IRasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam lanjutan hadits itu sendiri. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnah-ku, dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah (peganglah) sunnah tersebut dengan gerahammu. | Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam lanjutan hadits itu sendiri. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnah-ku, dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah (peganglah) sunnah tersebut dengan gerahammu. mam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad, semoga Allah memberikan rahmat kepada mereka semua. Imam Abu Hanifah berkata: ”Haram bagi seseorang mengemukakan pendapat kami, sampai dia mengetahui dari mana kami mengambilnya”. Dan Imam Malik, sambil memberikan isyarat ke arah makam Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sambil berkata : ”Semua orang, perkataannya bisa diambil dan bisa ditolak, kecuali perkataan orang yang ada di dalam kuburan ini,” yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Imam Syafi’i berkata : ”Jika ada hadits shahih, maka itulah madzhabku”. Pada suatu hari, datang kepadanya seseorang dan berkata: “Wahai, Imam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda begini dan begini (sambil menyebutkan hadits) dalam masalah ini. Lalu, apa pendapatmu, wahai Imam?” Maka Imam Syafi’i marah besar dan berkata : ”Apakah engkau melihat saya keluar dari gereja? Apakah engkau melihatku keluar dari tempat peribadatan orang Yahudi? Engkau menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka aku tidak berkata apa pun, kecuali seperti apa yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam“. Karena itulah, salah satu muridnya yang bernama Yunus bin Abil A’la Ash Shadafi dalam satu majelis pernah ditanya tentang satu masalah. Maka dia menjawabnya dengan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu ada yang bertanya : ”Apa pendapat Imam Syafi’i dalam masalah tersebut?” Beliau menjawab: ”Madzhab Imam Syafi’i ialah hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena saya pernah mendengar beliau berkata : ”Jika ada hadits shahih, maka itulah madzhabku”. Begitu pula Imam Ahmad, beliau adalah orang yang selalu mengikuti atsar dan dalil. Beliau tidak pernah berhujjah, kecuali dengan dalil dari firman Allah atau sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian ini merupakan kewajiban bagi seorang alim, mufti dan orang yang meminta fatwa. Karena Allah memerintahkan orang-orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya. فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan jika kalian tidak mengetahui. [An Nahl : 43]. Akan tetapi, (sebagian) kaum muslimin berhenti sampai ayat ini saja. Mereka lupa dan tidak melanjutkan ayat tersebut. Padahal kelanjutan dari ayat tersebut adalah : بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ Dengan keterangan-keterangan dan kitab-kitab. [An Nahl : 44]. Maksudnya, jika Anda tidak mengetahui, maka bertanyalah kepada orang yang mengetahui dengan disertai dalil, hujjah dan bukti-bukti. Itulah makna firman Allah : بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ Agama dan hukum Allah tidak diambil kecuali berdasarkan keputusan (ijma’), penjelasan dan kaidah-kaidah para ulama yang dilandasi dengan dalil-dalil syar’i. Dari situ, tumbuhlah persatuan. Persatuan yang wajib digalang oleh kaum muslimin harus bertumpu pada tauhid dan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Persatuan secara fisik yang kita serukan harus didahului oleh persatuan atau kesamaan pemahaman. Pemahaman kita harus dilandasi dengan tauhid dan ittiba’ hanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan inilah makna dari firman Allah. أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ Tegakkanlah agama dan jangan kalian berpecah belah tentangnya. [Asy Syura : 13]. Allah melarang kita berpecah-belah, dan jangan sampai ada sesuatu yang memecah-belah kita. Allah juga melarang kita meninggalkan Al Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberitahukan kepada kita, bahwa pada akhir jaman nanti akan ada beberapa kaum yang mengingkari Sunnah. “Aku akan mendapati salah satu dari kalian bersandar di atas kursinya sambil berkata “Dihadapan kita ada Kitab Allah. Jika kita mendapatkan sesuatu yang halal di dalamnya, maka kita akan halalkan. Dan jika kami menemukan sesuatu yang haram, maka kami haramkan”. Ketauhilah, bahwa aku telah diberi sesuatu yang sama dengan Al Qur’an”. [HR Abu Daud dan Tirmidzi]. Kedudukan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sama dengan Al Qur’an. Di dalamnya disebutkan hal-hal yang halal dan haram. Orang yang mengingkari Sunnah, hukumnya kafir, keluar dari agama. Orang yang mengingkari Sunnah, berarti mengingkari Al Qur’an. Kita lihat, bagaimana Al Qur’an bisa sampai kepada kita? Al Qur’an sampai kepada kita dari generasi ke generasi. Para tabi’in mengambilnya dari para sahabat, dan para pengikut tabi’in mengambilnya dari para tabi’in. Begitu seterusnya, sehingga Al Qur’an bisa sampai kepada kita. Pada masa-masa terakhir ini, telah terjadi perbedaan. Kami menemukan beberapa kaum di antara mereka ada yang mengingkari Sunnah. Di antara mereka ada yang membacanya dengan niat mencari barakah dan tidak beramal dengan sunnah. Ada sebagian orang, yang sama sekali tidak perduli sama sekali dengan Sunnah, dan dia beranggapan bahwa yang dimaksud dengan Sunnah adalah satu hukum yang tidak ada sangsinya. Demikian ini merupakan dugaan yang salah. Sebab, para ulama, jika mengatakan “Sunnah” secara mutlak, maka maknanya tidak lepas dari dua hal. Pertama : Sunnah, sebagai sumber syari’at (hukum). Dalam hal ini, kedudukan Sunnah sama dengan Al Qur’an, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : أَلاَ إِنِّي أُوْتِيْتُ الكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ Kedua : Sunnah yang berarti sebagai salah satu hukum syar’i yang lima, yang berada di bawah wajib dan di atas mubah. Berdasarkan (makna) yang kedua ini, pelakunya akan diberi pahala, dan yang meninggalkannya tidak mendapat sangsi. Jika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk mengambil dalil yang benar, maka lebih baik dia mengikuti jalan para sahabat, karena kebaikan hanya dari jalan mereka. Kemudian kebaikan ini diriwayatkan dan diambil oleh para tabi’in. Akan tetapi, pada jaman tabi’in, kebaikan tersebut tercampuri dengan noda dan bid’ah yang mulai muncul. Sehingga, muncullah kelompok-kelompok seperti Rafidhah, Qadariyah dan kelompok-kelompok sesat lainnya. Padahal, kebanyakan orang umumnya masih berada di atas kebaikan tersebut. Seiring dengan perjalanan waktu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan tentang keterasingan agama ini. beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya agama (Islam) muncul dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing. Maka keberuntungan bagi orang-orang yang asing. Ditanyakan kepada nabi n : “Siapa mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab : “Sekelompok orang yang sedikit, yang berada di kalangan orang yang banyak. Mereka memperbaiki Sunnah-ku yang telah dirusak oleh orang.” [HR Tirmidzi] Oleh karenanya, ketika Imam Ahmad mendengar seseorang berkata – saat fitnah banyak bermunculan, di antaranya bid’ah yang menyatakan Al Qur’an adalah makhluk dan fitnah lainnya, : “Ya, Allah. Matikanlah aku di atas Islam.” Maka Imam Ahmad berkata kepadanya : ”Katakanlah, ‘Ya, Allah. Matikanlah aku di atas Islam dan Sunnah’.” Kita memohon dan berdo’a kepada Allah, semoga kita dimatikan di atas Islam dan Sunnah, dan semoga kata-kata terakhir dalam hidup kita ialah laa ilaaha illallah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga memberitahukan kepada kita, bahwa setiap satu jaman berlalu dan datang jaman lain, maka semakin berat fitnah yang melanda umat ini dan perpecahan akan semakin nampak. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm berkata kepada sahabatnya : فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي – أي من يطول به العمر- فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا Sesungguhnya, barangsiapa yang hidup di antara kalian (panjang umurnya), maka dia akan mendapatkan perbedaan yang sangat banyak. [HR Abu Daud]. Perpecahan tersebut telah terjadi, dan ini adalah penyakit. Dan tidak ada satu penyakit, (kecuali) pasti ada obatnya. Obat dari penyakit ini, ialah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam lanjutan hadits itu sendiri. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnah-ku, dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah (peganglah) sunnah tersebut dengan gerahammu. Jadi, Sunnah para khulafa’ dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah satu. Karena itulah Rasulullah n bersabda : فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي , lalu setelah itu Beliau berkata “عَضُّوْا عليها” dengan lafazh satu (tersirat dalam sabda beliau ini bahwa sunnah Rasulullah dan sunnah khulafa’ Ar Rasyidin adalah satu –red) dan tidak berkata “عَضُّوْا عَلَيْهِمَا” (gigitlah keduanya, maksudnya peganglah ia dengan sekuat-kuatnya). Pada hakikatnya, semua ini merupakan agama Allah. Karena, sebagaimana Allah memilih Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai utusanNya dari kalangan manusia, maka Allah juga memilih untuk nabiNya sahabat-sahabat yang pilihan. Allah mengutus Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada mereka untuk mengajar dan membersihkan mereka, sebagaimana yang telah Allah firmankan : هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ Dia-lah yang mengutus kepada umat yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membaca ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya berada dalam kesesatan yang nyata. [Al Jumu’ah : 2]. Orang yang mencela Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, berarti dia telah mencela Allah. Orang yang mencela sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sungguh dia telah mencela Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Agama ini adalah dari Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pemahaman para salaful umah, dari para sahabat dan tabi’in, seperti difirmankan Allah. وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mukminin, Kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. [An Nisaa’: 115]. Yang dimaksud jalan orang-orang mukminin, ialah para sahabat dan orang-orang yang berjalan di atas jalan mereka dari kalangan para tabi’in dan pengikut tabi’in sampai hari kiamat tiba. Keberadaan mereka, akan terus ada sampai hari kiamat datang, seperti yang akan kita jelaskan, insya Allah. Agama ini adalah agama yang nilai-nilainya dipraktekkan, bukan agama filsafat atau teori semata. Agama ini telah tegak pada masa-masa yang lalu, sejak zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, era sahabat dan para tabi’in. Apa yang menjadi agama pada masa itu, maka pada sekarang ini, hal tersebut juga merupakan bagian dari agama. Dan jika pada zaman mereka ada satu hal yang bukan dari agama, maka sekarang ini, hal tersebut juga bukan termasuk dari agama yang dicintai dan diridhai Allah. Agama ini adalah Kitab Allah, dan Kitab Allah memerintahkan agar kita mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan Rasulullah, memerintahkan kita untuk mengikuti sahabat Rasulullah. Ini semua dicintai dan diridhai Allah. Begitulah yang difahami Imam Syafi’i dan ulama lainnya. (Suatu waktu), Imam Syafi’i datang ke Masjidil Haram di Mekkah untuk menunaikkan ibadah haji. Beliau duduk dan berkata kepada orang-orang yang ada : “Tanyalah kepadaku. Tidak ada orang yang bertanya tentang sesuatu kepadaku, kecuali aku akan menjawabnya dengan Kitabullah”. Maka ada orang awam berdiri dan bertanya : “Wahai, imam. Ketika aku masuk Masjidil Haram, aku menginjak dan membunuh satu serangga. Padahal orang yang dalam keadaan ihram tidak boleh membunuh sesuatu. Akan tetapi, aku telah membunuh seekor serangga. Apa jawabannya dari Kitabullah ?”. Setelah memuji Allah dan shalawat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Imam Syafi’i berkata : Allah berfirman : Apa-apa yang telah diperintahkan Rasul, maka haruslah kalian mengambilnya. [Al Hasyr:8]. Sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnah-ku dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. [HR Abu Daud] Dan di antara Khulafaur Rasyidin adalah Umar bin Khaththab. Kemudian beliau membawakan sebuah riwayat bahwa ada seseorang bertanya kepada Umar bin Khaththab tentang seseorang yang membunuh seekor serangga dalam keadaan ihram. Maka Umar menjawab, ”Tidak ada denda (sangsi) apa pun atas kamu”. Maka Imam Syafi’i berkata : “Jawabanku dari Kitabullah, wahai orang yang berbuat (seperti) itu, sesungguhnya engkau tidak mendapat sangsi apapun. Itulah jawaban dari kitab Allah.” Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menceritakan kepada kita, bahwa akan terjadi perpecahan pada umat ini. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga menjelaskan, Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, Nashara akan terbagi menjadi 72 golongan. Dan kaum muslimin, akan terpecah menjadi 73 kelompok. Rasulullah kemudian berkata, semua kelompok itu –semuanya- akan masuk ke dalam neraka, kecuali satu kelompok saja. Ditanyakan kepadanya: “Siapa mereka, wahai Rasulullah?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Yaitu orang-orang yang berada di atas jalanku dan jalan para sahabatku pada hari ini.” Perpercahan itu juga telah dijelaskan oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Para sahabat benar-benar menekuni agama ini dengan amalan nyata. Karena sesuatu yang bersifat teori, akal dan pemahaman bisa berbeda-beda. Namun, jika berbentuk praktek dan amalan, maka itu merupakan hal yang terbaik dalam menafsirkan firman Allah dan ucapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam . Perbedaan seperti ini sudah ada ketika muncul para imam dan Daulah Islam. Para fuqaha (ahli fiqih) jatuh ke dalam perbedaan tersebut. Namun perbedaan yang terjadi pada di kalangan mereka memiliki ketentuan-ketentuan dan kaidah-kaidah yang sesuai dengan syar’i, sehingga tidak ada saling mencela dan perpecahan. Para fuqaha, terutama para imam yang empat, mereka saling mencintai. Kita juga harus mencintai mereka, berlepas diri dari orang-orang yang mencela mereka. Namun kita juga yakin, di antara mereka, tidak ada satu pun yang ma’shum. Semoga Allah memberikan rahmatNya kepada mereka. Akan tetapi, setelah itu, pada masa akhir-akhir ini muncul fanatisme dan taqlid buta kepada imam-imam tersebut. Sehingga ada sebagian orang yang bermadzhab Syafi’i berkata, bahwa orang yang bermadzhab Syafi’i tidak boleh menikah dengan wanita yang bermadzhab Hanafi. Dan orang yang bermadzhab Hanafi tidak boleh menikah dengan wanita yang bermadzhab Syafi’i. Sehingga terjadilah fanatisme yang tercela dan taqlid buta yang tidak dicintai dan diridhai Allah. Umat ini terpecah dengan perpecahan yang sangat dahsyat. Setiap golongan umat ini tidak beribadah kepada Allah, kecuali dengan madzhab satu imam. Kemudian pemahaman agama hanya diambil dari catatan-catatan dan buku-buku ulama terdahulu tanpa kembali kepada dalil-dalil yang syar’i. Sehingga semakin menambah perbedaan dan perpecahan umat ini, karena persatuan tidak akan mungkin terwujud kecuali jika dilandasi dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seiring dengan bergulirnya waktu, maka perbedaan yang ada semakin keras dan dahsyat. Ketika kekuatan dan kekuasaan Islam hilang, muncul sekelompok orang yang ingin memperbaiki keadaan dan mendirikan agama ini. Masing-masing kelompok menempuh metode tersendiri, sehingga terjadi perpecahan dan perbedaan yang tajam di antara mereka. Padahal ahlul haq (orang-orang yang berada di atas kebenaran) masih ada. Dan sebelumnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menceritakan tentang orang-orang tersebut dalam haditsnya : لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ Masih akan terus ada satu kelompok pada umatku, mereka akan tetap berada di atas kebenaran sampai hari kiamat datang. [HR Bukhari dan Muslim]. Pada asalnya, kaum muslimin harus menjadi umat yang bersatu di atas tauhid dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seperti yang telah kami jelaskan. Dan juga, satu sama lain harus saling mencintai karena agama Allah. Ketika terjadi perselisihan antara seorang Muhajirin dan seorang Anshar, dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar orang Anshar berkata “Wahai orang-orang Anshar!” dan yang Muhajirin berkata “Wahai orang-orang Muhajirin!” Sebutan Muhajirin dan Anshar adalah dua nama yang syar’i dan dicintai Allah. Allah telah menyebutkan dalam KitabNya, artinya : Dan orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan, maka Allah telah ridha kepada mereka dan mereka juga telah ridha kepada Allah. [At Taubah : 100] Namun ketika terjadi perbedaan antara keduanya dan masing-masing memanggil kelompoknya, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada mereka : “Apakah kalian melakukan adat jahiliyah, padahal aku berada di tengah-tengah kalian?” Sabda Beliau “kalian telah melakukan adat jahiliyah” ini ditujukan kepada orang yang mengatakan “Wahai orang-orang Anshar” dan yang berkata ”Wahai orang-orang Muhajirin”. Jadi, seharusnya umat ini bersatu dan menjadikan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah n sebagai penentu hukum di antara mereka. Keduanya adalah agama yang diamalkan oleh para sahabat. Mengamalkan agama dengan pemahaman dan amalan para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Orang-orang yang mengikuti para sahabat akan terus ada, seperti disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ Masih akan terus ada satu kelompok pada umatku, mereka akan tetap berada di atas kebenaran sampai hari kiamat datang. Hadits ini harus kita cermati. Dengan memahaminya, maka orang akan merasa tenang, tidak goncang dan bingung. Hadits ini penting. Berikut penjelasannya: Pertama : Disebutkan di dalamnya “masih akan terus ada”, yang artinya “tidak akan terputus”. Maka siapa pun yang mengajak kepada kebenaran, lalu dakwahnya sampai kepada seorang tertentu, dan sebelumnya tidak ada kelompok atau jama’ah kecuali setelah orang tersebut muncul, maka dia tidak termasuk di dalam hadits ini. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : ”Masih akan terus ada pada umatku”. Dan ahlul haq tidak pernah mengajak, kecuali kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pemahaman para salafush shalih. Kelompok yang disebutkan Rasulullah n ini akan terus ada dan memiliki sanad (jalur periwayatan) yang sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kedua, sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam “akan tetap eksis atau menang”. Ini tidak berarti mereka haruslah golongan yang kuat atau menang dengan kekuatan materi. Akan tetapi, mereka tetap menang dengan hujjah, dalil, keterangan, penjelasan dan kaidah-kaidah para ulama. Mereka tetap teguh di atas kebenaran. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan tentang keadaan mereka dalam sabdanya : لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ Tidak mempengaruhi mereka orang-orang yang tidak memperdulikan mereka. Dan dalam riwayat Musnad Imam Ahmad: إِلاَّ لَعْوَاءُ تُصِيْبُهُمْ (Kecuali jika musibah yang menimpa mereka). Maka kelompok manapun, di negeri manapun, dan kapanpun mereka berada sementara musuh-musuh mereka berhasil mengecilkan nyali dan menekan mentalnya, maka mereka ini bukan yang termasuk dalam hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata “tidak mempengaruhi mereka orang-orang yang mencela dan mengganggu mereka”. Kelompok yang disebutkan ini adalah yang berada di atas agama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Kelompok tersebut akan menjadi kelompok yang mendapat pertolongan dan akan menggenggam masa depan yang bagus. Allah telah menceritakan dalam KitabNya, dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam Sunnah-nya yang shahih, bahwa masa depan akan menjadi milik agama ini. Dan agama ini akan menang dan merambah seluruh wilayah. Barangsiapa yang menduga bahwa Allah tidak akan menolongnya (Muhammad) di dunia dan akhirat, maka hendaknya dia merentangkan tali ke langit, kemudian hendaklah ia melaluinya, kemudian hendaklah dia pikirkan apakah tipu dayanya itu dapat melenyapkan apa yang menyakitkan hatinya. [Al Hajj : 15]. Makna ayat ini (ialah): Wahai, seluruh manusia. Barangsiapa yang menduga Allah tidak akan menolong Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan agamanya, maka lebih baik dia menggantung dirinya dengan tali di atap rumahnya, lalu membunuh dirinya. Karena Allah benar-benar menolong Nabi dan agamaNya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm pernah ditanya : “Kota manakah yang lebih dulu dibebaskan, Qostantiniyah (Konstantinopel yaitu di Turki) atau Roma (ibukota Italia)?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : “Qostantiniyah) dahulu, kemudian Roma.” Dan (Qostantiniyah) telah dibebaskan semenjak tahun 1543M, dibebaskan lebih dari 800 tahun setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan kabar tersebut dalam haditsnya. Dan kita sedang menunggu penaklukkan kota Roma, sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tsauban : سَتَكُوْنُ فِيْكُمْ النُّبُوَّةُ مَاشَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ تَنْقَضِي, ثُمَّ تَكُوْنُ فِيْكُمْ خِلاَفَةٌ رَاشِدَةٌ مَاشَاءَ اللهُ لَهَا أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ تَنْقَضِي, ثُمَّ يَكُوْنُ فِيْكُمْ مُلْكٌ مِيْرَاثِي مَاشَاءَ اللهُ لَهُ أَنْ يَكُوْنَ ثُمَّ يَنْقَضِي, ثُمَّ يَكُوْنُ لَكُمْ مُلْكٌ عَضُوْدِي –ملك جبري –مَاشَاءَ اللهُ لَهُ أَنْ يَكُوْنَ ثُمَّ يَنْقَضِي , ثُمَّ تَكُوْنُ فِيْكُمْ خِلاَفَةٌ عَلَى نَـهْجِ النُّبُوَّةِ Akan datang pada kalian masa kenabian sesuai dengan kehendak Allah, setelah itu habis masanya. Lalu akan datang zaman Khilafah Rasyidah sesuai dengan kehendak Allah, lalu setelah itu habis masanya. Lalu datang masa kerajaan yang turun menurun sesuai dengan kehendak Allah, lalu setelah itu habis masanya. Lalu datang masa kerajaan dengan cara paksaan (peperangan) dengan kehendak Allah berdiri, lalu setelah itu habis masanya. Kemudian datang masa Khilafah yang berada di atas jalan kenabian. Di samping Allah mempersiapkan segala sesuatunya untuk pendirian khilafah yang berada di atas jalan kenabian tersebut, Allah juga mempersiapkan sebab-sebabnya. Di antara sebabnya, adalah Allah memberikan kemudahan kepada para ulama untuk menjelaskan hadits-hadits shahih dan jalan para salafush shalih dari umat ini. Para imam-imam (ulama) tersebut yang diawali oleh Bukhari, lalu Muslim, Nasaa-i, Abu Dawud dan Ibnu Majah. Mereka semua bukanlah dari golongan bangsa Arab. Bukhari dari negeri Bukhara, Muslim dari Naisabur, Nasaa-i dari Nasaa’, Abu Dawud dari Sijistan, Ibnu Majah dari Qozwin. Mereka semua adalah orang ajam (bukan Arab). Mereka adalah para ulama hadits, muncul setelah masa para imam empat, (yaitu): Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad. Pada zaman para fuqaha, Sunnah belum dibukukan dalam satu buku, namun setelah zaman mereka. Kemudian Allah menurunkan keutamaanNya untuk kita di negeri Syam dengan munculnya Syaikh Imam dalam ilmu hadits (yaitu) Abu Abdir Rahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh Najati Al Albani. Beliau datang dari negeri Albania, dibawa hijrah oleh ayahnya ke Damaskus guna menjaga agamanya. Kemudian diusir dari Damasqus, lalu menuju ke Yordania. Beliau tinggal (disana) lebih dari 50 tahun. Setiap hari selama lebih dari 18 jam, beliau melakukan penelitian terhadap hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , baik dari buku-buku cetakan atau dari manuskrip-manuskrip kuno. Selama itu, beliau mengarang dan menjelaskan hadits-hadits Nabi . Setelah itu, dengan keutamaan Allah, muncul ulama-ulama sunnah di negeri-negeri kaum muslimin. Mereka mengajak untuk kembali kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah para sahabatnya. Inilah tanda-tanda khilafah yang telah diceritakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang akan kembali kepada umat ini, Insya Allah. Khilafah tersebut berada di atas jalan kenabian, jalan para sahabat dan tabi’in yang datang setelah Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh sebab itu, wahai saudara-saudaraku! Jika ingin menolong dan menyebarkan agama kita, maka kita harus mempelajari Al Qur’an. Karena dengan menghafal dan menjaganya, hati akan menjadi mulia. Dengan memahami dan mentadabburinya (menghayatinya), akal pikiran menjadi mulia. Kita juga harus menghafal dan menjaga hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , atsar para sahabat dan tabi’in. Mengetahui perkataan-perkataan mereka dalam menghukumi masalah-masalah. Kita juga harus selalu mempelajari agama Allah dengan dalil-dalilnya yang syar’i dan shahih. Kita jangan bersikap fanatik kepada seseorang, madzhab, kelompok dan jama’ah. Kita harus bersikap lembut, memberi nasihat, menunjukkan rasa cinta kepada saudara-saudara kita yang terjerumus ke dalam jurang fanatisme terhadap satu kelompok. Jika kamu menolak nasihat kami, maka jangan kamu berikan semua akalmu kepada yang engkau ikuti, teapi sisakan sedikit, agar kamu bisa bertadabbur dan berpikir. Jika kamu merasa berat untuk melihat kebenaran kecuali dari tempat yang sempit dan kamu merasa tertahan di tempat tersebut, maka hendaklah kamu menjaga kunci tempat tersebut di tanganmu atau di sakumu; jangan engkau buang jauh dan jangan berikan kepada orang lain. Karena, jika pada suatu saat kamu mengetahui mana yang benar, maka kamu bisa keluar dari tempat tersebut dalam keadaan tenang dan bebas. Dan kamu bisa melihat kebenaran dari tempat yang luas dengan dalilnya yang shahih dan syar’i. Akhirnya, engkau akan berjalan di atas jalan para ulama. Dan ketahuilah dengan seyakin-yakinnya, wahai saudara-saudaraku! Sesungguhnya akhir umat ini tidak akan menjadi baik, kecuali jika mencontoh umat yang pertama. Tidak ada jalan untuk memperbaiki umat ini, kecuali dengan jalan para ulama, duduk di majlis para ulama, mempelajari agama dengan pemahaman mereka dan mengamalkannya, kemudian menyebarkannya. Maka dengan itu, kaum mukminin akan bergembira dengan pertolongan dari Allah. Saya mengharap kepada Allah, agar kita dijadikan dari salah satu sebab ditolongnya agama ini, dan sebab penyebarluasan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Semoga Allah memberikan manfaat kepada kita dan menjadikan kita berguna bagi orang lain, juga menjadikan apa yang telah kita katakan dan kita dengar ini menjadi hujjah (pembela) untuk kita, bukan penggugat diri kita. Semoga Allah menjadikan itu semua sebagai timbangan kebaikan kita, dan menjadikan timbangan kita berat karenanya, Insya Allah. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang larangan taqld dan fanatisme , silahkan klik Di Sini Oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun IX/1426H/2005M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296] _______ Footnote [1]. Naskah ini diangkat dari ceramah Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman di Universitas Islam Negeri Malang, pada tanggal 7 Desmber 2004. Ditranskrip ulang dan diterjemahkan oleh al akh Nashiruddin. Ta'asshub atau Fanatisme. Ta'asshub atau yang dikenal fanatic kepada perorangan atau kelompok tertentu, hal tersebut terjadi ditengah-tengah masyarakat dan tidak bisa dipungkiri bahwa manusia termasuk kaum muslimin hidup dengan latar belakang yang berbeda-beda, termasuk latar belakang kelompok, baik karena kesukuan, kebangsaan maupun golongan-golongan berdasarkan organisasi maupun paham keagamaan dan partai politik, hal ini disebut dengan ashabiyah. Para sahabat seringkali dikelompokkan menjadi dua golongan, yakni Muhajirin (orang yang berhijrah dari Makkah ke Madinah) dan Anshar (orang Madinah yang memberi pertolongan kepada orang Makkah yang berhijrah). Pada dasarnya golongan-golongan itu tidak masalah selama tidak sampai pada fanatisme yang berlebihan sehingga tidak mengukur kemuliaan seseorang berdasarkan golongan, hal ini karena memang Allah Swt mengakuinya, hal ini terdapat dalam firman Allah yang artinya: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS 49:13). Manakala seseorang memiliki fanatisme yang berlebihan terhadap golongan sehingga segala pertimbangan dan penilaian terhadap sesuatu berdasarkan golongannya, bukan berdasarkan nilai-nilai kebenaran, maka hal ini sudah tidak bisa dibenarkan, inilah yang disebut dengan ashabiyah yang sangat dilarang di dalam Islam, apalagi bila seseorang sampai mengajak orang lain untuk bersikap demikian, lebih-lebih bila seseorang siap mati untuk semua itu, maka Rasulullah Saw tidak mau mengakui orang yang demikian itu sebagai umatnya, hal ini terdapat dalam hadits Nabi Saw: لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا اِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ Bukan golongan kami orang yang menyeru kepada ashabiyah, bukan golongan kami orang yang berperang atas ashabiyah dan bukan golongan kami orang yang mati atas ashabiyah (HR. Abu Daud) |
IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA'
Sumber Hukum Islam
Kata-kata
“Sumber Hukum Islam’ merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir al-Ahkâm.
Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang
ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan
arti ‘sumber hukum Islam’, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah.
Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu
yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-Syar’iyyah.
Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syara’ yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum’.
Sumber
hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada
yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang
disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para
Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al
Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).
Sedangkan
sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama
selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân, maslahah
mursalah, istishâb, ‘‘uruf, madzhab as-Shahâbi, syar’u man qablana.
Dengan
demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang
disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan. Wahbah
al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam
sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara’i.
Sebagian
ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu
sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan
sebagai metode ijtihad.
Keempat
sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah,
Ijma’ dan Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari
Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman.
عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ:”كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟”، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟”قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟”قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو، قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ:”الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ”
“Dari
Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi
bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia
berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak
terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah
Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul
Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam
ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala
puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa
yang diridhai Rasulullah Saw”.
Hal
yang demikian dilakukan pula oleh Abu Bakar ra apabila terjadi kepada
dirinya perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika ia
temui hukumnya maka ia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab
Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah Saw,, ia pun
berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul
Saw, ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia
sepakat dengan pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan.
A. IJTIHAD
PENGERTIAN IJTIHAD (اجتهاد)
adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh atau mencurahkan segala
kemampuan (jahada). Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk
berupaya atau berusaha yang bersungguh-sungguh., yang sebenarnya bisa
dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk
memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis
dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun pada
perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya
dilakukan para ahli agama Islam.
Menurut
Dr. Wahbah az Zuhaili, ijtihad adalah perbuatan istimbath hukum
syari`at dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syari`at.
Imam
al Ghazali, mendefinisikan ijtihad dengan ”usaha sungguh-sungguh dari
seorang mujtahid dalam rangka mengetahui hukum-hukum syari`at”.
Sedangkan menurut Imam Syafi`i, arti sempit ijtihad adalah qiyas.
TUJUAN IJTIHAD adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
JENIS-JENIS IJTIHAD
Ijma'
artinya sepakat yakni sepakat para ulama dalam menetapkan suatu hukum
hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara
yang terjadi. Adalah sepakat bersama yang dilakukan oleh para ulama
dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil
dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli
agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
Ijma’ dalam istilah ahli ushul
Ijma’
dalam istilah ahli ushul adalah sepakat semua para mujtahid dari kaum
muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara'
Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya sepakat para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’ .
‘Kesepakatan’ itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:
1.
Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila
keberadaanya hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena
‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati
antara satu dengan yang lain.
2.
Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu
masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang
disepakati atas hukum syara’ hanya para mujtahid haramain, para mujtahid
Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka
secara syara’ kesepakatan khusus ini tidak disebut Ijma’. Karena ijma’
tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di
dunia Islam dalam suatu masa.
3.
Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang
mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan,
fatwa atau perbuatan.
4.
Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika
sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang
‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah
yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak
itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.
Kehujjahan Ijma’
Apabila
rukun ijma’ yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan menghitung
seluruh permasalahan hukum pasca kematian Nabi Saw dari seluruh mujtahid
kaum muslimin walau dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok mereka
yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak setiap mujtahid
mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan perkataan maupun
perbuatan baik secara kolompok maupun individu.
Selanjutnya
mereka mensepakati masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu
disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib diikuti dan tidak mungkin
menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum
masalah ini (yang sudah disepakati) garapan ijtihad, karena hukumnya
sudah ditetapkan secara ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak
dapat dihapus (dinasakh).
Qiyas
artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum
suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun
memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan
perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas
sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum
ditetapkan pada masa-masa sebelumnya
Beberapa definisi qiyâs (analogi)
1. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.
2. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan di antaranya.
3. Tindakan
menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an]
atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).
Qiyas
menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya
dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi
lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya
dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat
hukum.
Dengan
demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang
serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama
pula.
Berhubung
qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham
dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi
tiga kelompok:
1.
Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada
hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat
shahabt maupun ijma ulama.
2.
Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak
menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan
tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap
alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai
dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash
semata.
3.
Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai
hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu,
kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al
Qur’an dan hadits.
Kehujjahan Qiyas
Jumhur
ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan
termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila
tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’
dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan
persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi
hukum syar’i.
Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
“Dia-lah
yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari
kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak
menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa
benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah;
Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak
mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka;
mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan
tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi
pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.59:2)
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (Qs.4:59)
Ayat
di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali
kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah
perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang
sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat
diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.
Sementara
diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn
Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya
oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya
qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad.
Sedangkan
dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat
Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan
tanpa seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu,
perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah
dan wajib diamalkan.
Umpamanya,
bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia
berkata: “Saya katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika
(pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan.
Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak
maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah
sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki
bapak dan anak.
Dalil
yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt
mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan
manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua,
bahwa nash baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final.
Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah
selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum
syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap
berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang
kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang
tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah.
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:
1. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.
2. Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.
3.
Hukm al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam
hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.
4. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.
Istihsan
Beberapa definisi Istihsân
1. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
2. Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya
3. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
4. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
5. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya.
Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentinagn umat.
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.
Adalah
tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan
masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan
aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan
MUJTAHID DAN SYARAT-SYARATNYA
Mujtahid ialah orang yang berijtihad. Membicarakan syarat-syarat mujtahid berarti juga membicarakan syarat-syarat ijtihad.
Imam al Ghazali menyatakan mujtahid mempunyai dua syarat :
- Mengetahui dan menguasai ilmu syara, mampu melihat yang zhanni di dalam hal-hal yang syara dan mendahulukan yang wajib.
- Adil, menjauhi segala maksiat yang mencari sifat dan sikap keadilan (`adalah).
Menurut Asy Syathibi, seseorang dapat diterima sebagai mujtahid apabila mempunyai dua sifat :
- Mengerti dan paham akan tujuan syari`at dengan sepenuhnya, sempurna dan menyeluruh.
- Mampu melakukan istimbath berdasarkan faham dan pengertian terhadap tujuan-tujuan syari`at tersebut.
Menurut
Dr. Wahbah az Zuhaili mujtahid mempunyai dua syarat yaitu Mengetahui
apa yang ada pada Tuhan dan mengetahui/percaya adanya Rasul & apa
yang dibawanya juga mukjizat-mukjizat ayat-ayat-Nya.
Al-Syatibi berpendapat bahwa mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
Syarat pertama, memiliki pengetahuan stentang Al Qur’an, tentang Sunnah, tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.
Selain
itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu
memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh
karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah.
Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid
kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid
al-syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik
kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid
al-Syariah.
TINGKATAN MUJTAHID
1. Mujtahid
mutlaq, yaitu seorang mujtahid yang mampu memberikan fatwa dan
pendapatnya dengan tidak terikat kepada madzhab apapun. Contohnya
Maliki, Hambali, Syafi`i, Hanafi, Ibnu Hazhim dan lain-lain.
2. Mujtahid
muntasib, yaitu orang yang mempunyai syarat-syarat untuk berijtihad,
tetapi ia menggabungkan diri kepada suatu madzhab dengan mengikuti jalan
yang ditempuh oleh imam madzhab tersebut.
MACAM-MACAM IJTIHAD
Dr. ad Dualibi, sebagaimana dikatakan Dr. Wahbah (h. 594), membagi ijtihad kepada tiga macam;
Al Ijtihadul Bayani, yaitu menjelaskan (bayan) hukum-hukum syari`ah dari nash-nash syar`i.
Al
Ijtihadul Qiyasi, yaitu meletakkan (wadl`an) hukum-hukum syari`ah untuk
kejadian/peristiwa yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah,
dengan jalan menggunakan qiyas atas apa yang terdapat dalam nash-nash
hukum syar`i.
Al
Ijtihadul Isthishlahi, yaitu meletakkan hukum-hukum syari`ah untuk
kejadian/peristiwa yang terjadi yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan
Sunnah menggunakan ar-ra`yu yang disandarkan atas isthishlah.
B. TAQLID
Secara bahasa taqlid berasal dari kata قَلََّدَ (qallada) – يُقَلِّدُ(yuqollidu) – تَقْلِيْدًا(taqlîdan).
Yang mengandung arti mengalungi, menghiasi, meniru, menyerahkan, dan
mengikuti. Ulama ushul fiqh mendefinisikan taqlid “penerimaan perkataan
seseorang sedangkan engkau tidak mengetahui dari mana asal kata itu”.
Menurut
Muhammad Rasyid Ridha, taqlid ialah mengikuti pandapat orang lain yang
dianggap terhormat dalam masyarakat serta dipercaya tentang suatu hukum
agama Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik atau buruknya,
manfaat atau mudlarat hukum itu.
Sedangkan
menurut istilah taqlid adalah mengikuti perkataan (pendapat) yang tidak
ada hujjahnya atau tidak mengetahui darimana sumber atau dasar
perkataan(pendapat) itu. ketika seseorang mengikuti orang lain tanpa
dalil yang jelas, baik dalam hal ibadah, maupun dalam hal adat istiadat.
Baik yang diikuti itu masih hidup, atau pun sudah mati. Baik kepada
orang tua maupun nenek moyang, hal seperti itulah yang disebut dengan
taqlid buta. Sifat inilah yang disandang oleh orang-orang kafir dan
dungu, dari dahulu kala hingga pada zaman kita sekarang ini, dimana
mereka menjalankan ibadah mereka sehari-hari berdasarkan taqlid buta dan
mengikuti perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang tidak mempunyai
dalil dan argumen sama sekali. Allah swt berfirman:
وَإِذَا
قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ بَلْ نَتَّبِعُ مَا
أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ
شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُون
“Dan
apabila dikatakan kepada mereka ( orang-orang kafir dan yang
menyekutukan Allah swt ): “ikutilah semua ajaran dan petunjuk yang telah
Allah swt turunkan”. Mereka menjawab: “Kami hanya mengikuti segala apa
yang telah dilakukan oleh nenek-nenek moyang kami”. Padahal nenek-nenek
moyang mereka itu tidak mengerti apa-apa dan tidak juga mendapat hidayah
( dari Allah swt )” (QS. Al-Baqarah[2]: 170).
Hukum Taqlid
Dalam
menghukumi taqlid menurut para ulama terdapat 3 macam hukum: Pertama,
Taqlid yang diharamkan, kedua, Taqlid yang diwajibkan, dan ketiga,
Taqlid yang dibolehkan.
Taqlid yang diharamkan.
Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini. Taqlid ini ada tiga macam :
a.
Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang
atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`an Hadits.
b. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.
c. Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.
Taqlid yang dibolehkan
Adalah
taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba’ kepada
apa yang diturunkan Allah swt. Hanya saja sebagian darinya tersembunyi
bagi orang tersebut sehingg dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu
darinya, maka yang seperti ini adalah terpuji dan tidak tencela, dia
mendapat pahala dan tidak berdosa. Taqlid ini sifatnya sementara.
Misalnya taqlid sebagian mujtahid kepada mujtahid lain, karena tidak
ditemukan dalil yang kuat untuk pemecahan suatu persoalan. Termasuk
taqlidnya orang awam kepada ulama.
Ulama muta-akhirin dalam kaitan bertaqlid kepada imam, membagi kelompok masyarakat kedalam dua golongan:
a. Golongan awan atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu pendapat dari keempat madzhab.
b. Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak dibenarkan bertaqlid kepada ulama-ulama.
Golongan
awam harus mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali
dasar pendapat itu (taqlid dalam pengertian bahasa).
Syaikhul
Islam lbnu Taimiyah berkata, “Adapun orang yang mampu ijtihad apakah
dibolehkan baginya taqlid? ini adalah hal yang diperselisihkan, dan yang
shahih adalah dibolehkan ketika dia dalam keadaan tidak mampu
berijtihad entah karena dalil-dalil (dan pendapat yang berbeda)
sama-sama kuat atau karena sempitnya waktu untuk berijtihad atau karena
tidak nampak dalil baginya”
Taqlid yang diwajibkan
Adalah
taqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah,
yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah saw. Juga apa yang dikatakan
oleh lbnul Qayyim: Sesungguhnya Allah swt telah memerintahkan agar
bertanya kepada Ahlu Dzikr, dan Adz-Dzikr adalah al-Qur’an dan al-Hadis
yang Allah swt perintahkan agar para istri Nabi-Nya selalu mengingatnya
sebagaimana dalam firman-Nya:
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
“ Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dan ayat-ayat Allah swt dan hikmah (Sunnah Nabimu)”(QS. al-Ahzab[33]:34)
lnilah
Adz-Dzikr yang Allah swt perintahkan agar kita selalu
ittiba’(mengikuti) kepadanya, dan Allah swt perintahkan orang yang tidak
memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya. Inilah yang wajib atas
setiap orang agar bertanya kepada ahli ilmu tentang Adz-Dzikr yang Allah
swt turunkan kepada Rasul-Nya agar ahli ilmu ini memberitahukan
kepadanya. Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak
boleh baginya kecuali ittiba’ kepadanya.
Taqlid yang Berkembang
Taqlid
yang berkembang sekarang, khususnya di Indonesia ialah taqlid kepada
buku, bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal ( Imam Abu
Hanifah, Malik bin Anas, As Syafi`i, dan Hambali).
Jamaludin
al Qosini (w. 1332 H) : “segala perkataan atau pendapat dalam suatu
madzhab itu tidak dapat dipandang sebagai madzhab tersebut, tetapi hanya
dapat dipandang sebagai pendapat atau perkataan dari orang yang
mengatakan perkataan itu”.
Taqlid
kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang terkenal,
sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam
kitab-kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad
Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.
Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid
a. Imam Abu Hanifah (80-150 H)
Beliau
merupakan cikal bakal ulama fiqh. Beliau mengharamkan orang mengikuti
fatwa jika orang itu tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.
b. Imam Malik bin Anas (93-179 H)
Beliau
melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun orang itu adalah
orang terpandang atau mempunyai kelebihan. Setiap perkataan atau
pendapat yang sampai kepada kita harus diteliti lebih dahulu sebelum
diamalkan.
c. Imam asy Syafi`i (150-204 H)
Beliau
murid Imam Malik. Beliau mengatakan bahwa “ beliau akan meninggalkan
pendapatnya pada setiap saat ia mengetahui bahwa pendapatnya itu tidak
sesuai dengan hadits Nabi SAW.
d. Imam Hambali (164-241 H)
Beliau
melarang bertaqlid kepada imam manapun, dan menyuruh orang agar
mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW dan para sahabatnya. Sedang
yang berasal dari tabi`in dan orang-orang sesudahnya agar diselidiki
lebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan mana yang salah ditinggalkan.
Allah swt telah mencela tiga macam taqlid ini melalui ayat-ayat-Nya diantaranya,
بَلْ
قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ
آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ وَكَذَٰلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي
قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا
آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ قَالَ
أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَىٰ مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آبَاءَكُمْ ۖ
قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ
Bahkan
mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut
suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk
dengan (mengikuti) jejak mereka". Dan demikianlah, Kami tidak mengutus
sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri,
melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata:
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan
sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (Rasul itu)
berkata: ‘Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa
untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang
kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya
kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya” (QS. az-Zukhruf[43] : 22-24)
Para Imam Melarang Taqlid dan Mewajibkan Ittiba’
Terdapat
perbedaan antara taqlid dan ittiba’ diantara hal yang menunjukkan
perbedaan yang mendasar antara taqlid dan ittiba’ adalah larangan para
imam kepada para pengikutnya untuk taqlid dan perintah mereka kepada
para pengikutnya agar selalu ittiba’:
Pertama,
Al-Imam Abu Hanifah berkata, “Tidak halal atas seorangpun mengambil
perkataan kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya” Dalam
riwayat lain beliau berkata, “Orang yang tidak tahu dalilku, haram
atasnya berfatwa dengan perkataanku”
Kedua,
Al-Imam Malik berkata : “Sesungguhnya aku adalah manusia yang bisa
benar dan keliru. Lihatlah pendapatku, setiap yang sesuai dengan Kitab
dan Sunnah maka ambillah, dan setiap yang tidak sesuai dengan Kitab dan
Sunnah maka tinggalkanlah”
Ketiga,
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Jika kalian menjumpai sunnah Rasulullah
saw, ittiba’lah kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan
siapapun”
Beliau
juga berkata, “Setiap yang aku katakan, kemudian ada hadis shahih yang
menyelisihinya, maka hadis Nabi lebih utama untuk diikuti. Janganlah
kalian taqlid kepadaku”.
Keempat,
Al-Imam Ahmad berkata, “Janganlah engkau taqlid dalam agamamu kepada
seorangpun dari mereka, apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya
ambillah” Beliau juga berkata, “Ittiba’ adalah jika seseorang mengikuti
apa yang datang dari Nabi saw dan para sahabatnya”
Mengikuti Manhaj Para Ulama Bukan Berarti Taqlid Kepada Mereka
lbnul
Qayyim berkata, “Jika ada yang mengatakan: Kalian semua mengakui bahwa
para imam yang ditaqlidi dalam agama mereka berada di atas petunjuk,
maka orang-orang yang taqlid kepada mereka pasti di atas petunjuk juga,
karena mereka mengikuti langkah para imam tersebut.
Dikatakan
kepadanya, “Mengikuti langkah para imam ini secara otomatis membatalkan
sikap taqlid kepada mereka, karena jalan para imam ini adalah ittiba’
kepada hujjah dan melarang umat dan taqlid kepada mereka sebagaimana
akan kami sebutkan hal ini dan mereka lnsya Allah swt . Maka barangsiapa
yang meninggalkan hujjah dan melanggar larangan para imam ini (dan
sikap taqlid) yang juga dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, maka jelas
orang ini tidak berada di atas jalan para imam ini, bahkan termasuk
orang-orang yang menyelisihi mereka.
Yang
menempuh jalan para imam ini adalah orang yang mengikuti hujjah, tunduk
kepada dalil, dan tidak menjadikan seorang pun yang dijadikan
perkataannya sebagai timbangan terhadap Kitab dan Sunnah kecuali
Rasulullah saw.
C. ITTIBA`
Menurut bahasa Ittiba’ berasal dari bahasa arab adalah mashdar (kata bentukan) dari kata ittaba’a (اتَبَعَ)yang berarti mengikuti. Ada beberapa kalimat yang semakna dengannya diantaranya iqtifa’ (اقتفاء)(menelusuri jejak), qudwah(قدوة) (bersuri teladan) dan uswah(أسوة)
(berpanutan). Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti
jejaknya dan mengiringinya. Dan kata ini berkisar pada makna menyusul,
mencari, mengikuti, meneladani dan mencontoh.
Sedangkan
menurut istilah ittiba’ adalah mengikuti pendapat seseorang baik itu
ulama atau yang lainnya dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai
oleh ulama tersebut. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan : "Setiap orang
yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau adalah
muttabi’(orang yang mengikuti).
Menurut
ulama ushul, ittiba` adalah mengikuti atau menuruti semua yang
diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata
lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang
dikerjakan Nabi Muhammad SAW.
Definisi
lainnya, ittiba` ialah menerima pendapat seseorang sedangkan yang
menerima itu mengetahui dari mana atau asal pendapat itu. Ittiba`
ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash. Ittiba` adalah lawan taqlid.
2. Macam-Macam Ittiba`
a. Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya
b. Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya
Ulama
berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam
Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan kepada
Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain.
Pendapat
yang lain membolehkan berittiba` kepada para ulama yang dapat
dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para
Nabi).
3. Tujuan Ittiba`
Dengan
adanya ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang
awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan
pengertian, tanpa diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu ibadah atau amal
jika dilakukan dengan penuh keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan
kekhusukan. Keikhlasan dan kekhusukan merupakan syarat sahnya suatu
ibadah atau amal yang dikerjakan.
Ittiba’
Kepada siapa kita wajib ittiba’?
Dari
penjelasan diatas bisa kita simpulkan bahwa yang berhak kita berittiba’
kepadanya adalah mereka yang pendapatnya didasari dengan dalil yang
jelas, dalam hal ini Rasulullah saw adalah orang yang paling berhak kita
ikuti hal itu sebagaimana Allah swt berfirman,
قال الله تعالى : ﴿
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ
يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا ﴾
"Sesungguhnya
telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik., (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kesenangan) hari akhirat dan
dia banyak menyebut Allah." (QS. Al-Ahzab[33]:21).
Dalam ayat lain Allah swt berfirman:
قال الله تعالى : ﴿ وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا﴾
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr[59]: 7).
Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan: Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rasulullah saw dan para shahabatnya.
Ittiba’
kepada Nabi saw dalam keyakinan akan terwujud dengan meyakini apa yang
diyakini oleh Nabi saw sesuai dengan bagaimana beliau meyakininya –
apakah merupakan kewajiban, kebid’ahan ataukah merupakan pondasi dasar
agama atau yang membatalkannya atau yang merusak kesempurnaannya dst –
dengan alasan karena beliau saw meyakininya.
Ittiba’
kepada Nabi saw dalam perkataan akan terwujud dengan melaksanakan
kandungan dan makna-makna yang ada padanya. Bukan dengan mengulang-ulang
lafadz dan nashnya saja. Sebagai contoh sabda beliau saw:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : .....صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي ...(رواه البخاري)
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”.(HR. Bukhori).
Ittiba’ kepadanya adalah dengan melaksanakan shalat seperti shalat beliau.
Sedangkan
ittiba’ kepada Nabi saw di dalam perkara-perkara yang ditinggalkan
adalah dengan meninggalkan perkara-perkara yang beliau tinggalkan, yaitu
perkara-perkara yang tidak disyariatkan. Sesuai dengan tatacara dan
ketentuan Nabi saw di dalam meninggalkannya, dengan alasan karena beliau
saw meninggalkannya. Dan ini adalah batasan yang sama dengan batasan
ittiba’ di dalam perbuatan.
Hukum Ittiba’
Seorang
muslim wajib ittiba’ kepada Rasulullah saw dengan menempuh jalan yang
beliau tempuh dan melakukan apa yang beliau lakukan. Begitu banyak ayat
al-Qur’an yang memerintahkan setiap muslim agar selalu ittiba’ kepada
Rasulullah saw di antaranya firman Allah swt.
قال الله تعالى : ﴿ قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ﴾
“Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah swt tidak menyukai orang-orang kafir” (QS. Ali lmran[3]: 32).
Dalam ayat lain Allah swt berfirman:
قال الله تعالى : ﴿
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴾
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah swt dan
Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah swt. Sesungguhnya Allah swt Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. al-Hujurat[49]:1).
Demikian
juga Allah swt memerintahkan setiap muslim agar ittiba’ kepada sabilil
mukminin yaitu jalan para sahabat Rasulullah saw dan mengancam dengan
hukuman yang berat kepada siapa saja yang menyeleweng darinya:
قال الله تعالى : ﴿
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا ﴾
“Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan Ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan
Ia ke dalam jahanam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.
(QS. An-Nisa’[4]: 115).
Kedudukan Ittiba’ Dalam Islam
Ittiba'
kepada Rasulullah saw mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam
Islam, bahkan merupakan salah satu pintu seseorang dapat masuk Islam.
Berikut ini akan disebutkan beberapa kedudukan penting yang ditempati
oleh ittiba', di antaranya adalah:
Pertama,
Ittiba' kepada Rasulullah saw adalah salah satu syarat diterima amal.
Sebagaimana para ulama telah sepakat bahwa syarat diterimanya ibadah ada
dua:
1. Mengikhlaskan niat ibadah hanya untuk Allah swt semata.
2. Harus mengikuti dan serupa dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw.
Ibnu 'Ajlan mengatakan: "Tidak sah suatu amalan melainkan dengan tiga
perkara: taqwa kepada Allah swt, niat yang baik (ikhlas) dan ishabah
(sesuai dan mengikuti sunnah Rasul)." Maka barangsiapa mengerjakan suatu
amal dengan didasari ikhlas karena Allah swt semata dan serupa dengan
sunnah Rasulullah saw, niscaya amal itu akan diterima oleh Allah swt.
Akan tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat tersebut, maka amal
itu akan tertolak dan tidak diterima oleh Allah swt. Hal inilah yang
sering luput dari pengetahuan banyak orang. Mereka hanya memperhatikan
satu sisi saja dan tidak memperdulikan yang lainnya. Oleh karena itu
sering kita dengar mereka mengucapkan: "yang penting niatnya, kalau
niatnya baik, maka amalnya baik."
Kedua, Ittiba' merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah swt dan Rasul-Nya.
Allah swt berfirman:
قال الله تعالى : ﴿
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ
اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ﴾
"Katakanlah:
'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (QS. Ali Imran[3]: 31).
Ibnu
Katsir menafsirkan ayat ini dengan ucapannya: "Ayat yang mulia ini
sebagai hakim bagi setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah swt,
akan tetapi tidak mengikuti sunnah Muhammad saw. Karena orang yang
seperti ini berarti dusta dalam pengakuan cintanya kepada Allah swt
sampai dia ittiba' kepada syari'at agama Nabi Muhammad saw dalam segala
ucapan dan tindak tanduknya."
Ketiga, Ittiba' adalah sifat yang utama wali-wali Allah swt
Ibnu
Taimiyah dalam kitabnya menjelaskan panjang lebar perbedaan antara
waliyullah dan wali syaitan, diantaranya beliau menjelaskan tentang wali
Allah swt dengan ucapannya: "Tidak boleh dikatakan wali Allah swt
kecuali orang yang beriman kepada Rasulullah saw dan syari'at yang
dibawanya serta ittiba' kepadanya baik lahir maupun batin. Barangsiapa
mengaku cinta kepada Allah swt dan mengaku sebagai wali Allah swt,
tetapi dia tidak ittiba' kepada Rasul-Nya, berarti dia berdusta. Bahkan
kalau dia menentang Rasul-Nya, dia termasuk musuh Allah swt dan sebagai
wali syaitan."
Imam
Ibnu Abil 'Izzi Al-Hanafi berkata: "Pada hakikatnya yang dinamakan
karamah itu adalah kemampuan untuk senantiasa istiqamah di atas al-haq,
karena Allah swt tidak memuliakan hamba-Nya dengan suatu karamah yang
lebih besar dari taufiq-Nya yang diberikan kepada hamba itu untuk
senantiasa menyerupai apa yang dicintai dan diridhai-Nya yaitu istiqamah
di dalam mentaati Allah swt dan Rasul-Nya dan ber-wala kepada wali-wali
Allah swt serta bara' dari musuh-musuh-Nya." Mereka itulah wali-wali
Allah swt sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
قال الله تعالى : ﴿ أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ﴾
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah swt itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. Yunus[10]: 62).
Demikianlah
beberapa kedudukan ittiba' yang tinggi dalam syari'at Islam dan masih
banyak lagi kedudukan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ittiba'
kepada Rasulullah saw merupakan suatu amal yang teramat besar dan banyak
mendapat rintangan. Mudah-mudahan Allah swt menjadikan kita termasuk
orang-orang yang ittiba' kepada Nabi-Nya dalam segala aspek kehidupan
kita, sehingga kita akan bertemu Allah swt dengan membawa husnul
khatimah. Amien, ya Rabbal Alamin.
D. TALFIQ
Talfiq berarti “manyamakan” atau “merapatkan dua tepi yang berbeda”.
Menurut
istilah, talfiq ialah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu
peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab.
Contoh nikah tanpa wali dan saksi adalah sah asal ada iklan atau
pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah tanpa wali, sedangkan
menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.
Pada
dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan
talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar
setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil yang lebih
kuat dasar hukumnya.
Ada
talfiq yang tujuannya untuk mencari yang ringan-ringan saja, yaitu
mengikuti pendapat yang paling mudah dikerjakan sekalipun dasar hukumnya
lemah. Talfiq semacam ini yang dicela para ulama. Jadi talfiq itu
hakekatnya pada niat.
Pendapat-Pendapat tentang Talfiq
Pendapat pertama,
orang awam harus mengikuti madzhab tertentu, tidak boleh memilih suatu
pendapat yang ringan karena tidak mempunyai kemampuan untuk memilih.
Karena itu mereka belum boleh melakukan talfiq.
Pendapat kedua,
membolehkan talfiq dengan syarat tidak akan menimbulkan pendapat yang
bertentangan dengan salah satu madzhab yang ditalfiqan itu.
Pendapat ketiga, membolehkan talfiq tanpa syarat dengan maksud mencari yang ringan-ringan sesuai dengan kehendak dirinya.
Ruang Lingkup Talfiq
Talfiq
sama seperti taqlid dalam hal ruang lingkupnya, yaitu hanya pada
perkara-perkara ijtihad yang bersifat zhanniyah(perkara yang belum
diketahui secara pasti dalam agama). Adapun hal-hal yang diketahui dari
agama secara pasti (ma’luumun minaddiini bidhdharuurah), dan
perkara-perkara yang telah menjadi ijma’, yang mana mengingkarinya
adalah kufr, maka di situ tidak boleh ada taqlid, apalagi talfiq.
Hukum Talfîq
Ulama terbagi kepada dua kelompok tentang hukum talfîq. Satu kelompok mengharamkan, dan satu kelompok lagi membolehkan.
Ulama
Hanafiyah mengklaim ijma' kaum muslimin atas keharaman talfiq.
Sedangkan di kalangan Syafi'iyah, hal itu menjadi sebuah ketetapan.
Ibnu Hajar mengatakan: ”Pendapat yang membolehkan talfiq adalah menyalahi ijma'.
Dalil Kelompok yang Mengharamkan Talfiq
Mereka
mendasarkan pendapatnya pada perkataan ulama ushul fiqh tentang ijma'
atas ketidakbolehan menciptakan pendapat ketiga apabila para ulama
terbagi kepada dua kelompok tentang hukum suatu perkara. Karena menurut
mayoritas ulama, tidak boleh menciptakan pendapat ketiga yang
meruntuhkan (menyalahi) sesuatu yang telah disepakati. Misalnya 'iddah
wanita hamil yang suaminya meninggal dunia, terdapat dua pendapat,
pertama: hingga melahirkan, kedua: yang paling jauh (lama) dari dua
tempo 'iddah(‘iddah melahirkan dan ‘iddah yang ditiggal oleh suaminya
karena kematian). Maka tidak boleh menciptakan pendapat ketiga, misalnya
dengan beberapa bulan saja.
Akan
tetapi jika ditinjau lebih dalam, terlihat bahwa alasan ini tidak bisa
dibenarkan sepenuhnya, karena meng-qiyaskan talfiq atas ihdaatsu qaul
tsaalits (menciptakan pendapat ketiga) adalah merupakan qiyas antara dua
hal yang berbeda. Hal itu dapat dilihat dari dua sisi:
1.
Terciptanya pendapat ketiga terjadi apabila permasalahannya hanya satu,
sedangkan talfiq terjadi dalam beberapa permasalahan. Misalnya,
kefardhuan menyapu kepala adalah sebuah permasalahan, sementara
permasalahan batalnya wudhu' karena bersentuhan dengan wanita adalah
permasalahan lain. Jadi, talfiq terjadi bukan dalam satu permasalahan,
maka tidak terjadi pendapat ketiga.
2.
Berdasarkan pada pendapat yang paling kuat, dalam permasalahan talfiq
tidak terdapat suatu sisi yang disepakati oleh para ulama. Misalnya,
persoalan menyapu kepala merupakan khilaf di kalagan ulama, apakah wajib
seluruhnya ataukah sebagian saja. Demikian pula batalnya wudhu' dengan
menyentuh perempuan merupakan permasalahan yang menjadi khilaf, apakah
ia memang membatalkan wudhu' ataukah tidak. Maka, dalam perkara talfiq,
tidak ada sisi yang disepakati (ijma').
Dengan demikian, pendapat yang mengharamkan talfiq telah dilandaskan pada dasar yang salah yaitu qiyas ma'al faariq.
Apabila
ulama Hanafiyah mengklaim ijma' atas keharaman talfiq, akan tetapi
realita yang ada sangat bertentangan. Ulama-ulama terpercaya seperti Al
Fahâmah Al Amîr dan Al Fâdhil Al Baijuri telah menukilkan apa yang
menyalahi dakwaan ulama Hanafiyah tersebut. Maka klaim adanya ijma'
adalah bathil.
Berkata
Al Syafsyawani tentang penggabungan dua mazhab atau lebih dalam sebuah
masalah: ”Para ahli ushul berbeda pendapat tentang hal ini. Yang benar
berdasarkan sudut pandang adalah kebolehannya (talfiq).”
Prof.
Dr. Wahbah Az Zuhaili berkata: ”Adapun klaim ulama Hanafiyah bahwa
keharaman talfiq merupakan ijma', maka hal itu adakala dengna i'tibar
ahli mazhab (ijma' mazhab Hanafi), atau dengan i'tibar kebanyakan. Dan
adakala juga berdasarkan pendengaran ataupun persangkaan belaka. Sebab,
jika sebuah permasalahan telah menjadi ijma', pastilah ulama mazhab yang
lain telah menetapkannya (mengatakannya) juga....”
Dalil Kelompok yang Membolehkan
Para ulama yang membolehkan talfiq, mereka berdalil dengan beberapa alasan:
Alasan Pertama
Tidak
adanya nash di dalam al-Quran atau pun as-Sunnah yang melarang talfiq
ini. Setiap orang berhak untuk berijtihad dan tiap orang berhak untuk
bertaqlid kepada ahli ijtihad. Dan tidak ada larangan bila kita sudah
bertaqlid kepada satu pendapat dari ahli ijtihad untuk bertaqlid juga
kepada ijtihad orang lain.
Di
kalangan para shahabat nabi saw terdapat para shahabat yang ilmunya
lebih tinggi dari yang lainnya. Banyak shahabat yang lainnya kemudian
menjadikan mereka sebagai rujukan dalam masalah hukum. Misalnya mereka
bertanya kepada Abu Bakar ra, Umar bin Al-Khattab ra, Utsman ra, Ali ra,
Ibnu Abbas ra, Ibnu Mas''ud ra, Ibnu Umar ra dan lainnya. Seringkali
pendapat mereka berbeda-beda untuk menjawab satu kasus yang sama.
Namun
tidak seorang pun dari para shahabat yang berilmu itu yang menetapkan
peraturan bahwa bila seseorang telah bertanya kepada dirinya, maka untuk
selamanya tidak boleh bertanya kepada orang lain.
Dan
para iman mazhab yang empat itu pun demikian juga, tak satu pun dari
mereka yang melarang orang yang telah bertaqlid kepadanya untuk
bertaqlid kepada imam selain dirinya.
Maka
dari mana datangnya larangan untuk itu, kalau tidak ada di dalam Quran,
sunnah, perkataan para shahabat dan juga pendapat para imam mazhab
sendiri?
Alasan Kedua
Pada
hari ini, nyaris orang-orang sudah tidak bisa bedakan lagi, mana
pendapat Syafi''i dan mana pendapat Maliki, tidak ada lagi yang tahu
siapa yang berpendapat apa, kecuali mereka yang secara khusus belajar di
fakultas syariah jurusan perbandingan mazhab. Dan betapa sedikitnya
jumlah mereka hari ini dibandingkan dengan jumlah umat Islam secara
keseluruhan. Maka secara pasti dan otomatis, semua orang akan melakukan
talfiq, dengan disadari atau tidak. Kalau hukum talfiq ini diharamkan,
maka semua umat Islam di dunia ini berdosa. Dan ini tentu tidak logis
dan terlalu mengada-ada.
Alasan Ketiga
Nabi saw melalui Aisyah disebutkan:
“Nabi
tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang paling
mudah, selama hal tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut adalah
dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhi hal tersebut “.
Adanya
dua pilihan maksudnya ada dua pendapat yang masing-masing dilandasi
dalil syar'i yang benar. Namun salah satunya lebih ringan untuk
dikerjakan. Maka nabi saw selalu cenderung untuk mengerjakan yang lebih
ringan.
Itu
nabi Muhammad saw sendiri, seorang nabi utusan Allah swt. Lalu mengapa
harus ada orang yang main larang untuk melakukan apa yang telah nabi
lakukan?
Dan
ini merupakan salah satu dasar tegaknya syariat Islam yaitu member
kemudahan, tidak menyusahkan dan mengangkat kesempitan, hal ini sesuai
pula dengan sabda Nabi Muhammad saw:
“Sesungguhnya
agama ini (Islam) adalah mudah. Dan tidaklah seorang yang mencoba untuk
menyulitkannya, maka ia pasti dikalahkan”.
Diantara para ulama yang mendukung talfiq adalah:
‘Al-Izz
Ibnu Abdissalam menyebutkan bahwa dibolehkan bagi orang awam mengambil
rukhsah (keringanan) beberapa madzhab (talfiq), karena hal tersebut
adalah suatu yang disenangi. Dengan alasan bahwa agama Allah swt itu
mudah (dinu al-allahi yusrun) serta firman Allah swt dalam surat al-Hajj
ayat 78:
“Dan
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam satu agama suatu
kesempitan. Imam al-Qarafi menambahkan bahwa, praktik talfiq ini bisa
dilakukan selama ia tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika
dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab yang diikutinya.
Demikian
juga dengan para ulama kontemporer zaman sekarang, semacam Dr. Wahbah
Az-Zuhaili, menurut beliau talfiq tidak masalah ketika ada hajat dan
dlarurat, asal tanpa disertai main-main atau dengan sengaja mengambil
yang mudah dan gampang saja yang sama sekali tidak mengandung maslahat
syar‘iyat.
Meski
Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti
semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran
maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al
Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan
terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan
Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika
terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat
tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut
dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas
ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka
persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana
disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan
tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya
dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam
memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah
mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaku Ijtihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
2. Yang
ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang
berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan
hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi,
3. Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.
Jadi
apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas maka dapat kita
tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli
dunia hukum. Dalam hubungan ini komentator Jam’u ‘l-Jawami’ (Jalaluddin
al-Mahally) menegaskan, “yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan
maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu’. (Jam’u ‘l-Jawami’, Juz
II, hal. 379). Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak
yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat
yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh
mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah.
Pendapat ini bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu
disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi
pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran itulah Jumhur
‘ulama’ telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum
(hukum Islam)dengan ketentuan-ketentuan tertentu.Wallohu A'lam
Wallohul Muwafiq ila aqwamit Thoriq