Sungguh
sedih kita melihat sesama muslim masih ada saja yang saling mencela,
menghina, dan bahkan saling menuduh dan memfitnah saudaranya. Semuanya
terjadi dikarenakan adanya perbedaan pendapat yang masing-masing pihak
mengklaim pendapat kelompoknya yang paling benar sendiri.
Tidak sedikit diantara mereka terjebak
dalam perbuatan yang pada akhirnya hanya dapat menyakiti sesama umat
Islam. Dengan dalih “tidak pernah dicontohkan/dilakukan Rasulullah” atau
“tidak ada pada masa Rasulullah dan Sahabat” atau “tidak ada dalam
Qur’an dan Sunnah” atau “tidak ada dalilnya”, saudara-saudara kita
begitu mudahnya mengatakan ini bid’ah dan itu bid’ah terhadap saudaranya
sendiri sesama muslim. Mereka terus mempersoalkan persoalan yang
sebenarnya tidak perlu dipersoalkan. Terbenam dalam permasalahan yang
sebenarnya sudah tidak perlu dipermasalahkan.
Benarkah semua perkara baru yang tidak
pernah dicontohkan atau dilakukan atau tidak ada pada masa Rasulullah
dan Sahabat adalah bid’ah yang mana bid’ah itu sesat dan kesesatan akan
membawa kepada neraka tanpa ada perkecualian? Marilah berpikir sejenak
dengan pikiran yang jernih. Kita simak satu dari sekian banyak contoh
nyata yang mungkin akan membuka mata hati kita agar tidak mudah
melontarkan kata-kata bid’ah kepada sesamanya yang berlainan pendapat.
Perlu diketahui bahwa pada masa
Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan Khulafaur Rasyidin belum ada mushaf
al-Qur’an seperti yang ada sekarang ini. Pada saat itu al-Qur’an ditulis
dalam bahasa Arab yang belum ada tanda bacanya sebagaimana tulisan Arab
saat ini. Jangankan harakat fathah (baris atas), kasrah (baris bawah),
dhommah (baris depan), dan sukun (tanda wakaf, mati), bentuk serta tanda
titik-koma (tanda baca) saja tidak ada. Ilmu tajwid pun belum ada dan
bahkan Al-Qur’an juga baru dibukukan sepeninggal Rasulullah صلى الله
عليه وسلم.
Syukur Alhamdulillah, sekarang ini kita
bisa membaca huruf al-Qur’an dengan mudah. Tentu, tak bisa dibayangkan
bagaimana sulitnya membaca al-Qur’an andai hingga saat ini kalam Ilahi
itu masih ditulis dalam huruf Arab yang belum ada tanda bacanya
sebagaimana di zaman Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan Khulafaur
Rasyidin. Beruntung hal ini tidak terjadi. Semua itu tentunya karena
adanya peran dari sahabat Rasulullah, tabin, dan tabiit tabiin.
Sejarah berbicara pemberian tanda baca
(syakal) berupa titik dan harakat (baris) baru mulai dilakukan ketika
Dinasti Umayyah memegang tampuk kekuasaan kekhalifahan Islam atau
setelah 40 tahun umat Islam membaca al-Qur’an tanpa ada syakal.
Pemberian titik dan baris pada mushaf
al-Qur’an ini dilakukan dalam tiga fase. Pertama, pada zaman Khalifah
Muawiyah bin Abi Sufyan. Saat itu, Muawiyah menugaskan Abdul Aswad
Ad-dawly untuk meletakkan tanda baca (i’rab) pada tiap kalimat dalam
bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca.
Fase kedua, pada masa Abdul Malik bin
Marwan (65 H), khalifah kelima Dinasti Umayyah itu menugaskan salah
seorang gubernur pada masa itu, Al Hajjaj bin Yusuf, untuk memberikan
titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya. Misalnya, huruf
baa’ dengan satu titik di bawah, huruf ta dengan dua titik di atas, dan
tsa dengan tiga titik di atas. Pada masa itu, Al Hajjaj minta bantuan
kepada Nashr bin ‘Ashim dan Hay bin Ya’mar.
Pada masa Khalifah Abdul Malik bin
Marwan ini, wilayah kekuasaan Islam telah semakin luas hingga sampai ke
Eropa. Karena kekhawatiran adanya bacaan al-Qur’an bagi umat Islam yang
bukan berbahasa Arab, diperintahkanlah untuk menuliskan al-Qur’an dengan
tambahan tanda baca tersebut. Tujuannya agar adanya keseragaman bacaan
al-Qur’an baik bagi umat Islam yang keturunan Arab ataupun non-Arab
(‘ajami).
Baru kemudian, pada masa pemerintahan
Dinasti Abbasiyah, diberikan tanda baris berupa dhamah, fathah, kasrah,
dan sukun untuk memperindah dan memudahkan umat Islam dalam membaca
al-Qur’an. Pemberian tanda baris ini mengikuti cara pemberian baris yang
telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al Farahidy, seorang ensiklopedi
bahasa Arab terkemuka kala itu. Menurut sebuah riwayat, Khalil bin Ahmad
juga yang memberikan tanda hamzah, tasydid, dan ismam pada
kalimat-kalimat yang ada.
Kemudian, pada masa Khalifah Al-Makmun,
para ulama selanjutnya berijtihad untuk semakin mempermudah orang untuk
membaca dan menghafal al-Quran, khususnya bagi orang selain Arab, dengan
menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang berupa isymam, rum, dan mad.
Ilmu tajwid pun lahir karena hasil ijtihad para ulama masa itu.
Lalu mereka juga membuat tanda lingkaran
bulat sebagai pemisah ayat dan mencantumkan nomor ayat, tanda-tanda
wakaf (berhenti membaca), ibtida (memulai membaca), menerangkan
identitas surah di awal setiap surah yang terdiri atas nama, tempat
turun, jumlah ayat, dan jumlah ‘ain.
Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada
tulisan al-Quran adalah tajzi’, yaitu tanda pemisah antara satu Juz dan
yang lainnya, berupa kata ‘juz’ dan diikuti dengan penomorannya dan
tanda untuk menunjukkan isi yang berupa seperempat, seperlima,
sepersepuluh, setengah juz, dan juz itu sendiri.
Dengan adanya tanda-tanda tersebut, kini
umat Islam di seluruh dunia, apa pun ras dan warna kulit serta bahasa
yang dianutnya, mereka mudah membaca al-Quran. Ini semua berkat peran
para ulama di atas dalam membawa umat menjadi lebih baik, terutama dalam
membaca al-Quran.
Dalam Alquran surah Al-Hijr (15) ayat 9,
Allah berfirman, ”Sesungguhnya, Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an dan
Kami pula yang menjaganya.” Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian
dan kemurnian al-Qur’an selama-lamanya hingga akhir zaman dari
pemalsuan. Karena itu, banyak umat Islam, termasuk di zaman Rasulullah
صلى الله عليه وسلم, yang hafal al-Qur’an. Dengan adanya umat yang hafal
al-Qur’an maka al-Qur’an pun akan senantiasa terjaga hingga akhir zaman.
Selanjutnya, demi memudahkan umat
membaca al-Qur’an dengan baik, mushaf al-Qur’an pun dicetak
sebanyak-banyaknya setelah melalui tashih (pengesahan dari ulama-ulama
yang hafal al-Qur’an). Dan al-Qur’an pertama kali dicetak pada tahun
1530 Masehi atau sekitar abad ke-10 H di Bundukiyah (Vinece). Namun,
kekuasaan gereja memerintahkan agar al-Qur’an yang telah dicetak itu
dibasmi. Kemudian, Hankelman mencetak al-Qur’an di Kota Hamburg (Jerman)
pada tahun 1694 M atau sekitar abad ke-12 H. (Lihat RS Abdul Aziz,
Tafsir Ilmu Tafsir, 1991: 49). Kini, al-Qur’an telah dicetak di berbagai
negara di dunia. Alhamdulillah.
Pemeliharaan al-Qur’an tak berhenti
sampai di situ. Di sejumlah negara, didirikan lembaga pendidikan yang
dikhususkan mempelajari Ulum Alquran (ilmu-ilmu tentang Alquran). Salah
satu materi pelajaran yang diajarkan adalah hafalan al-Qur’an. Di
Indonesia, terdapat banyak lembaga pendidikan yang mengajak penuntut
ilmu ini untuk menghafal al-Qur’an, mulai dari pendidikan tinggi,
seperti Institut Ilmu Alquran (IIQ) hingga pesantren yang mengkhususkan
santrinya menghafal al-Qur’an, di antaranya Pesantren Yanbuul Quran di
Kudus (Jateng) dan Pesantren Darul Qur’an yang didirikan oleh KH Yusuf
Mansur.
Demi memotivasi umat untuk meningkatkan
hafalannya, kini diselenggarakan Musabaqah Hifzhil Quran (MHQ), dari
tingkatan satu juz, lima juz, 10 juz, hingga 30 juz. Adanya lembaga
penghafal al-Qur’an ini maka kemurnian dan keaslian al-Qur’an akan
senantiasa terjaga hingga akhir zaman.
Begitulah sekelumit sejarah al-Qur’an
hingga bisa seperti yang sekarang ini kita lihat. Dari yang sebelumnya
tidak ada tanda pembeda antara satu huruf dengan lainnya, tidak adanya
tanda baca, tanda baris, pemisah dan penanda seperti tajzi dan
sebagainya hingga seperti sekarang. Dan dengan ilmu tajwid hasil jerih
payah para ulama, kita bisa membaca al-Qur’an dengan lancar nan indah
seperti halnya orang-orang Arab.
Ketahuilah ini adalah perkara baru yang
sebelumnya tidak ada atau tidak dicontohkan apalagi dilakukan Rasulullah
صلى الله عليه وسلم. Justru dengan perkara baru ini kita bisa mengenal
Allah, mengenan Rasulullah, dan mengenal Islam. Selama perkara baru
tidak bertentangan dengan syariat Qur’an dan Sunnah maka tak perlu lah
kita memvonis ini bid’ah dan itu bid’ah. Perkara baru yang baik Insya
Allah akan mendatangkan kebaikan juga.
Jadi, masihkah kita sesama umat Islam saling sesat menyesatkan dan bid’ah membid’ahkan? Allah Maha Mengetahui.
Menurut sy, pemberian tanda" baca pada Qur'an, bukan bid'ah, krn tanda" itu tdk samaskali mengubah bunyi huruf" Qur'an. Dan sy yakin pula, bhw pemberian tanda baca itu, dilakukan oleh org" yg diberi petunjuk oleh Allah SWT.
BalasHapusMengenai amal ibadah yg dikerjakan, memang wajib ada dalilnya, sebab hukum asal ibadah itu tdk ada, sampai datangnya perintah dr Allah dan RasulNya. Rasulullah bersabda: amal ibadah yg tdk ada contohnya dr kami (Rasulullah dan Sahabat yg diberi petunjuk) berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, semuanya tertolak. Hal ini diperkuat dg sabda Rasulullah pd saat" terakhir Beliau: aku tinggalkan 2 perkara bagimu, yakni Al-Qur'an dan Sunnahku. Jika kalian berpegang teguh pd keduanya, kalian tdk akan tersesat. Semua ini menunjukkan wajibnya dalil dlm amal ibadah, untuk mencegah bid'ah (amal ibadah yg tdk ada dalilnya, di-buat", di-tambah"). Bid'ah, hanya berlaku dlm amal ibadah kepd Allah, sedangkan urusan dunia tdk termasuk.
Ibadah itu ada mahdah ada ghoiru mahdah, ibadah mahdah sudah jelas dalilnya. yang ghoiru mahdah masih banyak diributkan oleh sebagian kaum muslimin yang selalu mencari kesalahan orang lain
Hapus