah itu, dengan tujuan mengambil berkah air hujan yang jatuh darinya, tanpa mengindahkan teguran para polisi baduwi tersebut. Bahkan mereka berkata kepada para polisi baduwi itu, “Kami tidak akan memperhatikan teguran Anda, setelah Sayyid ‘Alwi berfatwa kepada kami tentang kebolehan mengambil berkah dari air ini.”
Akhirnya, melihat orang-orang Hijaz itu tidak mengindahkan teguran, para polisi baduwi itu pun segera mendatangi halqah Syaikh Ibnu Sa’di, guru mereka. Mereka mengadukan perihal fatwa Sayyid ‘Alwi yang menganggap bahwa air hujan itu ada berkahnya. Akhirnya, setelah mendengar laporan para polisi baduwi, yang merupakan anak buahnya itu, Syaikh Ibnu Sa’di segera mengambil selendangnya dan bangkit menghampiri halqah Sayyid ‘Alwi dan duduk di sebelahnya.
Sementara orang-orang dari berbagai golongan, berkumpul mengelilingi kedua ulama besar itu. Dengan penuh sopan dan tatakrama layaknya seorang ulama,
Syaikh Ibnu Sa’di bertanya kepada Sayyid ‘Alwi: “Wahai Sayyid, benarkah Anda berkata kepada orang-orang itu bahwa air hujan yang turun dari saluran air di Ka’bah itu ada berkahnya?”
Sayyid ‘Alwi menjawab: “Benar. Bahkan air tersebut memiliki dua berkah.”
Syaikh Ibnu Sa’di berkata: “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”
Sayyid ‘Alwi menjawab: “Karena Allah SWT berfirman dalam Kitab-Nya tentang air hujan:
وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُّبَارَكاً
Dan Kami turunkan dari langit air yang mengandung berkah”
Allah SWT juga berfirman mengenai Ka’bah:
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكاً وَهُدًى لِّلْعَالَمِينَ
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia
Dengan demikian air hujan yang turun dari saluran air di atas Ka’bah itu memiliki dua berkah, yaitu berkah yang turun dari langit dan berkah yang terdapat pada Baitullah ini.”
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di merasa heran dan kagum kepada Sayyid ‘Alwi. Kemudian dengan penuh kesadaran, mulut Syaikh Ibnu Sa’di itu melontarkan perkataan yang sangat mulia, sebagai pengakuannya akan kebenaran ucapan Sayyid ‘Alwi: “Subhanallah (Maha Suci Allah), bagaimana kami bisa lalai dari kedua ayat ini.”
PERHATIKAN KATA DIATAS, BAGAIMANA SAIKH IBNU SA’DI ” KAMI BISA LALAI DENGAN DUA AYAT TERSEBUT”
Kemudian Syaikh Ibnu Sa’di mengucapkan terima kasih kepada Sayyid ‘Alwi dan meminta izin untuk meninggalkan halqah tersebut. Namun Sayyid ‘Alwi berkata kepada Syaikh Ibnu Sa’di: “Tenang dulu wahai Syaikh Ibnu Sa’di. Aku melihat para polisi baduwi itu mengira bahwa apa yang dilakukan oleh kaum Muslimin dengan mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka’bah itu sebagai perbuatan syirik.
Mereka tidak akan berhenti mengkafirkan orang dan mensyirikkan orang dalam masalah ini sebelum mereka melihat orang yang seperti Anda melarang mereka. Oleh karena itu, sekarang bangkitlah Anda menuju saluran air di Ka’bah itu, lalu ambillah air di situ di depan para polisi baduwi itu, sehingga mereka akan berhenti mensyirikkan orang lain.”
Akhirnya mendengar saran Sayyidn ‘Alwi tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di segera bangkit menuju saluran air di Ka’bah. Ia basahi pakaiannya dengan air itu, dan ia pun mengambil air itu untuk diminumnya dengan tujuan mengambil berkahnya.
Melihat tingkah laku Syaikh Ibnu Sa’di ini, para polisi baduwi itu pun pergi meninggalkan Masjidil Haram dengan perasaan malu. Semoga Allah SWT merahmati Sayyidina al-Imam ‘Alwi bin ‘Abbas al-Maliki al-Hasani. Amin.
Kisah ini disebutkan oleh Syaikh Abdul Fattah Rawwah, dalam kitab Tsabat (kumpulan sanad-sanad keilmuannya). Beliau termasuk salah seorang saksi mata kejadian itu.
Sumber:   NU ONline

BANTAHAN 9 : Ibnu Taymiyah dan Al-Bany Taubat Dari Aqidah Sesat.

BANTAHAN 9 : Ibnu Taymiyah dan Al-Bany Taubat Dari Aqidah Sesat.

Membela ulama
Telah terdapat suatu tulisan dalam beberapa blog penentang dakwah Ahlussunnah dengan judul : Bukti Ibnu Taymiyah dan Al-Bany Taubat Dari Aqidah Sesat. Pada tulisan itu mereka menjelaskan bukti (menurut versi mereka) bahwa Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany telah bertaubat dalam aqidah tentang Asma’ Was Sifat menjadi seorang Asy-‘ari.
Di dalam tulisan tersebut mereka menukil tulisan Ibnu Hajar dalam kitab ad-Durar al-Kaminah fi a’yaan mi-ah ats-tsaaminah cetakan 1414 H Daarul Jiel Juz 1 hal 148. Beberapa kutipan yang mereka terjemahkan di antaranya :
“Dan para ulama telah mendapati skrip yang telah ditulis oleh Ibnu Taimiah yang telahpun diakui akannya sebelum itu (akidah salah ibnu taimiah sebelum bertaubat) berkaitan dengan akidahnya bahawa Allah ta’ala berkata-kata dengan suara, dan Allah beristawa dengan erti yang hakiki (iaitu duduk) dan selain itu yang bertentangan dengan Ahl Haq (kebenaran)”.
Telah berkata Ibnu Taimiah dengan kehadiran saksi para ulama: ‘ Saya golongan Asy’ary’ dan mengangkat kitab Al-Asy’ariyah di atas kepalanya ( mengakuinya)”
…berkata Imam Nuwairy seperti yang dinyatakan juga oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany : ” Dan aku antara saksi bahawa Ibnu Taimiah telah bertaubat kepada Allah daripada akidah yang salah pada empat masaalah akidah yang telah dinyatakan, dan Ibnu Taimiah telah mengucap dua kalimah syahadah(bertaubat daripada akidah yang salah pernah dia pegangi terdahulu)”.
BANTAHAN :
Benarkah Ibnu Taimiyyah Bertaubat dan Menjadi Seorang Asy’ari?
Kalau kita merujuk pada kitab Ibnu Hajar al-‘Asqolaany tersebut, akan terlihat bahwa kisah bertaubatnya Ibnu Taimiyyah di hadapan majelis para “Ulama’” waktu  itu terjadi di tahun 707 H. Sedangkan Ibnu Taimiyyah meninggal pada tahun 728 H. Sehingga, -kalaupun kisah ini benar- berarti selama kurang lebih 21 tahun Ibnu Taimiyyah berpemahaman Asy’ari. Benarkah demikian?
Pada tulisan ini akan dipaparkan bukti –bukti yang menunjukkan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tidak pernah berubah pemahaman menjadi seorang Asy-‘ari. Penjelasan tentang hal tersebut akan dibagi menjadi:
1. Bukti Bantahan dari Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah yang Ditulis Setelah 707 H.
2. Penjelasan dari Murid-Murid Ibnu Taimiyyah bahwa Beliau Tetap Kokoh pada Manhajnya.
1). Bukti Bantahan dari Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah yang Ditulis Setelah 707 H.
Rujukan kita adalah kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang ditulis setelah 707 H atau setelah Ibnu Taimiyyah kembali dari Mesir. Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa kitab-kitab tertentu ditulis pada kurun waktu tertentu? Bisa dilihat pada penjelasan di muqoddimah pentahqiq kitab-kitab tersebut, keterangan yang menunjukkan bahwa kitab tersebut diikhtisar (diringkas) oleh ulama’-ulama’ setelahnya, kitab-kitab lain yang menjelaskan tentang tarjamah (biografi) beliau, ataupun indikasi-indikasi lain yang menunjukkan hal tersebut.
Di antara kitab-kitab yang beliau tulis setelah tahun 707 H adalah kitab Minhaajus Sunnah anNabawiyyah sebagai bantahan terhadap kaum Syi’ah Rafidlah. Pada kitab tersebut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah meluruskan pemahaman Asy-ari yang salah tentang masalah ru’yatullah (kaum mu’minin melihat Allah di akhirat) maupun penetapan sifat al-‘Uluw (ketinggian) bagi Allah, dalam konteks membantah Syi’ah Rafidlah (bisa dilihat salah satu contohnya adalah pada bagian ‘Kalaamur Roofidly ‘alaa Itsbaati al-Asyaa-iroh liru’yatillah hal 340-352 maupun bagian ‘Kalaamur Raafidly ‘ala maqoolatil Asyaa-iroh fi Kalaamillaah’ hal 352-400. Ibnu Hajar al-‘Asqolaany sendiri menjadikan kitab tersebut sebagai salah satu rujukan dalam kitab Fathul Bari. Beliau menyebutkan dalam 3 tempat di kitab Fathul Baari (1/182 bab Kitaabatul ‘Ilm,11/209 bab Qishshotu Abi Tholib, dan 21/154 bab Qoulullaahi Ta’ala Wallaahu Kholaqokum wamaa ta’maluun) dengan mengisyaratkan kitab tersebut sebagai ‘a-Radd ‘ala ar-Rafidhy’.
Demikian juga kitab-kitab setelah 707 H yang ditulis Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang lain di antaranya : ar-Raddu ‘alal Manthiqiyyiin,  al-Jawabus Shohiih liman Baddala Dienal Masiih, dan alFurqaan Bayna Awaliyaa-ir Rahmaan wa Awliyaaisy-Syaithan. Di dalam kitab ‘alFurqaan’, pada halaman 12 Syaikhul Ibnu Taimiyyah menyebutkan Sifat Allah yang mencintai wali-Nya dengan kecintaan yang sempurna. Beliau tidaklah mentahrif Sifat ‘mencintai’ tersebut seperti tahrif yang biasa dilakukan oleh Asy-‘ari dengan memalingkannya pada makna-makna yang lain.
Dalam kitab al-Jawaabus Shohiih liman Baddala Dienal Masiih juz 4 halaman 6 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah membantah keyakinan Nashara yang menyimpang, dengan menjelaskan Sifat al-Kalaam (berbicara) bagi Allah sesuai dengan aqidah Ahlussunnah. Beliau juga tidak memalingkan makna al-Kalaam tersebut pada makna yang lain, tetapi memaknakannya secara hakiki. Perlu diketahui bahwa kitab al-Jawaabus Shohiih liman Baddala Dienal Masiih adalah salah satu kitab yang dijadikan rujukan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqolaany dalam Fathul Baari (21/151).
Lebih telak lagi, kitab yang bisa membungkam syubuhat bahwa Ibnu Taimiyyah berubah pemahaman menjadi Asy-ari adalah kitab Dar-u Ta’aarudhil ‘Aql wan Naql yang ditulis beliau. Di dalamnya beliau membantah kelompok – kelompok yang mengedepankan akal seperti Mu’tazilah, al-Jahmiyyah, al-Maaturidiyyah, dan juga termasuk al-‘Asyaa-iroh (Asy-‘ari). Pada juz 1 halaman 15, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan kesesatan orang-orang yang mengingkari: ru’yatullah (bahwa Allah bisa dilihat oleh orang beriman di akhirat) dan ketinggian Allah di atas ‘Arsynya. Jika timbul pertanyaan : Kapankah kitab Dar-u Ta’aarudhil ‘Aql wan Naql tersebut ditulis? Jawabannya : kitab tersebut ditulis setelah beliau kembali ke Syam. Dr. Muhammad Rosyad Salim menyatakan bahwa kitab itu ditulis sekitar tahun 713-717 H. Kitab-kitab lain yang dikemukakan di atas sebagai bukti bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sama sekali tidak berubah pemahaman menjadi Asy-‘ari semuanya ditulis setelah kitab Dar-u Ta’arudhil ‘Aql wan Naql ini. Sebagai contoh, di dalam kitab Minhaajus Sunnah anNabawiyyah beberapa kali beliau mengisyaratkan rujukan pada kitab Dar’u Ta’aarudhil ‘Aql wan Naql.
2) Penjelasan dari Murid-Murid Ibnu Taimiyyah bahwa Beliau Tetap Kokoh pada Manhajnya.
Imam Adz-Dzahaby sebagai salah seorang murid Ibnu Taimiyyah menyatakan dalam kitabnya alMu’jamul Mukhtash :
قد سجن غير مرة ليفتر عن خصومه ويقصر عن بسط لسانه وقلمه وهو لا يرجع ولا يلوي على ناصح إلى أن توفي
“Beliau telah dipenjara berkali-kali untuk memutuskan permusuhannya (terhadap ahlul bid’ah,pent) dan mengurangi ‘tajamnya’ lisan dan pena beliau,tetapi beliau tidaklah rujuk (mundur) maupun melunak sampai beliau meninggal”
Pada bagian lain Imam AdzDzahaby juga menyatakan di dalam kitab tersebut:
حتى قام عليه خلق من علما مصروالشام قياما … وهو ثابت لا يداهن ولا يحابي ، بل يقول الحق المرّ الذي أداه إليه إجتهاده وحِدّة ذهنه وسعة دائرته في السنن و الأقوال
“ Sampai bangkitlah sekelompok Ulama dari Mesir dan Syam…dalam keadaan beliau tetap kokoh, tidak mencari muka ataupun berbasa-basi, akan tetapi beliau tetaplah mengucapkan kebenaran yang pahit berdasarkan ijtihadnya, tajamnya pikiran, dan luasnya wawasan tentang Sunnah – sunnah dan ucapan-ucapan”
Imam Ibnu Katsir yang juga merupakan murid Ibnu Taimiyyah menyatakan :
وفي ليلة عيد الفطر أحضر الامير سيف الدين سلار نائب مصر القضاة الثلاثة وجماعة من الفقهاء فالقضاة الشافعي والمالكي والحنفي، والفقهاء الباجي والجزري والنمراوي، وتكلموا في إخراج الشيخ تقي الدين بن تيمية من الحبس، فاشترط بعض الحاضرين عليه شروطا بذلك، منها أنه يلتزم بالرجوع عن بعض العقيدة وأرسلوا إليه ليحضر ليتكلموا معه في ذلك، فامتنع من الحضور وصمم، وتكررت الرسل إليه ست مرات، فصمم على عدم الحضور، ولم يلتفت إليهم ولم يعدهم شيئا، فطال عليهم المجلس فتفرقوا وانصرفوا غير مأجورين
“ dan pada malam Iedul Fithri al-Amiir menghadirkan Saifuddin Salaar perwakilan Mesir, 3 hakim, dan sekelompok Fuqaha’. Tiga hakim tersebut adalah dari madzhab Asy-Syafi’I, al-Maaliki, dan alHanafy, sedangkan fuqaha’ yang hadir adalah al-Baaji, al-Jazarii, dan anNamrowy, dan mereka mengharapkan agar Syaikh Taqiyuddin bin Taimiyyah dikeluarkan dari penjara. Sebagian hadirin mempersyaratkan beberapa syarat, di antaranya : beliau harus ruju’ dari sebagaian aqidah dan mereka mengirim utusan agar beliau hadir di tempat itu dan berbicara kepada mereka. Tetapi beliau menolak hadir (ke majelis tersebut) dan berketetapan hati (untuk tidak hadir). Utusan itu kembali sampai 6 kali. Beliau tetap kokoh pada pendirian untuk tidak hadir, tidak menoleh pada mereka, dan tidak menjanjikan apapun. Maka majelis itupun bubar dan merekapun kembali tanpa mendapat balasan” (al-Bidayah wan Nihaayah juz 14 hal 47)
Dari penjelasan di atas nampaklah secara gamblang bahwa Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah tidaklah berubah pemahaman menjadi seorang Asy-‘ari. Pemahaman beliau terhadap Asma’ Was Sifaat tetap tidak berubah sebagaimana yang dipahami Salafus Sholih, yaitu meyakininya tanpa tahriif ( meyimpangkan lafadz atau maknanya pada makna yang hakiki), tidak juga ta’thiil (menolak), atau takyiif (menentukan/ menanyakan kaifiyatnya), dan tamtsiil (menyerupakan Sifat Allah dengan sifat makhluk). Pemahaman tersebut tidaklah berubah sebagaimana yang beliau nyatakan dalam al-‘Aqiidah al- Waasithiyyah yang terus dikaji oleh kaum muslimin sampai saat ini.
Pembelaan Ibnu Hajar al-‘Asqolaany terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Al-Hafidz as-Sakhowy menukil perkataan Ibnu Hajar al-‘Asqolaany dalam kitabnya al-Jawaahir wad Durar juz 2 hal 734-736. Di antara perkataan Ibnu Hajar tersebut adalah :
…ولقد قام على الشيخ تقي الدين جماعة من العلماء مراراً ، بسبب أشياء أنكروها عليه من الأصول والفروع ، وعقدت له بسبب ذلك عدة مجالس بالقاهرة ، وبدمشق ، ولا يحفظ عن أحد منهم أنه أفتى بزندقته ، ولا حكم بسفك دمه مع شدة المتعصبين عليه حينئذ من أهل الدولة ، حتى حبس بالقاهرة ، ثم بالإسكندرية ، ومع ذلك فكلهم معترف بسعة علمه ، وكثرة ورعه ، وزهده ، ووصفه بالسخاء ، والشجاعة ، وغير ذلك من قيامه في نصر الإسلام ، والدعوة إلى الله تعالى في السر والعلانية ، فكيف لا يُنكر على مَن أطلق ” أنه كافر ”
“…dan sungguh para Ulama’ telah bangkit terhadap Syaikh Taqiyuddin berkali-kali dengan sebab-sebab yang mereka ingkari dari permasalahan ushul dan furu’, dan beberapa kali mengadakan majelis di Kairo maupun Damaskus. Dan tidaklah ada ternukil sedikitpun dari mereka yang memfatwakan bahwa beliau adalah zindiq, dan tidak ada yang menghukumi halalnya darah beliau padahal pada waktu itu banyak yang fanatik terhadap beliau dari kalangan penduduk negeri. Sampai beliau dipenjara di Mesir kemudian di alIskandariyah. Bersamaan dengan itu semuanya mengakui luasnya ilmu beliau, banyaknya sikap wara’ dan zuhud beliau, dan mereka mensifati beliau dengan dermawan (pemurah), keberanian, dan yang selain itu berupa pembelaan terhadap Islam, dakwah kepada Allah secara sembunyi-sembunyi maupun terang terangan. Maka, bagaimana tidak diingkari orang-orang yang menyebut beliau sebagai ‘kafir’ ”
فإنه شيخ في الإسلام بلا ريب
“…beliau adalah Syaikhul Islam tanpa diragukan lagi”
ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب ، فالذي أصاب فيه – وهو الأكثر – يستفاد منه ، ويترحم عليه بسببه ، والذي أخطأ فيه لا يقلد فيه ، بل هو معذور ؛ لأن أئمة عصره شهدوا له بأن أدوات الاجتهاد اجتمعت فيه ، حتى كان أشد المتعصبين عليه ، والقائمين في إيصال الشر إليه ، وهو الشيخ كمال الدين الزملكاني ، يشهد له بذلك ، وكذلك الشيخ صدر الدين بن الوكيل
“…bersamaan dengan itu beliau adalah manusia yang bisa salah dan bisa benar. Pendapat beliau yang benar – yang ini sangat banyak- bisa diambil faedah, dan didoakan agar beliau mendapat rahmat dari Allah dengan sebab tersebut, sedangkan pendapat beliau yang salah tidak diikuti, bahkan dimaafkan. Karena ulama’ yang sejaman dengan beliau mempersaksikan bahwa perangkat untuk berijtihad telah terkumpul pada beliau, sampai-sampai orang yang sangat fanatik permusuhannya terhadap beliau dan yang selalu berusaha menyampaikan keburukan terhadap beliau : Syaikh Kamaluddin az-Zamlakaany mempersaksikan hal itu, demikian juga dengan Syaikh Shodruddin bin alWakiil”
ولو لم يكن للشيخ تقي الدين من المناقب إلا تلميذه الشهير الشيخ شمس الدين بن قيم الجوزية صاحب التصانيف النافعة السائرة التي انتفع بها الموافق والمخالف : لكان غاية في الدلالة على عظم منزلته ، فكيف وقد شهد له بالتقدم في العلوم ، والتميز في المنطوق والمفهوم أئمة عصره من الشافعية وغيرهم ، فضلاً عن الحنابلة
“ Kalaulah tidak ada keutamaan lain dari Syaikh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyyah) kecuali muridnya yang terkenal Syamsuddin Ibn Qoyyim al-Jauziyyah, yang memiliki karya-karya tulis yang bermanfaat bagi pendukung maupun penentangnya, niscaya cukuplah sebagai bukti agungnya kedudukan beliau. Maka bagaimana (tidak), padahal para Ulama’ pada zaman beliau dari kalangan Syafiiyah dan selainnya, apalagi dari Hanabilah telah mempersaksikan keunggulan beliau dalam ilmu, dan keistimewaan beliau dalam ucapan dan pemahaman”. (al-Jawaahir wad Durar juz 2 hal 734-736).
Ibnu Hajar al-‘Asqolaany Banyak Menjadikan Pendapat Ibnu Taimiyyah sebagai Rujukan
Di dalam kitabnya Fathul Baari Syarh Shohih al-Bukhari al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany menyebutkan pendapat Ibnu Taimiyyah tidak kurang dari 25 kali. Beberapa yang bisa dinukil di sini :
Ketika menyebutkan pendapat Ulama’ tentang makna siksaan bagi mayit karena sebab ratapan yang dilakukan keluarganya, beliau menyatakan :
مَعْنَى التَّعْذِيب تَأَلُّم الْمَيِّت بِمَا يَقَع مِنْ أَهْله مِنْ النِّيَاحَة وَغَيْرهَا ، وَهَذَا اِخْتِيَار أَبِي جَعْفَر الطَّبَرِيّ مِنْ الْمُتَقَدِّمِينَ ، وَرَجَّحَهُ اِبْن الْمُرَابِط وَعِيَاض وَمَنْ تَبِعَهُ وَنَصَرَهُ اِبْن تَيْمِيَة وَجَمَاعَة مِنْ الْمُتَأَخِّرِينَ ، وَاسْتَشْهَدُوا لَهُ بِحَدِيثِ قَيْلَة بِنْت مَخْرَمَة
“ Makna ‘penyiksaan’ adalah perasaan sakit si mayit karena apa yang terjadi dari keluarganya berupa ratapan atau semisalnya. Ini adalah pendapat dari Abu Ja’far atThobary dari kalangan mutaqoddimin, dan dirajihkan oleh Ibnul Muqoobith dan ‘Iyaadl, dan pengikutnya, pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah dan para Ulama dari kalangan mutaakhkhirin, dan mereka berdalil dengan hadits Qoylah binti Makhromah “ (Fathul Baari juz 4 halaman 327).
Pada saat menjelaskan pendapat para Ulama’ tentang anak-anak orang musyrik yang meninggal dunia, Ibnu Hajar menyatakan :
سَادِسهَا هُمْ فِي النَّار حَكَاهُ عِيَاض عَنْ أَحْمَد ، وَغَلَّطَهُ اِبْن تَيْمِيَة بِأَنَّهُ قَوْل لِبَعْضِ أَصْحَابه وَلَا يُحْفَظ عَنْ الْإِمَام أَصْلًا
“Pendapat yang ke-enam : mereka berada di anNaar (neraka). Pendapat ini dihikayatkan oleh ‘Iyaadl dari Imam Ahmad. Tetapi (hikayat) ini disalahkan oleh Ibnu Taimiyyah, bahwasanya itu adalah perkataan sebagian sahabat (Imam Ahmad), dan tidaklah terjaga (ternukil) dari Imam (Ahmad) sama sekali”(Fathul Baari juz 4 halaman 462).
Ketika menyebutkan pendapat Ulama’ tentang manakah yang lebih utama antara 2 Ummul Mu’minin Khadijah dan ‘Aisyah :
وَقَالَ اِبْن تَيْمِيَة : جِهَات الْفَضْل بَيْن خَدِيجَة وَعَائِشَة مُتَقَارِبَة . وَكَأَنَّهُ رَأَى التَّوَقُّف
“ dan berkata Ibnu Taimiyyah : ‘ Sisi-sisi keutamaan antara Khadijah dan Aisyah sangat berdekatan’. Seakan-akan beliau berpendapat tawaqquf (tidak merajihkan) “ (Fathul Baari juz 11 halaman 78)
Pada saat menjelaskan tentang nama asli dari Abu Thalib :
قَوْله : ( بَاب قِصَّة أَبِي طَالِب )
وَاسْمه عِنْد الْجَمِيع عَبْد مَنَافٍ ، وَشَذَّ مَنْ قَالَ عِمْرَان ، بَلْ هُوَ قَوْل بَاطِل نَقَلَهُ اِبْن تَيْمِيَة فِي كِتَاب الرَّدّ عَلَى الرَّافِضِيّ أَنَّ بَعْض الرَّوَافِض زَعَمَ أَنَّ قَوْله تَعَالَى : ( إِنَّ اللَّه اِصْطَفَى آدَم وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيم وَآلَ عِمْرَان ) أَنَّ آلَ عِمْرَان هُمْ آلُ أَبِي طَالِب وَأَنَّ اِسْم أَبِي طَالِب عِمْرَان وَاشْتُهِرَ بِكُنْيَتِهِ
“ Perkataan beliau (Imam al-Bukhari) : Bab Kisah Abu Thalib. Namanya (Abu Tholib) berdasarkan pendapat seluruh Ulama’ adalah Abdu Manaf. Pendapat yang ganjil (aneh) bagi yang berpendapat bahwa namanya adalah ‘Imran. Bahkan itu adalah pendapat yang batil, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya arRadd alar Raafidli bahwa sebagian orang Syiah Rafidlah menyangka bahwa firman Allah (Q.S Ali Imran :33,pent) : “Sesungguhnya Allah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga Imran” , bahwa yang dimaksud dengan keluarga Imran adalah keluarga Abu Thalib dan bahwasanya nama Abu Thalib adalah Imran dan terkenal dengan kunyah (gelar)nya”(Fathul Baari juz 11 halaman 209).
Contoh nukilan di atas hanyalah beberapa contoh yang menunjukkan bahwa Ibnu Hajar al-‘Asqolaany banyak menjadikan perkataan Ibnu Taimiyyah sebagai rujukan dalam kitabnya Fathul Baari. Di dalam kitab atTalkhiisul Habiir, Ibnu Hajar juga banyak menjadikan perkataan Ibnu Taimiyyah. Di antaranya adalah :
Ketika menyebutkan hadits :
الْفَقْرُ فَخْرِي وَبِهِ أَفْتَخِرُ
“ Kefakiran adalah kebanggaanku, dan dengannya aku berbangga”.
Ibnu Hajar menyatakan :
وَهَذَا الْحَدِيثُ سُئِلَ عَنْهُ الْحَافِظُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ؟ فَقَالَ : إنَّهُ كَذِبٌ لَا يُعْرَفُ فِي شَيْءٍ مِنْ كُتُبِ الْمُسْلِمِينَ الْمَرْوِيَّةِ ، وَجَزَمَ الصَّنْعَانِيُّ بِأَنَّهُ مَوْضُوعٌ
“ Hadits ini ditanyakan kepada al-Hafidz Ibnu Taimiyyah : maka beliau berkata : ‘Sesungguhnya itu adalah dusta, dan tidaklah diketahui sedikitpun (terdapat) dalam kitab-kitab yang diriwayatkan kaum muslimin’. Dan As-Shon’aany memastikan bahwa hadits tersebut palsu” (atTalkhiisul Habiir juz 4  halaman 156).
Demikianlah, saudaraku kaum muslimin, semoga Allah merahmati kita semua. Dari paparan di atas jelaslah bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tidaklah pernah berubah pemahaman menjadi seorang ‘Asy-ari. Jika ada orang yang meragukan ketokohan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sebagai seorang Ulama’ Ahlussunnah, maka cukuplah kita telah sebutkan pengakuan dari Ibnu Hajar al-‘Asqolaany berupa pujian-pujian terhadap beliau. Sangat banyak pujian para Ulama’ terhadap beliau, tak terhitung. Namun dalam tulisan ini kami cukupkan pada penjelasan Ibnu Hajar al-‘Asqolaany, karena juga banyak saudara kita yang terpengaruh membenci Ibnu Taimiyyah (tanpa tahu keadaan sebenarnya tentang beliau) namun mereka masih memulyakan Ibnu Hajar al-‘Asqolaany sebagai salah satu Ulama’ panutan. Belum lagi kami paparkan pujian Ibnu Hajar al-‘Asqolaany terhadap murid-murid Ibnu Taimiyyah dan menjadikan pendapat mereka sebagai rujukan.
Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah dan limpahan rahmatNya kepada seluruh kaum muslimin……
Wallaahu Ta’ala A’lam BisShowaab .
Ditulis oleh Abu Utsman Kharisman untuk http://www.darussalaf.or.id
Rujukan :
1.http://www.islam-qa.com/ar/ref/96323
2.http://saaid.net/monawein/taimiah/27.htm
3.Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah (terkemas dalam software : maowsoat_ibntaimia_01.
4.Fathul Baari (Maktabah AsySyaamilah)
5.Al-Bidaayah wan Nihaayah (Maktabah AsySyaamilah)
6.At-Talkhiisul Habiir (Maktabah AsySyaamilah)

Surat Pertanyaan Taubat Ibnu Taimiyah Yang Disaksikan Oleh Para Ulama

Surat Pertanyaan Taubat Ibnu Taimiyah Yang Disaksikan Oleh Para Ulama


الحمد الله، الذي أعتقده أن في القرءان معنى قائم بذات الله وهو صفة من صفات ذاته القديمة الأزلية وهو غير مخلوق، وليس بحرف ولا صوت، وليس هو حالا في مخلوق أصلا ولا ورق ولا حبر ولا غير ذلك، والذي أعتقده في قوله: ? الرحمن على آلعرش آستوى ? [سورة طه] أنه على ما قال الجماعة الحاضرون وليس على حقيقته وظاهره، ولا أعلم كنه المراد به، بل لا يعلم ذلك إلا الله، والقول في النزول كالقول في الاستواء أقول فيه ما أقول فيه لا أعرف كنه المراد به بل لا يعلم ذلك إلا الله، وليس على حقيقته وظاهره كما قال الجماعة الحاضرون، وكل ما يخالف هذا الاعتقاد فهو باطل، وكل ما في خطي أو لفظي مما يخالف ذلك فهو باطل، وكل ما في ذلك مما فيه إضلال الخلق أو نسبة ما لا يليق بالله إليه فأنا بريء منه فقد تبرأت منه وتائب إلى الله من كل ما يخالفه وكل ما كتبته وقلته في هذه الورقة فأنا مختار فى ذلك غير مكره.

(كتبه أحمد بن تيمية) وذلك يوم الخميس سادس شهر ربيع الآخر سنة سبع وسبعمائة.

" Segala puji bagi Allah yang aku yakini bahwa di dalam Al-Quran memiliki makna yang berdiri dengan Dzat Allah Swt yaitu sifat dari sifat-sifat Dzat Allah Swt yang maha dahulu lagi maha azali dan al-Quran bukanlah makhluq, bukan berupa huruf dan suara, bukan suatu keadaan bagi makhluk sama sekali dan juga bukan berupa kertas dan tinta dan bukan yang lainnya. Dan aku meyakini bahwa firman Allah Swt " الرحمن على آلعرش آستوى adalah apa yang telah dikatakan oleh para jama'ah (ulama) yang hadir ini dan bukanlah istawa itu secara hakekat dan dhohirnya, dan aku pun tidak mengetahui arti dan maksud yang sesungguhnya kecuali Allah Swt, bukan istawa secara hakekat dan dhohir seperti yang dinyatakan oleh jama'ah yang hadir ini. Semua yang bertentangan dengan akidah I ni adalah batil. Dan semua apa yang ada dalam tulisanku dan ucapanku yang bertentangan dari semua itu adalah batil. Semua apa yang telah aku gtulis dan ucapkan sebelumnya adalah suatu penyesatan kepada umat atau penisbatan sesuatu yang tidak layak bagi Allah Swt, maka aku berlepas diri dan menjauhkan diri dari semua itu. Aku bertaubat kepada Allah dari ajaran yang menyalahi-Nya. Dan semua yang aku dan aku ucapkan di kertas ini maka aku dengan suka rela tanpa adanya paksaan "Telah menulisnya :

(Ahmad Ibnu Taimiyyah)
Kamis, 6 Rabiul Awwal 707 Hijriyah


ULAMA DIMASA ITU YANG MENANDA-TANGANI 

- Muhammad bin Ibrahim Asy-Syafi'i, beliau menyatakan :

اعترف عندي بكل ما كتبه بخطه في التاريخ المذكور
Aku mengakui segala apa yang telah dinyatakan oleh Ibnu Taimiyyah ditanggal tersebut

- Abdul Ghoni bin Muhammad Al-Hanbali :
اعترف بكل ما كتب بخطه
Aku mengakui apa (pertaubatan) yang telah dinyatakannya

- Ahmad bin Rif'ah

- Abdul Aziz An-Namrowi :
أقر بذلك
(Aku mengakuinya)

- Ali bin Miuhammad bin Khoththob Al-Baji Asy-Syafi'I :

أقر بذلك كله بتاريخه
(Aku mengakui itu dengan tanggalnya)

- Hasan bin Ahmad bin Muhammad Al-Husaini
جرى ذلك بحضوري في تاريخه
(Ini terjadi di hadapanku dengan tanggalnya)

- Abdullah bin jama'ah (Aku mengakuinya)

- Muhammad bin Utsman Al-Barbajubi :
أقز بذلك وكتبه بحضوري
(Aku mengakuinya dan menulisnya dihadapanku)
http://ibnu-alkatibiy.blogspot.com/2011/12/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-di-tangan.html

Bukti Ibnu Taymiyah dan Al-Bany Taubat Dari Aqidah Sesat

Bukti Ibnu Taymiyah dan Al-Bany Taubat Dari Aqidah Sesat

Assalamualaikum wr wb

Ramai orang mengkaji sejarah dan hanya menerima pendapat Ibnu Taimiyah sekadar dari bacaan kitabnya saja tanpa merangkumkan fakta sejarah dan kebenaran dengan tulus dan ikhlas.
Dari sebab itu mereka (seperti Wahabiyah) sekadar berpegang dengan akidah salah yang termaktub dalam tulisan Ibnu Taimiyah khususnya dalam permasaalahan usul akidah berkaitan kewujudan Allah dan pemahaman ayat ” Ar-Rahman ^alal Arasy Istawa”.
Dalam masa yang sama mereka jahil tentang khabar dan berita sebenarnya berdasarkan sejarah yang diakui oleh ulama dizaman itu' atau yang lebih hampir dengan Ibnu Taimiyah yang sudah pasti lebih mengenali Ibnu Taimiyah daripada kita dan Wahabiyah. Dengan kajian ini dapatlah kita memahami bahwa sebenarnya akidah Wahabiyah antaranya :
1-Allah duduk di atas kursi.
2-Allah duduk dan berada di atas arasy.
3-Tempat bagi Allah adalah di atas arasy.
4-Berpegang dengan zohir(duduk) pada ayat “Ar-Rahman ^alal Arasy Istawa”.
5-Allah berada di langit.
6-Allah berada di tempat atas.
7-Allah bercakap dengan suara.
8-Allah turun naik dari tempat ke tempat dan selainnya daripada akidah kufur sebenarnya Ibnu Taimiah telah bertaubat daripada akidah sesat tersebut dengan mengucap dua kalimah syahadah serta mengaku sebagai pengikut Asyairah dengan katanya:
“saya golongan Asy’ary”.
(Malangnya Wahhabi mengkafirkan golongan Asyairah, lihat buktinya :http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/...mat-islam.html).

Syeikhul Islam Imam Al-Hafiz As-Syeikh Ibnu Hajar Al-Asqolany yang hebat dalam ilmu hadist dan merupakan ulama hadist yang mutabar dan pakar dalam segala ilmu hadist dan merupakan pengarang kitab syarah' Sohih Bukhari berjudul' Fathul Bari ,beliau telah menyatakan kisah taubat Ibnu taimiyah ini, serta tidak menafikan kesahihannya dan ini diakui olehnya sendiri dalam kitab beliau berjudul Ad-Durar Al-Kaminah Fi ‘ayan Al-Miaah As-Saminah yang disahihkan kewujudan kitabnya oleh ulama-ulama Wahhabi juga termasuk kanak-kanak Wahabi di Malaysia ( Mohd Asri Zainul Abidin).
Kenyatan bertaubatnya Ibnu Taimiyah dari akidah sesat tersebut juga telah dinyatakan oleh seorang ulama sezaman dengan Ibnu Taimiyah iaitu Imam As-Syeikh Syihabud Din An-Nuwairy wafat 733H.
Ini penjelasannya :
Berkata Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany dalam kitabnya berjudul :
Ad-Durar Al-Kaminah Fi “ayan Al-Miaah As-Saminah
cetakan 1414H Dar Al-Jiel
juzuk 1 m/s 148
dan Imam As-Syeikh Syihabuddin An-Nuwairy wafat 733H :
cetakan Dar Al-Kutub Al-Misriyyah
juzuk 32 m/s 115-116
dalam kitab berjudul Nihayah Al-Arab Fi Funun Al-Adab nasnya:
أما تقي الدين فإنه استمر في الجب بقلعة الجبل
إلى أن وصل الأمير �*سام الدين مهنا إلى الأبواب السلطانية في شهر ربيع الأول سنة سبع وسبعمائة ، فسأل السلطان في أمره وشفع فيه ، فأمر بإخراجه ، فأخرج في يوم الجمعة الثالث والعشرين من الشهر وأ�*ضر إلى دار النيابة بقلعة الجبل ، و�*صل ب�*ث مع الفقهاء ، ثم اجتمع جماعة من أعيان العلماء ولم ت�*ضره القضاة ، وذلك لمرض قاضي القضاة زين الدين المالكي ، ولم ي�*ضر غيره من القضاة ، و�*صل الب�*ث ، وكتب خطه ووقع الإشهاد عليه وكتب بصورة المجلس مكتوب مضمونه : بسم الله الر�*من الر�*يم شهد من يضع خطه آخره أنه لما عقد مجلس لتقي الدين أ�*مد بن تيمية ال�*راني ال�*نبلي ب�*ضرة المقر الأشرف العالي المولوي الأميري الكبيري العالمي العادلي السيفي ملك الأمراء سلار الملكي الناصري نائب السلطنة المعظمة أسبغ الله ظله ، و�*ضر فيه جماعة من السادة العلماء الفضلاء أهل الفتيا بالديار المصرية بسبب ما نقل عنه ووجد بخطه الذي عرف به قبل ذلك من الأمور المتعلقة باعتقاده أن الله تعالى يتكلم بصوت ، وأن الاستواء على �*قيقته ، وغير ذلك مما هو مخالف لأهل ال�*ق ، انتهى المجلس بعد أن جرت فيه مبا�*ث معه ليرجع عن اعتقاده في ذلك ، إلى أن قال ب�*ضرة شهود : ( أنا أشعري ) ورفع كتاب الأشعرية على رأسه ، وأشهد عليه بما كتب خطا وصورته : (( ال�*مد لله ، الذي أعتقده أن القرآن معنى قائم بذات الله ، وهو صفة من صفات ذاته القديمة الأزلية ، وهو غير مخلوق ، وليس ب�*رف ولا صوت ، كتبه أ�*مد بن تيمية . والذي أعتقده من قوله : ( الر�*من على العرش استوى ) أنه على ما قاله الجماعة ، أنه ليس على �*قيقته وظاهره ، ولا أعلم كنه المراد منه ، بل لا يعلم ذلك إلا الله تعالى ، كتبه أ�*مد بن تيمية . والقول في النزول كالقول في الاستواء ، أقول فيه ما أقول فيه ، ولا أعلم كنه المراد به بل لا يعلم ذلك إلا الله تعالى ، وليس على �*قيقته وظاهره ، كتبه أ�*مد بن تيمية ، وذلك في يوم الأ�*د خامس عشرين شهر ربيع الأول سنة سبع وسبعمائة )) هذا صورة ما كتبه بخطه ، وأشهد عليه أيضا أنه تاب إلى الله تعالى مما ينافي هذا الاعتقاد في المسائل الأربع المذكورة بخطه ، وتلفظ بالشهادتين المعظمتين ، وأشهد عليه بالطواعية والاختيار في ذلك كله بقلعة الجبل الم�*روسة من الديار المصرية �*رسها الله تعالى بتاريخ يوم الأ�*د الخامس والعشرين من شهر ربيع الأول سنة سبع وسبعمائة ، وشهد عليه في هذا الم�*ضر جماعة من الأعيان المقنتين والعدول ، وأفرج عنه واستقر بالقاهرة
Saya terjemahkan beberapa yang penting dari nas dan kenyataan tersebut: 1- ووجد بخطه الذي عرف به قبل ذلك من الأمور المتعلقة باعتقاده أن الله تعالى يتكلم بصوت ، وأن الاستواء على �*قيقته ، وغير ذلك مما هو مخالف لأهل ال�*ق
Terjemahannya: “Dan para ulama telah mendapati skrip yang telah ditulis oleh Ibnu Taimiyah yang telah diakui nya sebelum itu (akidah salah ibnu taimiyah sebelum bertaubat) berkaitan dengan akidahnya bahwa Allah ta’ala berkata-kata dengan suara, dan Allah beristawa dengan arti yang hakiki yaitu duduk) dan selain itu yang bertentangan dengan Ahl Haq (kebenaran)”.
Saya mengatakan : Ini adalah bukti dari para ulama islam di zaman Ibnu Taimiyah bahwa dia berpegang dengan akidah yang salah sebelum bertaubat daripadanya antaranya Allah beristawa secara hakiki yaitu duduk.
Golongan Wahhabiyah sehingga ke hari ini masih berakidah dengan akidah yang salah ini yaitu menganggap bahawa Istiwa Allah adalah hakiki termasuk Mohd Asri Zainul Abidin yang mengatakan istawa bermakna duduk cuma bagaimana bentuknya bagi Allah kita tak tahu. lihat dan dengar sendiri Asri sandarkan DUDUK bagi Allah di : http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/...udi-allah.html .
Sedangkan ibnu Taimiah telah bertaubat dari akidah tersebut.
2- قال ب�*ضرة شهود : ( أنا أشعري ) ورفع كتاب الأشعرية على رأسه
Terjemahannya: ” Telah berkata Ibnu Taimiyah dengan kehadiran saksi para ulama: ‘ Saya golongan Asy’ari’ dan mengangkat kitab Al-Asy’ariyah di atas kepalanya ( mengakuinya)”.
Saya mengatakan :
Kepada Wahhabi yang mengkafirkan atau menghukum sesat terhadap Asya’irah, apakah mereka menghukum sesat juga terhadap Syeikhul islam mereka sendiri ini?! Siapa lagi yang tinggal sebagai islam ,sedangkan syeikhul islam kamu pun kamu kafirkan dan sesatkan?! Ibnu Taimiyah mengaku sebagai golongan Asy’ary malangnya Wahhabi mengkafirkan golongan Asya’ri pula, rujuk bukti Wahhabi kafirkan golongan As’y'ary :http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/...mat-islam.html.
3- والذي أعتقده من قوله : ( الر�*من على العرش استوى ) أنه على ما قاله الجماعة ، أنه ليس على �*قيقته وظاهره ، ولا أعلم كنه المراد منه ، بل لا يعلم ذلك إلا الله تعالى ، كتبه أ�*مد بن تيمية
Terjemahan khot tulisan Ibnu Taimiyah dihadapan para ulama islam ketika itu dan mereka semua menjadi saksi kenyataan Ibnu Taimiyah : ” Dan yang aku berpegang mengenai firman Allah ‘Ar-Rahman diatas Arasy istawa’ adalah sepertimana berpegangnya jamaah ulama islam, sesungguhnya ayat tersebut bukan berarti hakikatnya(duduk) dan bukan atas zohirnya dan aku tidak mengetahui maksud sebenar-benarnya dari ayat tersebut bahkan tidak diketahui makna sebenar-benarnya dari ayat tersebut kecuali Allah.Telah menulis perkara ini oleh Ahmad Ibnu Taimiyah”.
Saya mengatakan:
Ibnu Taimiyah telah bertaubat dan mengatakan ayat tersebut bukan atas zohirnya dan bukan atas hakikinya yaitu bukan berarti Allah duduk maupun bertempat atas arasy.
( Bukti Ibnu Taimiah pernah dahulunya berpegang dengan akidah salah: ‘Allah Duduk’
sila rujuk: http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/...tas-arasy.html ).
Malangnya kesemua guru Wahhabi sehingga sekarang termasuk Al-Bani, Soleh Uthaimien, Bin Baz dan kesemuanya berpegang ayat tersebut secara zohirnya dan hakikatnya (duduk dan bertempat atas arasy). Lihat saja buku-buku mereka jelas menyatakan sedemikian. Maka siapakah syeikhul islam sekarang ini disisi Wahhabiyah atau adakah syeikhul islam anda wahai Wahhabi telah kafir disebabkan taubatnya?!
4- وأشهد عليه أيضا أنه تاب إلى الله تعالى مما ينافي هذا الاعتقاد في المسائل الأربع المذكورة بخطه ، وتلفظ بالشهادتين المعظمتين
Terjemahannya berkata Imam Nuwairy seperti yang dinyatakan juga oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany : ” Dan aku antara saksi bahawa Ibnu Taimiyah telah bertaubat kepada Allah daripada akidah yang salah pada empat masaalah akidah yang telah dinyatakan, dan Ibnu Taimiyah telah mengucap dua kalimah syahadah(bertaubat daripada akidah yang salah pernah dia pegangi terdahulu)”.
Saya mengatakan:
Ibnu Taimiyah telah memeluk islam kembali dengan mengucap dua kalimah syahadah dan mengiktiraf akidahnya sebelum itu adalah salah dan kini akidah yang salahnya itu pula dipegang oleh golongan Wahhabiyah.
Maka bilakah pula golongan Wahhabiyah yang berpegang dengan akidah yang salah tersebut akan memeluk agama islam semula seperti yang dilakukan oleh rujukan utama mereka yang mereka sendiri namakan sebagai Syeikhul Islam?!.
Jadikan qudwah dan ikutan Ibnu Taimiyah dalam hal ini wahai Wahhabiyah!.
Ayo! bertaubatlah sesungguhnya kebenaran itu lebih tinggi dari segala kebatilan. Pintu taubat masih terbuka bagi Wahhabi yang belum dicabut nyawa.
ULAMA-ULAMA YANG MENYATAKAN DAN MENYAKSIKAN KISAH TAUBATNYA IBNU TAIMIYAH.
Selain Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany dalam kitabnya berjudul Ad-Durar Al-Kaminah Fi “ayan Al-Miaah As-Saminah cetakan 1414H Dar Al-Jiel juzuk 1 m/s 148
dan Imam As-Syeikh Syihabuddin An-Nuwairy wafat 733H cetakan Dar Al-Kutub Al-Misriyyah juzuk 32 m/s 115-116 dalam kitab berjudul Nihayah Al-Arab Fi Funun Al-Adab yang menyatakan kisah taubat Ibnu Taimiyah ramai lagi ulama islam yang menyaksikan dan menceritakan kisah pengakuan tersebut antaranya lagi :
-As-Syeikh Ibnu Al-Mu’allim wafat tahun 725H dalam kitab Najmul Muhtadi Wa Rojmul Mu’tadi cetakan Paris nom 638.
-As-Syeikh Ad-Dawadai wafat selepas 736H dalam kitab Kanzu Ad-Durar – Al0Jam’-239.
-As-Syeikh Taghry Bardy Al-Hanafi bermazhab Hanafiyah wafat 874H dalam Al-Minha As-Sofi m/s576 dan beliau juga menyatakn sepertimana yang dinyatakan nasnya oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany dalam kitabnya yang lain berjudul An-Nujum Az-Zahirah Al-Jami’ 580.
Merekalah dan selain mereka telah menyatakan taubat Ibnu Taimiah daripada akidah Allah Duduk dan bertempat di atas arasy.
Kata-kata akhirku dalam penerangan kajian ringkas berfakta ini..
Wahai Wahhabiyah yang berakidah Allah Duduk di atas arasy. Itu adalah akidah kristian kafir dan yahudi laknat (Rujuk bukti :http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/...tas-arasy.html . Berpeganglah dengan akidah salaf sebenar dan khalaf serta akidah ahli hadist yang di namakan sebagai akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah yaitu Allah tidak memerlukan kepada semua makhlukNya termasuk tempat dilangit maupun tempat di atas arasy. Semoga Allah merahmati hambaNya yang benar-benar mencari kebenaran. Wassalam.
* Saya mengharap komen diberikan atas artikel ini dengan syarat mestilah berfakta yang tulus dan ilmiah tidak semborono khususnya kepada mereka yang mengatakan ini palsu.

2. Albany Mengakui akidah : ALLAH WUJUD TANPA TEMPAT ” & TOLAK AKIDAH “ALLAH BERSEMAYAM/DUDUK ATAS ‘ARASY”

Daurah masyayikh salafy timur tengah, Daurah kitab albany, Daurah daurah salafy/wahaby saudy

Syaikh nashiruddin albany, yang sering membuat fatwa-fatwa heboh dan menyesatkan akhirnya taubat sebelum matinya……disalah satu kitab terakhirnya (ia mentkhrij kitab imam adzahabi alasy’ary) albany akhirnya mengakui aqidah ahlusunnah walja’maah (Allah ada tanpa tempat dan arah) berbeda dgn fatwa-fatwa sebelumnya……mari kita lihat bukti kitab nya!!!

Maka salafy/wahaby pun ramai-ramai mengkafirkannnya!!, …..jamaah takfir akhirnya salang mengkafirkan sesamanya sendiri….na’dzubillah…
ALBANI & AZ-ZAHABI KATA: AKIDAH ISLAM ADALAH “ALLAH WUJUD TANPA BERTEMPAT” & ALLAH TIDAK BERSEMAYAM/DUDUK ATAS ARASY.
Oleh: Abu Syafiq ( Hp: 006-012-2850578 )
memang kebenaran akidah Islam tidak dapat ditolak oleh golongan munafiq mahupun kafir Mujassim. Ini karena burhan dan adillah (hujjah dan dalil) yang terbit dari sumber yang mulia yaitu Al-Quran dan Hadist tiada sedikitpun pun keraguan,menyingkir pula kebatilan. Antara akidah Islam adalah “ Allah Wujud Tanpa Bertempat” dan inilah antara yang Ahlu Sunnah Wal Jama’ah maksudkan demi memberi kefahaman yang tepat dalam perbincangan akidah Islam dalam mentauhidkan diri kepada Allah. WAHHABI MALAYSIA KAFIRKAN ALBANI & AZ-ZAHABI Kesemua Wahhabi di Malaysia berakidah dengan akidah yang tidak menepati Al-Quran dan Hadist Nabawi.
Ini amat jelas dengan hujjah yang telah saya ( Abu Syafiq ) kemukakan sebelum2 ini berlandaskan ayat2 Allah dan sabda Nabi Muhammad berkonsepkan kaidah ulama Salaf dan Khalaf tulen. Semua Wahhabi di Malaysia yang berakidah Allah Bertempat telah menghukum kafir terhadap umat Islam yang berakidah benar Allah Wujud Tanpa Bertempat. Pada masa yang sama Wahhabi di Malaysia alpa akan akidah guru2 mereka sendiri Nasiruddin Al-Bany dan rujukan utama mereka Al-Hafiz Az-Zahaby yang juga berakidah Allah Wujud Tanpa Bertempat, malangnya Wahhabi mengkafirkan sesiapa yang berakidah sedemikian. Ini amat jelas semua Wahhabi di Malaysia bukan hanya mengkafirkan umat Islam bahkan turut mengkafirkan guru dan rujukan utama mereka sendiri iaitu Al-Bani dan Az-Zahabi.
Silakan pembaca rujuk teks kenyataan Allah Wujud Tanpa Bertempat Dan Tanpa Berarah oleh Al-Bani & Az-Zahabi :
Kitab: Mukhtasor ‘Ulu Li ‘Aliyyil ‘Azhim.
Pengarang: Syamsuddin Az-Zahabi.
Pentahkik: Nasiruddin Al-Bani. Cetakan: Maktab Islami.
Mukasurat: 71.
Kenyataan teks Al-Bani bersumber kitab di atas :
“ Apabila kamu telah mendalami perkara tersebut, dengan izin Allah kamu akan faham ayat-ayat Al-Quran dan Hadist Nabawi serta kenyataan para ulama Salaf yang telah dinyatakan oleh Az-Zahabi dalam kitabnya ini Mukhtasor bahawa arti dan maksud sebalik itu semua adalah makna yang thabit bagi Allah yaitu ketinggian Allah pada makhluk-makhlukNya ( bukan ketinggian tempat), istawanya Allah atas arasyNya layak bagi keagunganNya dan Allah tidak ber arah dan Allah tidak bertempat”. (Sila rujuk kitab tersebut yang telah di scan di atas).
Saya menyatakan: Al-Bani telah nukilan lafaz akidah yang benar walaupun ulama Islam telah maklum bahawa golongan Mujassimah dan Tabdi’ ini pada hakikatnya akidah mereka sering berbolak balik. Albani pun mengatakan Allah tidak bertempat tetapi Wahhabi di Malaysia ,berakidah Allah itu bertempat bahkan mereka mengkafirkan pula siapa yang percaya Allah wujud tanpa bertempat. Kenyatan Al-Bani menafikan tempat bagi Allah adalah secara mutlak dan tidak disebut tempat yang makhluk atau tidak dan ini juga adalah bukti Al-Bani dan Az-Zahabi menafikan Allah Bersemayam/Duduk Atas Arasy. Sememangnya Al-Bani dan Az-Zahabi sering menolak akidah Allah Bersemayam/Duduk Atas ‘Arasy. pertanyaan saya kepada Wahhabi..mengapa kamu mengkafirkan Muhaddist kamu ini? Adakah Syeikh Islam kamu, ulama kamu dan Muftary kamu termasuk Albani ini adalah kafir kerana berakidah Allah Tidak Bertempat?
Sekiranya TIDAK maka mengapa kamu bawa akidah palsu dan sekiranya YA maka kamu semua adalah NAJIS SYAITON!. Wahai pembaca yang berakal dan budiman…. – Albani berakidah “ Allah Wujud Tanpa Bertempat dan Tidak Ber Arah ” tetapi Wahhabi Malaysia kafirkan akidah tersebut. – Hafiz Az-Zahabyi berakidah “ Allah Wujud Tanpa Bertempat dan Tanpa Ber Arah ” tetapi Wahhabi Malaysia kafirkan akidah tersebut bahkan Wahhabi berakidah Allah bertempat. Sila rujuk bukti: http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/...i-seluruh.html
Nah..! Dimanakah hendak dikategorikan golongan Wahhabi ini? Jamban,mangkuk, tandas? atau di tanah perkuburan yang hanya disemadikan dalamnya ahli-ahli Mujassimah pengkhianat amanah?!. Apapun saya doakan hidayah keimanan diberikan oleh Allah kepada Wahhabi yang masih hidup. Wassalam. www.abu-syafiq.blogspot.com ________________________________
KITAB-KITAB IMAM ADZAHABY SERING DIJADIKAN RUJUKAN-RUJUKAN PALSU OLEH WAHABY TAPI KALAU KITA LIHAT KITAB ASLINYA, AKAN LAIN JADINYA…. LIHAT KITAB ASLI IMAM ADZAHABY YANG BELUM DITAKHRIJ OLEH ALBANY :
AL-HAFIZ AZ-ZAHABI KAFIRKAN AKIDAH: ALLAH DUDUK

AL-HAFIZ AZ-ZAHABI KAFIRKAN AKIDAH: ALLAH BERSEMAYAM/DUDUK

Oleh: Abu Syafiq ( Tel HP 006-012-2850578)

*Bersemayam yang bererti Duduk adalah sifat yang tidak layak bagi Allah dan Allah tidak pernah menyatakan demikian, begitu juga NabiNya. __________________________________________________ _________________________

Hakikat kebenaran tetap akan tersebar walaupun lidah syaitan Wahhabi coba merubahnya. Kali ini dipaparkan bagaimana rujukan utama Wahhabi iaitu Al-Hafiz Az-Zahabi sendiri mnghukum kafir akidah sesat: Allah Bersemayam/Duduk yang dipelopori oleh Wahhabi pada zaman kini. Az-Zahabi adalah Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Uthman bin Qaymaz bin Abdullah ( 673-748H ). Pengarang kitab Siyar An-Nubala’ dan kitab-kitab lain termasuk Al-Kabair.

Az-Zahabi mengkafirkan akidah Allah Duduk sepertimana yang telah dinyatakan olehnya sendiri di dalam kitabnya berjudul Kitab Al-Kabair. Demikian teks Az-Zahabi kafirkan akidah “ Allah Bersemayam/Duduk” : ( RUJUK SCAN KITAB TERSEBUT DI ATAS )

Nama kitab: Al-Kabair.

Pengarang: Al-Hafiz Az-Zahabi.

Cetakan: Muassasah Al-Kitab Athaqofah,

cetakan pertama 1410h.

Terjemahan.:

Berkata Al-Hafiz Az-Zahabi: “Faidah, perkataan manusia yang dihukum kufur jelas terkeluar dari Islam oleh para ulama adalah: …sekiranya seseorang itu menyatakan: Allah Duduk untuk menetap atau katanya Allah Berdiri untuk menetap maka dia telah jatuh KAFIR”.

Rujuk scan kitab tersebut di atas m/s 142. Perhatikan bagaimana Az-Zahabi menghukum kafir sesiapa yang mendakwa Allah bersifat Duduk. Sesiapa yang mengatakan Allah Duduk maka dia kafir. Fokuskan pada kenyataan Az-Zahhabi tidak pula mengatakan “sekiranya seseorang itu kata Allah Duduk seperti makhlukNya maka barulah dia kafir” akan tetapi amat jelas Az-Zahabi terus menghukum kafir kepada sesiapa yang mendakwa Allah Duduk disamping Az-Zahabi menukilkan hukum tersebut dari seluruh ulama Islam.

Wahai Mohd Asri Zainul Abidin dan Wahhabi yang lain…ketahuilah apabila anda semua mengatakan Allah Duduk merupakan kekufuran yang telah dihukum oleh Az-Zahabi sendiri dan ulama Islam. Tidak perlu ditunggu kenyataan “ Allah Duduk Seperti MakhlukNya” baru dihukum kafir akan tetapi dengan mengatakan Allah Duduk maka ia merupakan perkataan kufur terkeluar dari Islam sepertimana yang dinyatakan oleh Al-Hafiz Az-Zahabi. Bertaubatlah wahai Wahhabi. www.abu-syafiq.blogspot.com http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/...an-akidah.html

sumber : www.salafytobat.wordpress.com

www.invasi.blogspot.com

Kamis, 09 Juli 2015

Ciri-ciri orang munafik

Tafsir Surat Al-Baqarah (2) ayat 17-20 tentang Golongan Orang Munafik bagian 2


Setelah menyebutkan cirri-ciri golongan orang munafik pada ayat 8-16 secara rinci, maka pada bagian kedua yakni ayat 17-20 ini Allah menerangkannya dengan menggunakan perumpamaan (tamtsil). Kenapa harus menggunakan perumpamaan? Karena inilah salah satu keistimewaan Al-Qur’an dalam menjelaskan suatu perkara. Perumpamaan itu diperlukan un tuk menerangkan suatu hal yang samar dan juga agar dapat lebih diterima oleh akal manusia.

Ayat 17


2:17“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.”Orang-orang munafik itu bagaikan orang yang menghidupkan api yang dapat menerangi daerah di sekitarnya kemudian Allah mematikan api tersebut sehingga kegelapan kembali menyelimuti area tersebut. Rentang waktu diantara saat menyalakan dan saat dimatikan oleh Allah itu hanya sekejap saja. Belum sempat mereka merasakan dan menikmati cahaya (hidayah), mereka belum sempat mendapatkan manfaat dari cahaya tersebut, kemudian mereka telah kehilangan cahayanya, sehingga kembalilah mereka dalam kegelapan.

Di sini memakai redaksi (dhulumaat) yakni jamak mu’annas salim (kata jamak), yang menunjukkan bahwa kegelapan itu sungguh kegelapan di atas kegelapan, kegelapan yang sangat atau kegelapan yang berlapis-lapis. Sehingga mereka tidak akan bisa melihat kebenaran baik dengan mata ataupun dengan mata hati (hati nurani) mereka. Mereka dapat melihat kebenaran tapi tidak mau mengikutinya.

Ini mengindikasikan bahwa saat mereka menyalakan adalah perumpamaan hidayah yang mereka rasakan hanya ada di dunia saja, berupa pengakuan bahwa mereka menyandang gelar sebagai umat islam. Dengan kemunafikannya itu seakan-akan berhak mendapat penerangan hidayah dari kepalsuan imannya. Jadi mereka bias ada disekitar kita, shalat berjamaah, puasa, dan ibadah lainnya tetapi karena iman mereka yang palsu, semua ibadah itu tidak bernilai bagi mereka. Balasan dari ibadah mereka itu hanya akan mereka rasakan di dunia saja. Dan apakah mereka bias menemukan kebenaran kembali? Jawabannya ada pada ayat selanjutnya.

Ayat 18


2:18“Mereka tuli, bisu dan buta, Maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).”
Perumpamaan dari kedok keimanan dari orang-orang munafik itu dijelaskan dengan keadaan tuli, bisu dan buta. Mereka memiliki telinga, mereka juga dapat mendengar. Tetapi dengan pendengaran mereka tidak dapat mendengarkan hal-hal yang baik, enggan menerima nasehat-nasehat yang baik, ayat-ayat dari Allah juga tidak mereka indahkan, maka sama saja mereka dengan orang yang tuli.

Kemudian mereka juga memiliki mulut dan lisan, mereka juga dapat berbicara, tetapi mereka juga tidak pernah berbicara hal-hal yang baik, tidak mampu menyampaikan kebenaran yang telah mereka dapatkan, senang melecehkan dan tetap saja yang keluar dari lisan mereka adalah hal-hal yang buruk. Maka jika sudah demikian, maka sama saja mereka dengan orang yang bisu, atau bahkan orang bisu lebih baik dari mereka. Satu hal lagi yakni mereka diperumpamakan dengan orang yang buta. Memiliki mata, tapi tidak dapat melihat kebenaran yang jelas ada di depannya. Maka sama saja mereka dengan orang buta.

Jika sudah demikian, memiliki telingan tapi tidak dapat mendengar, memiliki lisan tapi tidak bias berkata yang baik dan memiliki mata tapi tidak menggunakan matanya untuk melihat kebenaran, maka bisa dipastikan mereka akan sulit untuk kembali kepada kebenaran. Akan sangat berat untuk mendapati mereka kembali kedalam kebenaran.

Ayat 19


2:19“ Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan jari jemarinya, Karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati dan Allah meliputi orang-orang yang kafir.”

Keadaan orang-orang munafik itu, ketika mendengar ayat-ayat yang mengandung peringatan, adalah seperti orang yang ditimpa hujan lebat dan petir. Mereka menyumbat telinganya karena tidak sanggup mendengar peringatan-peringatan Al Quran itu. Hingga mereka diliputi rasa takut atas kematian.

Banyak ulama ahli tafsir yang mengartikan hujan tersebut adalah sebagai Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an dapat berfungsi seperti hujan yang dapat menumbuhkan hal-hal yang baik. Sehingga karena orang-orang munafik itu berada di sekitar orang-orang yang beriman, maka Al-Qur’an selalu berada di sekitar mereka.

Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, Al-Qur’an yang seharusnya dapat menjadi penerang dan penyejuk, membawa rahmat dan hidayah, ternyata seakan-akan menjadi hujan lebat yang menyebabkan keadaan menjadi gelap gulita, diliputi guruh dan juga kilat. Bukannya mendapat kedamaian dan ketentraman hati, justru malah hati mereka yang menjadi sakit.

Bagaimanapun keadaannya, Allah itu melebihi segalanya. Allah Yang Maha Tahu dan Maha segalanya lebih tahu dari siapapun, termasuk orang-orang kafir. Siapa orang kafir pada ayat ini/ yakni orang-orang munafik yang berkedok islam, menyembunyikan kekafirannya dalam bungkus islam.
Ayat 20


2:20“ Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.

Perumpamaan terakhir adalah dengan adanya kilat yang menyambar-nyambar hingga sampai kepada pelupuk mata mereka. Disini jika mereka berada pada cahaya iman dan islam, maka mereka juga akan mendapat cahaya tersebut, mereka juga ikut dalam cahaya itu. Dan jika mereka kembali pada kesesatannya, maka mereka juga kembali kepada kegelapan. Mereka berhenti.

Meskipun berada di sekitar orang-orang beriman, selalu mendengar ayat-ayat Al-qur’an dibacakan, mereka tidak bisa mendapat manfaat kecuali sedikit. Kenapa demikian? Karena Allah melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Allah lah Dzat Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Wallahu a’lam. (qaaf)

Minggu, 05 Juli 2015

Kaedah Penting dalam Memahami Al Qur’an dan Hadits

Umat Islam memiliki modal yang sangat besar untuk bersatu, karena mereka beribadah kepada Tuhan yang satu, mengikuti nabi yang satu, berpedoman kepada kitab suci yang satu, berkiblat kepada kiblat yang satu. Selain itu, ada jaminan dari Allah dan Rasul-Nya, bahwa mereka tidak akan sesat selama mengikuti petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, berpegang-teguh kepada Alquran dan al Hadits 

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu generasi tabi’ut tabi’in). (Hadits mutawatir, Bukhari, no. 2652, 3651, 6429; Muslim, no. 2533; dan lainnya).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
Sesungguhnya, Bani Israil telah berpecah-belah menjadi 72 agama. Dan sesungguhnya umatku akan berpecah-belah menjadi 73 agama. Mereka semua di dalam neraka kecuali satu agama. Mereka (para sahabat) bertanya, “Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Siapa saja yang mengikutiku dan sahabatku.” (H.R Tirmidzi, no. 2565; al-Hakim, Ibnu Wadhdhah; dan lainnya; dari Abdullah bin ’Amr. Dihasankan oleh Syaikh Salim al Hilali di dalam Nash-hul Ummah, hlm. 24).
Berpegang teguh kepada Sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah (ajaran) para khulafaur rasyidin dan para sahabat inilah solusi di saat umat menghadapi perselisihan, tidak ada jalan lain!
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun (ia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, ia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah, dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat. (H.R Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; ad-Darimi; Ahmad; dan lainnya dari al-‘Irbadh bin Sariyah).
Jika suatu istilah telah jelas maknanya menurut al-Kitab, as-Sunnah, sesuai dengan pemahaman para ulama Salaf, atau telah terjadi ijma`, maka seorang pun tidak boleh menyelisihinya dengan alasan makna bahasa.
Sebagai contoh, istilah rasul, secara bahasa artinya orang yang diutus. Sedangkan menurut istilah syara’ -menurut al-Kitab dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman ulama- rasul adalah seorang manusia, laki-laki, diberi wahyu syariat (yang baru), dan diperintah untuk menyampaikan kepada umatnya (orang-orang kafir). Dan rasul yang terakhir adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam [lihat: ar-Rusul war-Risalat, hlm. 14, 15, Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar; Al-Irsyad ila Shahihil Itiqad, hlm. 203, Syaikh Shalih al Fauzan].
Namun, ada sebagian orang yang menyimpang memiliki anggapan bahwa setiap mubaligh adalah rasul, dan rasul tetap diutus sampai hari Kiamat. Alasan yang dikemukakan ialah, karena secara bahasa, rasul artinya orang yang diutus. Pemahaman seperti ini adalah bid’ah, sesat dan menyesatkan [penulis pernah ikut membantah seorang mubaligh dari Gemolong, Sragen, Jawa Tengah, yang mengaku sebagai rasul. Dia beralasan, rasul artinya ialah orang yang diutus. Sedangkan orang ini mengaku sendiri, bila ia tidak mengerti bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya! Lihat juga Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, hlm. 32, Hartono Ahmad Jaiz].
Contoh lainnya, seperti istilah qurban, secara bahasa artinya mendekat, atau semua yang digunakan untuk mendekatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala [lihat Mu’jamul Wasith, Bab ق ر ب]. Sedangkan menurut istilah syara’, menurut al-Kitab dan as-Sunnah -sesuai dengan pemahaman ulama- qurban adalah binatang ternak yang disembelih pada hari raya qurban (10 Dzulhijjah) dan hari-hari tasyrik untuk mendekatkan diri kepada Allah [Al-Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz, hlm. 405, Syaikh Abdul ‘Azhim al Badawi, Penerbit Dar Ibnu Rajab, Cet. 3, Th. 1421H/2001M]. Tetapi, Kelompok al-Zaitun, dengan alasan arti qurban secara bahasa, kemudian mengusulkan dan mempraktekkan qurban dengan bentuk uang untuk membangun sarana pendidikan, dan manganggapnya sebagai qurban yang optimis dan berwawasan masa depan. Pemahaman seperti ini adalah bid’ah, sesat dan menyesatkan [lihat Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, hlm. 48, Hartono Ahmad Jaiz].
Ini sebagian contoh kasus tentang kesalahan memahami istilah agama Islam, karena semata-mata me-ruju` kepada arti bahasa. Kasus seperti ini sangat banyak. Semua ini menyadarkan kita tentang perlunya memahami al-Kitab dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih. Tentu pemahaman tersebut melalui para ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah, atau para ustadz yang dikenal kelurusan aqidah dan manhaj mereka, serta amanah mereka dalam menyampaikan ilmu agama. Hal itu dapat secara langsung berguru kepada mereka.
Semoga Allah selalu membimbing kita di atas jalan kebenaran.
Penulis: Abu Isma’il Muslim al Atsari
Artikel www.muslim.or.id

jagalah agama allah